Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tutup di Sini, Mahal di Sana

Pemerintah akan membuka kembali keran impor buah, sayur, dan bunga. Produsen dan konsumen harus dijembatani.

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSAT buah di lantai 2 Pasar Induk Johar, Kota Semarang, tampak lengang, Rabu pekan lalu. Sejumlah pedagang asyik menikmati tidur siang di atas tumpukan kardus bekas buah. Hanya seorang pedagang di lapak baris tengah terlihat sibuk menumpuk jeruk bali dan sawo di atas meja. Pasar Johar menampung 60 pedagang buah. Sekitar 500 pedagang lainnya tersebar di 47 pasar lain milik pemerintah ibu kota Jawa Tengah itu.

"Masih sepi. Penjualan tak seramai dulu," kata Suparno kepada Tempo. Pria 73 tahun ini mengaku terpaksa menjual sawo dan jeruk bali setelah sebulan lebih tak mendapatkan pasokan buah impor. Pasokan kedua buah lokal itu juga tak melimpah. "Daripada tak ada pemasukan sama sekali."

Suleh, rekan Suparno, masih bisa mendapatkan pasokan buah impor berupa kelengkeng, apel merah, apel fuji, dan anggur. Namun jumlahnya amat sedikit, masing-masing kurang dari 20 kilogram. Suleh akhirnya juga menjual buah lokal. Tapi jumlah pembeli merosot drastis. Sebelumnya, omzetnya Rp 50 juta sehari, tapi sekarang paling sepertiganya. Kondisi paling parah terjadi pada medio April lalu. Para buruh angkut mengubah lapak buah menjadi arena futsal karena tak ada buah datang.

Kelangkaan juga memukul Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, yang memasok kebutuhan pedagang eceran di Jabodetabek dan Lampung. "Barang enggak ada, pedagang sampai nangis," ujar Dito, pedagang di Blok A Nomor 48, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Banyak yang pulang kampung." Dito pun mengaku kehilangan 50 persen pelanggannya, yang kebanyakan pedagang kaki lima.

Bayan, pedagang jeruk, menuturkan kelangkaan buah terjadi sejak pertengahan Februari dan membuat beberapa rekannya putus asa. "Sekitar 20 pedagang alih profesi," katanya.

Kelangkaan buah merupakan buntut pengetatan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, yang berlaku sejak 28 September 2012. Keduanya mengatur importasi 20 komoditas, berikut pos tarif atau HS Code produk 57 komoditas hortikultura impor.

Sebanyak 13 jenis produk bahkan disetop keran impornya. Untuk kategori buah: nanas, melon, pisang, pepaya, mangga, dan durian. Sayuran adalah kentang, kubis, wortel, dan cabai. Adapun bunga adalah krisan, anggrek, serta heliconia. Alasan penghentian impor itu: Januari-Juni adalah masa panen. Menurut data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian pada 2007-2011, pertumbuhan impor enam buah itu melonjak, kecuali mangga. Angka impor pisang naik 330 persen, melon 119 persen, nanas 107 persen, pepaya 79 persen, dan durian 5 persen.

Namun harga buah impor yang tak dilarang ikut naik gila-gilaan. Sejak pertengahan April, pasokan buah impor mulai berdatangan di Kramatjati. Tapi harganya melonjak sampai tiga kali lipat dan jumlahnya sedikit. "Harga apel Washington Rp 1 juta per karton isi 20 buah, sebelumnya hanya Rp 300 ribu," ujar Putra Effendi, pedagang setempat. Sedangkan di Depok, Jawa Barat, harga apel, jeruk, dan pir naik lebih dari 100 persen. Kini harga apel Rp 55 ribu per kilogram. Padahal semua buah itu bebas diimpor.

Di toko All Fresh, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, harga buah pun naik di atas 50 persen. Kepala toko Mamat Basori mengatakan sudah dua bulan stok buah impor tipis. Ini terjadi lantaran kenaikan biaya transportasi mengangkut buah dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Jakarta. "Semua buah impor harus diambil dari Surabaya," ucapnya kepada Renly ­James Yosua dari Tempo.

Sejak Juni 2012, pemerintah mengalihkan pelabuhan impor produk hortikultura dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak. Pintu masuk lain adalah Belawan (Medan), Makassar, Bandar Udara Soekarno-Hatta, serta tiga pelabuhan perdagangan bebas: Batam, Karimun, dan Bintan. Pengalihan itu berpayung Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42 Tahun 2012 tentang Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan, Buah-buahan, dan Sayuran Segar serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tindakan Karantina Sayuran Umbi Lapis Segar.

Ketua Umum Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia Bob B. Budiman mengatakan semula 80 persen produk hortikultura impor masuk ke Priok untuk menyuplai 20 persen pasar yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, dan Lampung. Kini 85 persen pasokan mendarat di Perak dan mayoritas didistribusikan ke wilayah gemuk tadi. "Transportasi, infrastruktur, dan fasilitas Priok lebih bagus," ujarnya Kamis pekan lalu. Maka bisa dipastikan pasokan tersendat dan biaya bertambah.

Bob membenarkan kabar bahwa sebagian buah lokal mengalami kenaikan permintaan akibat kelangkaan buah impor. Namun kondisi itu membuat harga buah lokal menjadi mahal. "Akhirnya, konsumen yang lebih banyak jumlahnya yang dirugikan."

Pantauan Tempo di sentra apel di Batu, Jawa Timur, mengkonfirmasi penjelasan Bob. Pemimpin UD Anugerah Dewata, Siti Mariam, menuturkan harga eceran apel Malang menjadi Rp 25 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp 15-20 ribu. Sedangkan harga dari petani Rp 10-12 ribu, naik dari semula Rp 6.000-7.000. "Harga tinggi karena tak ada pembanding," katanya.

Sunaryo, petani apel dari Bumiaji, Kota Batu, mengaku keuntungan petani bisa naik dua kali lipat. Harga apel kualitas super terus naik, dari Rp 4.000 per kilogram pada Januari kini Rp 10 ribu.

Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia (Assibisindo) menilai pembatasan impor buah mungkin tepat dari sisi politik. "Tapi, secara ekonomi, kebijakan ini jelas salah," ucap Kafi Kurnia, Ketua Assibisindo. Ia tak menyalahkan perlindungan terhadap petani. Namun pemerintah mesti memperhatikan pula sekitar 150 juta penduduk kelas menengah.

Kafi berpendapat keran impor buah dari 22 negara tak bisa ditutup begitu saja. Penyuka buah impor tak bisa dipaksa berpindah ke buah lokal. Apalagi pasokan buah lokal paling banter hanya 50 persen. "Kualitas buah lokal pun tak semuanya bagus," ujarnya. Penikmat utama kenaikan harga juga bukan petani, melainkan pedagang. Pemerintah semestinya mendanai promosi buah lokal sekaligus meningkatkan kualitasnya ketimbang menutup keran impor.

Kelangkaan dan meroketnya harga buah akhirnya membuat pemerintah mengendurkan aturan impor. Menteri Perdagangan pada 22 April lalu mengeluarkan Peraturan Nomor 16 Tahun 2013, yang mengatur impor 39 produk hortikultura—berkurang 18 produk dibanding sebelumnya.

Peraturan ini akan diterapkan untuk masa impor Juli-Desember 2013. "Kalau peraturan itu kurang baik, ya, kami ubah. Ini bentuk respons kami. Kebijakan itu tak statis," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi kepada Pingit Aria dari Tempo, Rabu pekan lalu.

Bachrul menerangkan, petani yang jumlahnya puluhan juta dan konsumen yang ratusan juta mesti dijembatani. Indonesia juga dihuni sekitar 2,6 juta turis dan ekspatriat yang harus diakomodasi kepentingannya. "Kalau apel impor dibutuhkan warga asing, harus kami adakan. Kalau tidak, buruk image kita."

Menteri Pertanian pun mencabut larangan impor 13 jenis produk hortikultura. "Semester kedua nanti, impor produk hortikultura tak lagi dibatasi kuota dan tak ada lagi pelarangan impor," ucap Pelaksana Harian Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Yasid Taufik.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura yang baru mengatur 15 produk hortikultura. Sedangkan aturan terdahulu mengatur 20 produk. Lima komoditas yang tak lagi diatur adalah bunga anggrek, heliconia, krisan, bawang putih, dan kubis.

Peraturan baru itu, menurut Bob, menunjukkan tindakan frustrasi dan salah kaprah. Rencana semula membantu petani, tiba-tiba diganti oleh peraturan membuka impor buah seluas-luasnya. Ia menilai impor tak mungkin disetop. "Tapi kuota impor tetap diperlukan," ujarnya.

Jobpie Sugiharto, Edi Faisol (Semarang), Maria Yuniar, Rosalina, Ali Akhmad (Jakarta), Ilham Tirta (Depok), Eko Widianto (Batu)


Kenaikan impor buah:
Pisang330%
Melon119%
Nanas107%
Pepaya79%
Durian5%

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus