Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRANSAKSI hedging merupakan upaya lindung nilai yang lazim dipakai eksportir dan importir untuk memperkecil risiko nilai tukar. Hedging dilakukan lewat pembelian atau penjualan suatu mata uang untuk penyerahan di masa mendatang berdasarkan kurs yang disepakati.
Dalam perkembangannya, transaksi hedging bermetamorfosis menjadi varian yang lebih spekulatif, rumit, dan canggih. Dua di antara produk turunan itu disebut knock-out forward weekly accumulator dan callable forward.
Misalnya ada eksportir berpenghasilan dolar Amerika Serikat membutuhkan rupiah dalam jumlah dan waktu tertentu. Lalu, dia mengambil kontrak knock-out forward. Anggaplah nilai tukar saat itu (spot rate) Rp 9.400 per dolar. Lalu, eksportir dan bank menyepakati kontrak lindung nilai berdasarkan selling rate pada kurs Rp 9.650 per dolar.
Jika kurs stabil, jelas si eksportir mengantongi keuntungan kurs Rp 250 per dolar atau US$ 250 ribu x (9.650-9.400) = Rp 37,5 juta. Masalahnya, dalam kontrak, ada sejumlah klausul yang sering luput dari perhatian para eksportir. Misalnya, bank berhak menghentikan transaksi (knock-out) jika rupiah menguat hingga di bawah 9.000 per dolar. Bank terhindar dari kerugian besar.
Sebaliknya, di klausul kedua disebutkan, jika rupiah terus melemah, misalnya hingga 10 ribu per dolar, nasabah harus terus menjual dolarnya ke bank. Umumnya disepakati, penjualan dolar selama 52 pekan (setahun). Selain kurs penjualan dolar tetap dipatok pada harga Rp 9.650 per dolar, nasabah pun terkena aturan harus menjual dolar dua kali lipat lebih banyak. Alhasil, eksportir rugi Rp 175 juta (2 X US$ 250 ribu X (10.000-9.650)).
BOM WAKTU
Bank Indonesia melansir transaksi spekulatif ini mencapai US$ 3,5-3,9 miliar. Dari jumlah itu, baru 40 persen yang terselesaikan. Sisa transaksi senilai US$ 3 miliar siap meledak jika tak ada penyelesaian. Para pemain derivatif itu pun mesti bersiap merugi ratusan juta dolar. Bukan itu saja, transaksi spekulasi ini dituding ikut andil terus merontokkan rupiah. Bank-bank pun terancam merugi, dan kerugian itu akhirnya bakal menggerus permodalan (CAR).
25 anggota Gabungan Pengusaha Ekspor dan Impor Indonesia | US$ 100 juta* |
Bank Danamon | Rp 660 miliar |
CIMB Niaga | Rp 400 miliar |
Para pengusaha kakap (transaksi di luar negeri) 1 orang pengusaha baru di sektor agrobisnis | US$ 150 juta |
Pengusaha keramik dan properti | US$ 100 juta |
1 anak konglomerat agrobisnis | US$ 400 juta |
Badan Usaha Milik Negara PT Aneka Tambang Tbk. PT Elnusa Tbk. PT Timah Tbk. PT Danareksa Sekuritas |
JADI BUMERANG
Pelemahan tajam nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, dan anjloknya harga komoditas perkebunan, perikanan, dan pertambangan, membuat eksportir dan importir yang melakukan transaksi derivatif-transaksi spekulatif-kelimpungan. Tujuan semula untuk melindungi diri (hedging) dari fluktuasi tajam rupiah dan dolar Amerika Serikat justru menjadi bumerang. Para pengusaha gagal memenuhi kewajiban menyetor dolar ke bank yang menjual produk-produk derivatif.
Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar AS
2 Jan 08 | 9.395 |
29 Feb | 9.060 |
17 Okt | 9.630 |
1 Des | 12.195 |
5 Jan 09 | 10.760 |
20 Feb | 11.970 |
Mayoritas bank bermain transaksi derivatif
Tagihan Derivatif Perbankan per September 2008 (Rp miliar)
UOB Buana 3,9 | Bank Ekspor-Impor 9,8 | BRI 8,9 | Panin Bank 18,2 | OCBC NISP 18,9 | Mega 22,8 |
BCA 28,9 | Permata Bank 60,2 | Deutsche Bank 69,9 | Century 133,7 | BII 145,2 | ABN Amro 251,2 |
Mandiri 255,4 | CIMB Niaga 551* | Citibank 604,2 | HSBC 1.323 | Stanchart 1.896 | Danamon 2.400* |
*Per Desember
SUMBER: BANK INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo