RENCANA dan realisasinya telah meleset. Ini dijumpai dalam
pelaksanaan APBN 77/78 sebagaimana dilaporkan Menteri Keuangan
Ali Wardhana pada DPR minggu lalu.
Realisasi APBN 77/78, yang berakhir Maret, hanya Rp 3 milyar
meleset dari anggaran semula. Kalau dilihat bahwa jumlah
anggaran semula adalah Rp 4248 milyar maka meleset hanya dengan
Rp 3 milyar (perbedaan kurang dari satu per mil) nampaknya
merupakan prestasi yang mengesankan. Namun angka Rp 3 milyar ini
sebenarnya menyembunyikan penyimpangan yang cukup tajam yang
terjadi dalam beberapa komponen anggaran. Total penerimaan,
misalnya, melampaui anggaran dengan Rp 61 milyar, sedangkan
belanja meleset Rp 58 milyar, kurang dari sasaran.
Penerimaan dalam negeri Rp 51 milyar lebih banyak dari yang
dianggarkan tapi kenaikan sebesar ini hampir seluruhnya dari
sektor non-minyak. Hampir semua pos penerimaan dalam negeri
melampaui anggaran kecuali pajak penjualan impor dan bea masuk.
Pajak langsung melampaui anggaran terutama karena pemungutan
pajak perseroan lebih diintensifkan lewat peningkatan MPS
(Menghitung Pajak Sendiri). Kantor Pajak telah lama mengadakan
kontak dengan banyak perusahaan besar dalam usahanya membujuk
mereka supaya meningkatkan pembayaran MPS bulanan dengan alasan
"supaya pembayaran final nantinya ringan": Alasan yang cukup
masuk di akal bagi perusahaan yang memegang kas kuat, sekalipun
ini berarti kerugian bunga. Tindakan inspeksi pajak ini juga
bisa dimengerti mengingat mereka terikat oleh target penerimaan
yang ditetapkan atasannya masing-masing. Dan biasanya perusahaan
memang mengalah dengan jalan memenuhi permintaan inspeksi
pajak.
Ekspor Indonesia mencapai rekor, dan realisasi ekspor selama
masa anggaran 77/78 melebihi anggaran dengan US$ 200 juta, dan
berjumlah US$ 10,6 milyar. Ini yang menyebabkan pajak ekspor
mencapai Rp 81 milyar, atau Rp 14 juta melebihi sasaran.
Di lain pihak impor makin bergeser ke arah barang modal dan
bahan baku, yang bertarip bea masuk rendah, hingga penerimaan
dari pos pajak penjualan impor dan bea masuk berkurang dari
anggaran. Penerimaan dari sektor perdagangan luar negeri ini
makin tidak menentu nampaknya tahun ini, berhubung prospek
perdagangan luar negeri Indonesia tidak begitu cerah. Pasaran
ekspor Indonesia untuk minyak dan bukan minyak tidak seramai
tahun lalu, begitu pula impor barang konsumsi akan makin
berkurang dengan meningkatnya produksi sendiri di dalam negeri.
Apakah pemerintah akan meninjau lagi pajak ekspor seperti yang
dilakukannya pada 1 April 1976, masih harus ditunggu.
Penerimaan pembangunan yang seluruhnya berasal dari bantuan
luar negeri berjumlah Rp 774 milyar, Rp 10 milyar lebih tinggi
dari anggarannya. Ini berarti penerimaan US$ 1865 juta dari
bantuan luar negeri, yang ternyata masih lebih kecil dari
proyeksi pemasukan modal pemerintah dalam neraca pembayaran yang
berjumlah US$ 1913 juta.
Sekali lagi karena prospek minyak berkurang, zaman keemasan
penerimaan dalam negeri mulai pudar. Dengan penerimaan dalam
negeri sebesar Rp 3535 milyar pada 77/78 ini, maka dibanding
dengan jumlah penerimaan setahun sebelumnya, kenaikannya hanya
20%: satu tingkat kenaikan yang paling rendah sejak anggaran
tahunan Pelita dilembagakan pada 1969/1970. Dan sesudah
diperhitungkan inflasi, maka kenaikan riil tersebut ternyata
hanya 9%. Tahun depan, seperti ternyata dalam APBN '78/'79 yang
baru disahkan DPR, pemerintah sedikit pesimis, karena kenaikan
penerimaan dalam negeri diproyeksikan 14%, atau kenaikan riil
sebesar 3%. Lagi satu kenaikan riil yang terendah sejak 1969.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini