Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegiat lingkungan mengkritik OJK karena tidak menjelaskan kegiatan usaha Non-eligible.
Pembiayaan dari perbankan untuk kegiatan usaha yang masuk kategori hijau masih minim.
OJK berdalih PLTU masih diperlukan lantaran perannya yang penting untuk kelistrikan Indonesia.
JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyampaikan catatan terhadap pembaruan Taksonomi Hijau Indonesia yang sedang dikerjakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pegiat berharap lembaga tidak cuma main aman. Catatan pertama berkaitan dengan kategori kegiatan usaha.
Dalam Taksonomi Hijau Indonesia yang diterbitkan pada Januari 2022, OJK mengklasifikasikan kegiatan ekonomi berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan. Aktivitas yang tidak memiliki atau minim risiko terhadap lingkungan masuk kategori Hijau. Sementara itu, kegiatan berisiko cukup tinggi dan tinggi masing-masing dilabeli Kuning dan Merah.
Baru-baru ini, OJK mengubah dokumen tersebut untuk disesuaikan dengan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance yang dirilis ASEAN Taxonomy Board pada Maret lalu. Dalam rancangan perubahan Taksonomi Hijau, OJK mengubah kategori tersebut menjadi Hijau dan Transisi.
Hilangnya Kategori Merah
Otoritas Jasa Keuangan menggelar Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Tahun 2022 dan Peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia secara daring, 20 Januari 2022. Ojk.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Agung Budiono menyebutkan hilangnya kategori Merah mengecewakan lantaran tak ada lagi penanda untuk kegiatan ekonomi yang sangat berisiko buat lingkungan. Padahal dokumen ini disusun untuk mendorong lembaga keuangan meningkatkan pembiayaan bagi proyek-proyek berkelanjutan.
OJK memang memunculkan kategori Non-eligible untuk mengelompokkan kegiatan ekonomi berisiko karena kondisi tertentu. "Tapi tidak dimunculkan keterangannya dalam dokumen," ujar Agung, kemarin. Dia membandingkan dengan revisi Taksonomi Hijau Singapura yang mengganti kategori Merah dengan Non-eligible dan merinci situasi yang membuat kegiatan tersebut berisiko tinggi.
"Kategori Non-eligible ini harus dimunculkan untuk mempertegas kriterianya. Kalau hanya Hijau dan Transisi, OJK main aman," kata Agung.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Linda Rosalina menyatakan Taksonomi Hijau Indonesia yang nanti akan diubah menjadi Taksonomi Berkelanjutan ini perlu dibuat mengikat para pelaku sektor keuangan. Dengan begitu, tujuan pembentukan taksonomi bisa tercapai, yakni mengurangi emisi. Taksonomi Hijau disusun untuk mendukung komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris dan target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
"Jika mandatori, penting dibuka soal pembatasan pembiayaan atas klasifikasi aktivitas ekonomi Merah, Kuning, dan Hijau," ujarnya. Opsi lain adalah menata insentif dan disinsentif untuk kegiatan usaha berdasarkan kategori tiga warna tadi.
Dengan cara ini, pembiayaan untuk proyek berkelanjutan bisa lebih besar. Merujuk pada data OJK mengenai Pilot Project Pelaporan Taksonomi Hijau yang terbit pada 2022, pembiayaan untuk proyek dalam kategori Merah dan Kuning masih mendominasi. Data tersebut diambil dari 10 debitor teratas di 17 bank buku III dan buku IV sampai Juni 2022.
OJK mengidentifikasi ada Rp 1.065 triliun pembiayaan. Dari jumlah itu, pembiayaan kategori Hijau hanya Rp 294,2 triliun. Porsi terbesar adalah pembiayaan proyek untuk kategori Kuning sebesar Rp 392,87 triliun dan Merah Rp 378,16 triliun. Yang menarik, dari tiga kategori ini, tingkat kredit macet terendah justru di kategori Hijau, hanya 0,81 persen. Sementara itu, Merah mencapai 2,56 persen dan Kuning hingga 4,37 persen.
Sustainable Development Officer Prakarsa Dwi Rahayu Ningrum menyarankan OJK membentuk tim khusus guna mengurus pembiayaan berkelanjutan yang multipihak. Sebab, realisasi Taksonomi Hijau tak mungkin dikerjakan OJK sendiri. Dia menilai perlu ada keterlibatan kementerian dan lembaga lain untuk menyusun taksonomi yang betul-betul bisa menjadi solusi tantangan transisi energi dan pengurangan emisi.
Satu tim lagi yang juga perlu dibentuk adalah tim pengaduan. Dwi mengingatkan praktik transisi energi memiliki dampak terhadap masyarakat. Namun kanal pengaduan yang tersedia terbatas. "Ketika ada aduan mengenai industri yang harmful, kita bisa tahu lembaga pembiayaannya siapa."
Nasib PLTU Captive Power
Warga melintas dengan latar belakang PLTU di Kota Cilegon, Banten, 6 Desember 2023. ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang juga menjadi catatan adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Ketiga perwakilan masyarakat sipil di atas sepakat bahwa OJK masih memberikan ruang untuk pembiayaan PLTU, khususnya yang baru dan yang terpisah dari jaringan PLN atau captive power. Pembangkit jenis ini banyak digunakan untuk menopang kegiatan industri pengolahan mineral.
Dalam rancangan awalnya, OJK mengkategorikan PLTU captive power sebagai Hijau. Di naskah rancangan taksonomi versi November 2023, pembangunan pembangkit jenis ini yang baru masuk kategori Transisi. Masyarakat sipil mengapresiasi keputusan OJK memindahkan kategori proyek ini.
Namun mereka menilai idealnya tak ada lagi celah pembiayaan buat pembangkitan tersebut di tengah upaya berat mengejar penurunan emisi Indonesia. Padahal, untuk mencapai target Perjanjian Paris hingga netral karbon pada 2060, tak boleh ada penambahan PLTU baru.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar sebelumnya menyatakan label Hijau diberikan untuk proyek PLTU lantaran perannya yang penting untuk kelistrikan Indonesia. Porsi pembangkitan ini mencapai kisaran 60 persen dari total pembangkit listrik di dalam negeri.
OJK merasa perlu mempertimbangkan seluruh rantai pasok produk hijau. Saat dimintai konfirmasi ulang mengenai perubahan dalam rancangan taksonomi teranyar, Mahendra tak menjawab. Begitu pula dengan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo