MEREKA bersantap siang bersama di Nirwana Room, Hotel Indonesia
Sheraton. Sesudah itu mereka bergilir menyampaikan uneg-uneg
yang dirasakan selama ini. Menteri Perdagangan dan Koperasi
Radius Prawiro meminjamkan telinganya.
Kejadian minggu lalu itu semacam penyajian feedback, umpan-balik
dari Masyarakat Perkayuan Indonesia. Hampir 100 anggota MPI itu
menghadirinya. Wartawan TEMPO Yunus Kasim ikut mendengarkan
uneg-uneg mereka. Petikannya:
Harga patokan. Ini dianggap terlalu tinggi untuk jenis kayu
rendah. Padahal harganya berbeda. Sedang pajak ekspornya
disamaratakan. Contoh: kayu bulat jenis bankerei diberi harga
patokan sebelum April $25, $22 dan $20 per m3. Patokan itu
dinaikkan 100% pada tanggal 16 April, sedang kenaikan harganya
di pasar jauh di bawah 100%. Maka ini tidak dapat diterima kaum
pengusaha.
Simpanan wajib. Mulai 1 Januari '78 pemerintah memungut simpanan
wajib Rp 415 untuk tiap m3. Tapi pungutan ini tidak berdasar
undang-undang. Kenapa tidak disebut sebagai pajak saja?
Penggunaannya tidak jelas. Pemungutannya disamaratakan dari
semua pemegang HPH. Seyogianya mereka yang telah mendirikan
industri perkayuan diberi keringanan dalam hal simpanan wajib
ini. Atau semustinya pemerintah memberi semacam bunga.
Industrialisasi. Di sini tidak ada pengarahan pemerintah.
Akibatnya, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan, ada
pencurian kayu, penebangan liar dan pengrusakan hutan untuk
mensuplai industri. Jumlah industri tidak dibatasi hingga
menimbulkan ekses tadi. Jika mau mendiikan industri, kaum
pengusaha biasanya harus pergi ke bank pemerintah tapi terpaksa
membayar 'uang semir' 5% pada pejabat bank. Dianjurkan supaya
pemerintah mengadakan pilot project untuk daerah industri
pengolahan kayu.
Pasar. Akhir-akhir ini Jepang menurunkan pembeliannya.
Indonesia, sebagai produsen, sudah mengurangi produksinya dengan
100.000 m3 lebih per bulan. Sabah justru menaikkan produksinya
dari 500.000 ke 800.000 m3 per bulan. Berarti, kekurangan dari
Indonesia telah diisi oleh Sabah yang mendapat pinjaman dari
Jepang. Dianjurkan supaya pemerintah RI membicarakannya dengan
Malaysia. Maka sudah waktunya pula bagi Indonesia membentuk
Badan Perkayuan Nasional, yang didukung pemerintah dan swasta,
semacam yang ada di Pilipina dan Indonesia, guna memperkuat
posisi produsen.
1 April. Sesudah 2 tahun, Paket 1 April masih berjalan seret.
Tujuannya ialah mendorong ekspor. Ternyata kaum pengusaha
menghadapi kesulitan prosedur, antara lain karena kurang adanya
kerjasama antara Depkeu dan Deptan.
Sukubunga. Akhir Desember '77 Bank Indonesia menurunkan
sukubunga tapi sampai sekarang belum terlaksana. Ini juga karena
tiada kerjasama antar Departemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini