MUNGKIN, inilah model koperasi yang diangan-angankan Presiden Soeharto: KUD Makaryo Mino (Mami). Hampir setiap tahun, koperasi yang didirikan tahun 1976 di Pekalongan ini mendapatkan penghargaan. Mulai dari penghargaan sebagai koperasi terbaik tingkat nasional, kemudian penghargaan sebagai koperasi perikanan terbaik, hingga sebagai KUD Teladan I tingkat nasional. Semua penghargaan itu tidak terlampau berlebihan, memang. Ini kalau dilihat dari perkembangannya, yang dari tahun ke tahun semakin pesat. Jumlah nelayan yang menjadi anggotanya kini telah naik dua kali lipat, menjadi 300-an, dalam tempo sepuluh tahun. Jadi, biarpun simpanan wajib anggota yang Rp 40 ribu bisa dicicil tanpa batas waktu, plus simpanan pokoknya hanya Rp 10 ribu per bulan, toh kekayaan Mami kini bisa mencapai Rp 2,5 milyar. Dari segi kekayaan, jelas, Mami tak lagi mirip dengan koperasi kebanyakan. Begitu pula jenis usahanya. Sekarang Mami tidak hanya sebagai pemasok 12 kebutuhan para nelayan, seperti es pengawet, jarmg, solar, oli, hingga mesin kapal. Tapi juga sebagai penampung hasil keringat mereka, yang setiap harinya rata-rata bisa mencapai 200 ton ikan segar. "Ikan yang kami peroleh dari para nelayan kami lelang kembali pada para pengusaha dari Semarang dan Pekalongan, atau pada siapa saja yang sanggup membayar paling tinggi," kata 11. Riyanto Chadiri, yang menjadi ketua sejak Mami berdiri. Bukan hanya nelayan Pekalongan yang diurus Mami. Menurut Riyanto, tidak kurang dari 10 ribu nelayan pendatang, dari luar Pekalongan, juga mendapatkan pelayanan yang sama. Hanya bedanya, selain mereka terlepas dari kewajiban sebagai anggota, mereka juga tidak perlu menabung 2% dari setiap pendapatannya. "Pendapatan yang kami kutip boleh mereka ambil setiap enam bulan," ujarnya. Dilihat dari aktivitasnya, sukses Mami, tak lepas dari sukses kepemimpinan Riyanto. Seorang anggotanya berkata, "Saya senang, walaupun penghasilan saya harus dipotong Pak Riyanto. Sebab, kalau harus nabung sendiri, 'ndak bisa." Kini kegiatan Mami tidak hanya sebagai pialang yang menyediakan kebutuhan para nelayan, tapi juga sebagai produsen. Buktinya, pada 1982, Mami sudah memiliki pabrik es sendiri dengan investasi Rp 700 juta. Setahun kemudian, untuk memanfaatkan kelebihan hasil para nelayan, Rp 600 juta dikeluarkan Mami untuk membangun pabrik tepung ikan. Konon, sebagian modal yang digunakan - berupa pinjaman dari BRI -- untuk pabrik es, sudah lunas. Sedangkan untuk pabrik tepung ikan, diperhitungkan baru akan lunas dua tahun lagi. Tapi itu tidak berarti kegiatan investasi menghilangkan hak anggota atas sisa hasil usaha (SHU). Dari Rp 120 juta SHU yang diperoleh tahun lalu, misalnya, 50% dibagikan pada para anggota. Artinya, setiap anggota rata-rata mendapat bagian Rp 200 ribu. Lantas sisanya? Para nelayan bisa memperoleh fasilitas lain, seperti pengobatan gratis, tunjangan paceklik asuransi kecelakaan laut, biaya sekolah untuk dua anak, sampai biaya untuk melahirkan. "Tapi, sayang, hanya dua anak yang ditanggung Mami," keluh Sadikun, seorang anggota Mami, yang telanjur punya empat anak. B.K., dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini