Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF9900>KORUPSI</font><br />Terseret di Babak Terakhir

Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesoedibjo sebagai tersangka kasus Sisminbakum.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum akhirnya menyeret juga mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan pengusaha Hartono Tanoesoedibjo. Jumat pekan lalu, Wakil Jaksa Agung Darmono mengumumkan penetapan Yusril dan Hartono sebagai tersangka kasus yang top dengan nama Sisminbakum itu. Keduanya juga dinyatakan dicekal pergi ke luar negeri.

Penetapan ini tak pelak membuat Yusril kecewa. Pendiri Partai Bulan Bintang ini mengaku disudutkan dalam perkara tersebut. Padahal, ujar Yusril, yang dilakukannya hanya membuat kebijakan. Saat itu, kata dia, pemerintah telah berkomitmen dengan Dana Moneter Internasional (IMF) akan segera membuat program tersebut. Karena uang tak ada, digandeng pihak ketiga. Jadi, ”Kenapa saya yang harus didakwa dan dijadikan tersangka?” katanya kepada Tempo. Yusril mengaku mendengar penetapan statusnya sebagai tersangka dari jaksa.

Tapi, bagi Yohanes Waworuntu, Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika, perusahaan yang mendapat order dan mengelola Sisminbakum itu, Yusril dan Hartono patut menjadi tersangka. Peran keduanya jelas. Yusril mengeluarkan keputusan pemberlakuan Sisminbakum serta menunjuk Koperasi Pengayoman Departemen Hukum dan PT Sarana sebagai pengelola proyek Sisminbakum. Adapun Hartono membuat draf kerja sama Sarana dan Koperasi. ”Keduanya dalam dakwaan jaksa juga disebut turut serta bersama-sama,” kata Yohanes. Yohanes sudah divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hukuman ini, Mei lalu, diperberat oleh Mahkamah Agung. Tak hanya hukuman penjaranya menjadi lima tahun, ia diwajibkan mengganti uang negara Rp 378 miliar.

Yohanes menunjuk, Hartonolah sebenarnya ”pemilik” Sarana. Adapun dia tak lebih sebagai ”boneka”. ”Semua dikuasai Hartono. Uang keluar satu sen pun dia yang pegang,” ujar Yohanes kepada Tempo pekan lalu. Namun, soal tudingan ini, Hartono, dalam persidangan Syamsuddin Manan Sinaga (bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum), Juni tahun lalu, membantah. Dia mengaku tak pernah terlibat membahas proyek itu, termasuk mendirikan Sarana atau menunjuk Yohanes sebagai Direktur Utama Sarana.

Sebelumnya, kejaksaan sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus yang membuat negara rugi Rp 420 miliar ini. Tiga di antaranya sudah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka adalah Syamsuddin Manan Sinaga, Romli Atmasasmita (juga mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum), serta Yohanes Waworuntu. Adapun Ali Amran Djanah (bekas Ketua Koperasi Pengayoman), meski sudah berstatus tersangka, hingga kini belum diadili karena sakit.

Kasus ini berawal dari kerja sama Koperasi Pengayoman Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan PT Sarana untuk proyek pelayanan pendaftaran nama perusahaan, pendirian, dan perubahan badan hukum melalui sistem online atau Sistem Administrasi Badan Hukum. Sarana menjadi penyedia aplikasi sekaligus pengelola www.sisminbakum.com.

Kerja sama yang diteken pada 8 November 2000 itu berlaku untuk 10 tahun. Setiap pendaftar dikenai pungutan Rp 1,35 juta. Uang dari setoran itu 90 persen masuk PT Sarana, sementara sisanya untuk Koperasi. Jatah Koperasi ini kemudian juga mengalir ke sejumlah pejabat Departemen Hukum.

Tujuh tahun perjalanan kerja sama itu, kejaksaan mencium ada korupsi pada proyek ini. Kejaksaan berpendapat pungutan Rp 1,35 juta itu seharusnya masuk kas negara, sebagai pendapatan negara bukan pajak, bukannya masuk kantong perusahaan atau Koperasi seperti selama ini terjadi. Sejak itulah satu per satu orang yang dinilai terlibat dicokok dan dijadikan tersangka. Dan pekan lalu, giliran itu sampai juga ke Yusril dan Hartono.

Ramidi, Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus