KOPERASI adalah kumpulan orang. Tapi bagaimana kalau kvmpulan orang itu masing-masing mengumpulkan Rp 1 milyar, untuk mendirikan koperasi? Menurut Dr.Sri-Edi Swasono, itu bisa saja terjadi. "Namun, yang terwujud adalah usaha berbadan koperasi yang berjiwa kapitalistis," kata ekonom yang menantu Almarhum Bung Hatta itu. Di dalam tubuh koperasi itu, katanya lebih lanjut, akan timbul pertanyaan: adakah demokrasl ekonoml, gotong-royong, setia kawan, kekeluargaan. Memang, dengan adanya kumpulan orang, bukan berarti modal tak diperlukan. Maka koperasi sebagai manifestasi asas kekeluargaan - seperti tertuang pada pasal 33 UUD '45 - akhirnya semakin hangat dikaji dan dibicarakan. Juga Presiden Soeharto akhir-akhir ini bicara soal koperasi. Ketika peresmian PIR ternak sapi perah di Salatiga, bulan lalu, dikatakannya, "Saya menyerukan, agar kita semua memberi perhatian lebih besar lagi kepada gerakan koperasi." Maklum, sebagai mandataris MPR, Presiden tentu terikat dengan amanat dan jiwa pasal 33. Pasal itu, menurut Swasono, mengandung unsur demokratisasi ekonomi. Sedangkan bentuk usahanya, memang, tidak harus koperasi. Kendati bentuknya PT, CV, tak jadi soal, asalkan tetap menerapkan asas kebersamaan dan kekeluargaan. Swasono berpendapat, upaya demokratisasi itu dapat diwujudkan dengan jalan pemilikan saham perusahaan oleh koperasi karyawan. Dengan cara itu, menurut Swasono, hubungan antara majikan dan buruh berubah menjadi hubungan kerja sama. Buruh bukan lagi dianggap faktor produksi, melainkan rekan di dalam produksi. Hal itu pun akan meningkatkan produktivitas kerja. "Pemilikan saham itu jangan diartikan sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan," katanya. Memang, macam-macam dugaan bisa muncul, kalau pemilikan saham itu benar-benar menjadi semacam instruksi pemerintah. Soalnya, ada kesan lain dari istilab koperasi - terutama pada Kopersi Unit Desa (KUD) -- suatu akronim dari "ku-peras-i" (aku perasi). Semacam lintah darat jadinya. Tapi, "Saya kira itu tidak benar, nggak semua KUD lintah darat," demikian sang ekonom, membantah kesan itu. Selain itu, diperkirakan, karena adanya isyarat dari Presiden Soeharto mengenai pemilikan saham perusahaan oleh koperasi, lantas akan bermunculan koperasi karyawan Isyarat ini tercetus akhir Desember lalu, ketika antara lain Presiden berkata, "Pemerintah harus mengusahakan agar pada perusahaan-perusahaan swasta dibuka kemungkinan menjual sebagian sahamnya kepada koperasi karyawan. Dengan cara ini rakyat yang terhimpun dalam koperasi dapat ikut menguasai dan memiliki alat-alat produksi... kalau pada Pelita V belum kita laksanakan, akan terlambat .... " Isi gagasan Pak Harto ini jelas, tapi penerapannya bagaimana? Bukan tidak mungkin akan muncul koperasi karyawan yang asal jadi. Ini justru bisa membahayakan semangat dan jiwa kekeluargaan, kebersamaan. Pengamat ekonomi seperti Kwik Kian Gie juga belum bisa menerima pemilikan saham seperti itu. "Tidak realistis, dan akan banyak menemui hambatan," komentarnya. Hambatan itu, misalnya, apakah pengusaha rela memberikan sahamnya. Ia juga tidak bisa membayangkan penerapannya. Apakah saham diberikan secara sukarela. Dan kalau koperasi membeli saham, dari mana uangnya. Kwik mempertanyakan, jika koperas menjadi pemegang saham, itu berarti sudah menjadi holding company. "Jika ini terjadi maka karakter koperasi akan menjadi kumpulan modal, bukan lagi kumpulan orang yang sesuai dengan asas koperasi," katanya. Mengenai pasal 33 UUD '45, yang berisi tentang perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, menurut Kwik, konsepsinya sudah jelas. "Tapi penafsiran operasionalnya yang berbeda," katanya. Di satu pihak, ada yang mengatakan bentuk tepatnya adalah koperasi. Pihak lain berpendapat, pasal itu jangan diartikan secara harfiah saja, sehingga wadah perekonomian Indonesia tidak mes.ti. koperasi semua. Pendapat Hadi Soesastro pun senada dengan Kwik. Apalagi fakta menunjukkan bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan industri, Jasa, pertanian, pertambangan, yang justru lebih banyak didukung baik oleh peranan swasta maupun pemerintah. "Koperasi sebagai pelaku ekonomi masih banyak mengalami hambatan," ujarnya. Penyebabnya mungkin karena selama ini koperasi merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah saja, khususnya dalam menyalurkan kredit. Kesan seperti itu rupanya masih sulit dihindari. Misalnya di Bali, Wayan Entog mendapat kredit Rp 9,8 juta sejak 1983 lewat KUD Mina Segara. Penghidupannya toh belum berubah, masih seperti dulu juga. "Tak ada bedanya. Malahan sekarang rasanya tidur tak bisa nyenyak karena harus kerja keras, diburu utang," ujarnya. Tapi KUD itu bisa menjadi penampung hasil penangkapan ikan, dari nelayan anggotanya. Ini memecahkan problem penjualan ikan, karena nelayan memang sulit menjualnya. Toh tidak semua koperasi memandang jelek campur tangan pemerintah. "Koperasi masih memerlukan uluran pemerintah, terutama mengenai pembinaan usahanya," kata Mohammad Nasrun, seorang pengurus Koperasi Peternakan Bandung Selatan. Swasono juga menyadari bahwa selama ini koperasi, sebagai realisasi pasal 33 UUD '45 belum terwujud. Terutama bagi yang beranggapan bahwa koperasi tidak bisa diandalkan. Tapi, kata Swasono, Presiden Soeharto mengajak membedakan antara das sollen (cita-cita) dan das sein (kenyataan). "Memang teori belum ada, ilmunya belum lengkap. Tapi UUD 1945 sudah ada. Presiden bersumpah kepada UUD 1945 dengan seluruh pasal-pasalnya, karena itu tidak ada alternatif lain bagi Presiden kecuali melaksanakan amanat MPR, sungguhpun belum lengkap teorinya," begitu ucapan Presiden yang dikutip Swasono. Lantas, apakah pemilikan saham perusahaan swasta oleh koperasi itu kelak akan dibakukan? Barangkali masih perlu dikaji lagi, perlu waktu. Tunggu saja dulu. Suhardjo Hs., biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini