Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Spanduk dan baliho pemberitahuan harga baru Premium dan solar itu masih terlipat rapi dan digeletakkan di salah satu ruangan staf stasiun pengisian bahan bakar umum yang berlokasi di Jalan Letjen Soeprapto, Gedongtengen, Yogyakarta, Selasa pekan lalu. Pengelola SPBU menerima perangkat dari PT Pertamina beberapa hari sebelumnya. ¡±Kami tidak berani pasang dulu,¡± kata Dita, pengawas di SPBU berkapasitas edar 16 ton per hari itu.
Di SPBU lain di Jalan Parangtritis, spanduk dan baliho yang mereka terima pada Ahad dua pekan lalu bahkan langsung disimpan di gudang. Seperti halnya Dita, Jaldan, yang mengawasi SPBU di kawasan Jogokaryan ini, mengatakan pemasangan urung dilakukan menyusul tak jelasnya kepastian kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang mereka jual.
Di perangkat pengumuman berlogo Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu tertulis dua harga baru Premium dan solar. Untuk mobil pribadi, harga baru dipatok Rp 6.500. Sedangkan bagi sepeda motor dan angkutan umum, harga lama Rp 4.500 masih berlaku.
"Semua persiapan dan pengadaan itu akhirnya mubazir," ujar Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Daerah Istimewa Yogyakarta Siswanto. Jika satu paket spanduk dan baliho kira-kira Rp 500 ribu, kata dia, "Berapa duit yang sudah dikeluarkan untuk 5.000 lebih SPBU di Indonesia?"
Bersama rekan-rekannya di Jawa Tengah dan eks Karesidenan Besuki di Jawa Timur, sejak mula Siswanto tak sepakat dengan rencana pemberlakuan dua harga untuk memangkas subsidi BBM yang digagas pemerintah. Selain dianggap membingungkan, mereka khawatir perbedaan harga akan memicu ketegangan dan konflik di tingkat bawah.
"Kalau mau naik, silakan saja. Asalkan tetap satu harga, tak ada masalah," ujar Siswanto sepekan sebelumnya. Setelah akhirnya rencana dibatalkan, dia kembali ngomel karena sikap pemerintah yang berubah-ubah dirasakan amat merepotkan. "Ini namanya pemborosan."
Tanda-tanda perubahan itu mulai terlihat di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Kembali dari lawatannya ke Singapura, Myanmar, dan Brunei Darussalam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat terbatas di bandar udara itu. Dalam rapat, Presiden menerima laporan dari Menteri Energi Jero Wacik terkait dengan kajian terakhir kebijakan BBM. Hadir pula Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, dan beberapa anggota kabinet lainnya.
"Saya tunggu dua hari lagi laporan lengkapnya, apakah memungkinkan secara teknis di lapangan diberlakukan sistem dua harga. Kalau memang tidak memungkinkan, risikonya terlalu besar, tentu tidak mungkin pemerintah pilih," kata Presiden seusai pertemuan.
Yudhoyono menambahkan, jika nantinya harga BBM diputuskan dipukul rata dan naik dengan satu harga, rakyat miskin yang terkena imbas wajib mendapat proteksi sosial. Caranya, menurut Presiden, dengan memberikan bantuan langsung. "Ini bukan sekadar putuskan A atau B. Saya tahu implikasinya kepada saudara kita yang miskin atas kenaikan harga dan kemungkinan memberikan persoalan kehidupan sehari-harinya."
Pernyataan Presiden itu berbeda dari apa yang beberapa hari sebelumnya ia sampaikan di Singapura dan melalui akun Twitternya. Dalam salah satu pesannya, Yudhoyono mengatakan, "Bagi yang mampu, ada kenaikan harga BBM." Di lain waktu, ia memberi sinyal jelas bahwa kenaikan harga bagi segmen tertentu akan mulai dijalankan pada Mei ini.
Perubahan sikap di Halim itu juga memupus semua persiapan yang digeber para pembantunya bersama PT Pertamina beberapa pekan belakangan. Seorang sumber di pemerintahan menggambarkan persiapan kenaikan harga BBM sudah dibicarakan lewat ratusan rapat. Semua model simulasi sudah dicoba dan dipresentasikan di hadapan Presiden. "Dari semua itu, opsi dua harga itulah yang paling masuk akal," ucapnya. Selain akan menghemat puluhan triliun rupiah biaya subsidi, pilihan ini dianggap paling kecil risiko ekonominya karena dampak kenaikan inflasi masih bisa terkendali.
Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo mengakui beragam opsi diusulkan oleh kementeriannya, Kementerian Keuangan, dan Komite Ekonomi Nasional. "Ibarat orang mencuci, opsi-opsi itu sudah dikucek-kucek dan dibilas berulang-ulang," kata Susilo saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu. "Tugas kami mempersiapkan sampai matang. Tapi keputusan akhir ada di tangan Presiden, karena harus menimbang masukan dari semua sisi."
Wakil Direktur Komunikasi Korporat Pertamina Ali Mundakir tak bersedia merinci biaya yang sudah dirogoh perusahaannya untuk persiapan itu. "Pasti ada biaya, tapi tidak signifikan," ujarnya. Sebagai perbandingan, General Manager Marketing Operations Pertamina Region III Hasto Wibowo memperkirakan, untuk wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, tempat terdapat sekitar 1.400 SPBU Pertamina, dibutuhkan dana Rp 1,5-2 miliar.
Susilo tak menampik kabar bahwa persiapan untuk menjalankan opsi dua harga sudah mencapai lebih dari 90 persen. Meski begitu, ia mengaku tak kecewa walaupun akhirnya Presiden berubah pikiran. "Saya bukannya meremehkan biaya yang sudah dikeluarkan. Memang kita rugi karena kemudian tak terpakai," ucapnya. "Tapi, dengan rencana baru ini, penghematan yang bisa dilakukan akan lebih besar lagi."
Presiden Yudhoyono mengutarakan rencana baru itu melalui pidatonya saat membuka Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional di Hotel Bidakara, Selasa pekan lalu. Di hadapan para gubernur, bupati, dan wali kota, Presiden mengatakan kenaikan harga BBM merupakan pilihan terakhir yang harus diambil. Sebab, jika tidak, bisa dipastikan kondisi fiskal kita tak akan sehat lagi. Saat ini saja, kata dia, asumsi makro ekonomi yang dirancang pemerintah dan DPR sudah tidak sesuai lagi.
Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013, penerimaan negara ditargetkan Rp 1.529,7 triliun, dengan total belanja Rp1.683 triliun. Defisit disetel sebesar Rp 153,3 triliun atau 1,65 dari produk domestik bruto.
Dari total anggaran tersebut, alokasi belanja subsidi sebesar Rp 317,2 triliun, dengan porsi Rp 193,8 triliun di antaranya untuk subsidi BBM. Namun, melihat kecenderungan realisasi konsumsi BBM pada triwulan pertama tahun ini, pemerintah khawatir, jika tidak dikendalikan, beban subsidi akan membengkak hingga Rp 446,8 triliun, dengan Rp 297,7 triliun di antaranya untuk subsidi BBM.
Dengan harga keekonomian BBM yang mencapai Rp 10 ribu per liter, subsidi yang saat ini berlaku akan membuat anggaran semakin jebol. "Defisit bisa mencapai Rp 353,6 triliun atau 3,83 persen dari PDB," ucap Yudhoyono. Itu artinya akan melanggar ketentuan yang ditetapkan undang-undang, yang memberi toleransi defisit maksimal tiga persen. "Di sinilah kita bebaskan pikiran-pikiran politik. Sebagai negarawan, mari lihat faktanya. Harus saya katakan, subsidi BBM memang perlu dikurangi."
Setelah panjang-lebar menjelaskan alasan perlunya menaikkan harga BBM, Presiden memastikan langkah ke arah itu akan diambil hanya jika dana kompensasi dan perlindungan sosial sudah siap. Masalahnya, tak seperti opsi kenaikan harga yang bisa diputuskan sendiri oleh pemerintah, kompensasi sosial masih harus menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Caranya melalui pengajuan Rencana APBN Perubahan.
"Bisa dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat, beras miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan lain baik dari pemerintah pusat maupun daerah," ujar Yudhoyono. "Bisa juga melalui program kesetiakawanan sosial, misalnya pasar murah dari badan usaha milik negara dan swasta."
Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Pelaksana Tugas Menteri Keuangan, Hatta Rajasa, menyatakan pemerintah masih menghitung besaran dana kompensasi tersebut. Menurut dia, dana kompensasi akan sangat bergantung pada berapa besar kenaikan harga BBM. "Pengalaman kita pada 2005, kemiskinan meningkat menjadi 17 persen akibat kenaikan harga BBM. Pengalaman itu harus jadi pelajaran. Kami tidak ingin akibat kebijakan ini masyarakat miskin kena imbasnya," kata Hatta.
Adapun Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono menyatakan besaran anggaran reguler untuk bantuan beras bagi rakyat miskin adalah Rp 17 triliun. Setiap keluarga yang masuk kategori sangat miskin mendapat jatah 15 kilogram beras per bulan selama 15 bulan. "Jika ada programnya seperti ini, katakanlah kompensasi empat bulan x 15 kilogram, berarti perlu Rp 6 triliun," ujarnya. Yang penting, kata dia, "Tidak ada politisasi dalam bantuan itu."
Kecurigaan adanya politisasi bantuan itu tak bisa dihindari. Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie O.F. Palit, mengatakan, dari waktu ke waktu, modus yang diambil pemerintah mudah terbaca. Ia juga ragu rencana pengurangan subsidi ini benar-benar dijalankan untuk menyelesaikan masalah BBM. "Kalau itu tujuannya, masih banyak cara lain yang lebih masuk akal ketimbang mengalihkan bebannya ke masyarakat," ucapnya.
Dolfie menghitung, dengan kenaikan harga BBM dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 seperti yang diwacanakan pemerintah, paling banter penghematan yang didapat sekitar Rp 30 triliun. "Kalau hanya segitu, pemerintah bisa menambalnya dengan menghemat anggaran lain, seperti biaya perjalanan yang mencapai Rp 20 triliun dan beberapa pos belanja barang yang sebenarnya tak terlalu diperlukan."
Wakil dari fraksi oposisi ini mengkritik pilihan Presiden yang lebih suka membebankan lonjakan defisit itu kepada publik, sementara program-program konversi energi yang menjadi kewajiban pemerintah tak dijalankan sesuai dengan rencana. "Mereka sendiri tak mengerjakan pekerjaan rumahnya. Lalu sekarang menjelang pemilihan umum mau bikin bantuan langsung ke masyarakat dengan mengambil dananya dari kenaikan harga BBM," kata Dolfie. "Dari dulu polanya tak berubah."
Dolfie memastikan langkah pemerintah untuk meminta persetujuan DPR juga tak akan mudah. Harapan Presiden agar keputusan bisa diambil bulan ini pun akan sulit terwujud, mengingat masa reses DPR baru akan berakhir pada 12 Mei. Sepekan pertama masa sidang akan habis untuk rapat-rapat internal komisi, kemudian membahas RAPBN Perubahan yang diajukan pemerintah. "Paling cepat baru mulai dibahas 19 Mei, dan yang sudah-sudah baru beres tiga-empat minggu kemudian," ujar Dolfie. "Itu pun dengan asumsi kalau DPR menyetujuinya."
Y. Tomi Aryanto, Bernadette C., Angga Sukma W., Anang Zakaria (Yogyakarta)
Rekomendasi Komite Ekonomi Nasional
opsi 1
Program
Penghematan
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial-Politik
opsi 2
Program
Penghematan
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial-Politik
opsi 3
Program
Penghematan
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial-Politik
opsi 4
Program
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial-Politik
Opsi dari Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Program
Penghematan
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial-Politik
Sumber: Komite Ekonomi Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo