Ada sisi lain yang tak kalah penting dipertimbangkan dalam rencana pembangunan Garuda Wisnu Kencana (GWK), yang menjadi ajang pro dan kontra, terutama, di Bali sendiri, dan menjadi bahan berita media massa, termasuk TEMPO (Nasional, 17 Juli), yakni dampak pembangunan itu terhadap lingkungan biofisika dan sarana fisik Bali. Saat ini kondisi prasarana di Bali sudah mulai kritis. Beban lalu lintas pada jalan jalur wisata sudah mulai macet, air sudah jadi masalah, pembangunan kian semrawut, sampah dan limbah tak tertangani secara efektif. Apakah Bali yang demikian itu mampu memikul beban yang lebih besar lagi? Pada kenyataannya Kabupaten Badunglah yang terpadat di Bali, dan justru pada bagian selatan, pada wilayah tertentu, penduduknya bisa mencapai lebih dari 1.200 jiwa per kilometer persegi, dan arus urbanisasi sudah mencapai 26,44%. Sedangkan Bali secara keseluruhan sudah lima kali lebih padat ketimbang rata-rata penduduk Indonesia. Padahal, program transmigrasi sudah lama digalakkan Pemerintah. Lalu, kita mendengar, GWK akan mendatangkan pemukim (turis asing, domestik, dan tenaga kerja) lebih banyak lagi ke daerah ini. Kalau alasan pemilihan lokasi di situ karena tanah tersebut adalah tanah kritis yang tak terpakai, mengapa tanah itu tak dihijaukan secara bertahap seperti yang dilakukan di Gunungkidul? Dengan sedikit kesabaran dan akal sehat, daerah itu pasti dapat dihijaukan lagi secara ekologis. Saat ini daerah bukit sudah terpaksa menyedot air dari Bali bagian tengah untuk sarana wisata di Nusa Dua dan sebagainya. Sebagai perbandingan: rata-rata satu keluarga Bali memerlukan 100 liter air bersih per hari, sedangkan satu kamar hotel mewah menghabiskan rata-rata 200 liter per hari. Kini di Kabupaten Badung terdapat sekitar 15 ribu kamar hotel berbintang. Kebutuhan airnya kira-kira menyamai kebutuhan 30.000 keluarga atau sekitar 3 juta liter per hari. Hasil penelitian Martopo, tahun 1992, menunjukkan kebutuhan air rata-rata per jiwa di Bali kini 318,9 meter kubik, sedangkan sekarang yang tersedia 455,3 meter kubik. Ini berarti, sekitar 70% dari persediaan air yang ada sudah terpakai. Angka ini dianggap oleh Martopo sebagai ''kritis''. Setiap kali diadakan penghijauan secara paksa untuk kebun hotel-hotel baru, itu jelas akan menyedot air lebih banyak lagi. Bila GWK dibangun lengkap, berarti sekian ratus hektare tanah yang perlu dihijaukan secara paksa. Ini akan menambah beban lagi. Belum lagi perawatan kebun-kebun dengan tanam- tanaman hias yang membutuhkan banyak air. Padahal sudah menjadi kenyataan, untuk memenuhi kebutuhan air daerah Badung, Sungai Ayung diangkat di Peraupan. Akibatnya, di daerah Krobokan, para petani terpaksa menunggu giliran air jauh lebih lama dari sebelumnya, kadang sampai pagi hari. RIO HELMI, MADE SUARNATHA, PUTU SUASTA Jalan Danau Tambling 108 Sanur 80228, Bali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini