Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENTUKNYA mirip karet warna kulit, ditempel di samping kepala persis di atas telinga kanan. Tebalnya sejari kelingking bayi, dipasang vertikal agak serong sepanjang lima sentimeter. Ada apa gerangan di balik benda asing yang tersembul di balik rambut tipis Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang beberapa di antaranya sudah beruban itu?
Inilah jawaban di balik aneka isu ketika Kalla harus molor mendarat di Jakarta, Ahad pagi dua pekan lalu. Semula pesawat carter yang dia tumpangi dari melawat ke Jepang, Amerika Serikat, Belgia, dan Belanda, Boeing Business Jet akan hinggap di Bandara Halim Perdanakusuma pada Rabu, 11 Februari lalu, setelah terakhir lepas landas dari Bandara Schiphol di Amsterdam, Belanda.
Tapi rencana berubah. Kalla ”menghilang” selama empat hari. Tak ada kabar dan penjelasan resmi. Gosip sempat beredar bahwa sang wapres terkena stroke ringan. ”Ah, manalah saya stroke,” katanya kepada Tempo sambil membentangkan kedua tangan, Jumat pekan lalu. ”Buktinya, saya ini pergi ke beberapa negara tak penah berhenti,” ujar JK, 66 tahun. ”Enggak bener, lihat saja, kan lincah sekali beliau,” kata dokter Djoko Rahardjo, ketua tim dokter spesialis kepresidenan.
Rupanya, Kalla melesat ke Amerika Serikat. Ia balik lagi ke Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, yang sudah dia singgahi sebelum terbang ke Washington, DC, untuk bertemu Wakil Presiden Joe Biden, Direktur Intelijen Nasional Dennis Blair, sejumlah senator, dan pengusaha multinasional. Ia berpidato di forum National Breakfast Prayer, saling melambaikan tangan dengan Presiden Obama yang juga hadir di sana.
Rupanya, ada yang belum tuntas di klinik Mayo. Pada saat kunjungan pertama, awal Februari lalu, Kalla cuma menjalani uji medis. ”Untuk cek and ricek, kayak di televisi saja...,” kata JK. Check up menyeluruh untuk presiden dan wakilnya dilakukan setiap enam bulan sekali. Ketika diperiksa sebelum terbang jauh pun, dokter bilang kondisi JK sehat. ”Beliau itu sehat sekali, jantung sehat, semua sehat,” kata dokter Djoko Rahardjo.
Sewaktu singgah kedua kali inilah ada sedikit masalah. Tim dokter lalu menyarankan agar JK dioperasi. ”Ya, beliau habis menjalani operasi di Amerika Serikat,” kata Achmad Kalla, adik kandungnya. Operasi tumorkah? Dokter Djoko enggan menjawab. ”Saya tidak tahu, mungkin kayak kutil saja,” kata dia. Kalaupun dibedah, kata Djoko, paling operasi ringan seperti mengambil tahi lalat.
Ada benda kecil yang terasa mengganggu. ”Dia sering mengeluh pusing-pusing,” kata seorang kerabatnya. ”Kayaknya, ada lemak yang harus dikeluarkan,” kata Achmad. Profesor Meyers, spesialis bedah ternama di klinik itu, yang pernah mengoperasi Presiden Ronald Reagan, hanya butuh satu setengah jam untuk membereskan kutil sebesar biji kacang hijau ini. ”Rambutnya saja tidak dicukur, saking simpelnya,” Achmad berujar.
Semula tak ada niat untuk operasi. Selepas dari Jepang, dia mampir ke Mayo untuk general check up tadi, sekaligus ”studi banding”. Di sana, JK sekalian menyaksikan acara perjanjian alih teknologi bedah jantung antara Mayo dan Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Usai acara, hasil uji medis dicek, Kalla dinyatakan sehat. Hanya ada benjolan di kepala, di atas telinga kanan, yang disarankan dokter agar ”diambil” saja sekalian.
Kalla setuju, tapi ditunda dulu. Acaranya padat dan sudah kadung dijadwal. Dari Washington, dia terbang ke Brussel, Belgia, untuk menerima tanda jasa ”Commandeur de l’Ordre de Leopold”, yang disematkan Deputi Perdana Menteri Karel De Gucht. Dari sini mabur lagi ke Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, dan Leiden untuk sejumlah acara: bertemu dengan PM Jan Peter Balkenende, sejumlah menteri dan pengusaha Shell, lalu tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Wisma Duta. Barulah kemudian, 10 Februari, JK kembali ke Mayo.
Kalla dirawat dua hari di kamar very-very important person dan dijaga sejumlah petugas dari Secret Service. Semua ruangan dan kacanya antipeluru—karena pernah dipakai Ronald Reagan tadi. ”Mereka bilang senang di sini, tugasnya jadi ringan, he-he-he...,” kata Kalla. Total biayanya habis US$ 20 ribu atau sekitar Rp 220 juta. Mayo, yang berdiri sejak 1846, ketika Abraham Lincoln berkuasa, dijadikan rujukan berobat para tokoh dunia. Dan Kalla rupanya tak mau kalah.
Wahyu Muryadi, Agung Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo