Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melawan Sapi Cina

Sejak penurunan tarif angkutan & penghapusan pajak ekspor sapi, pasaran harga ternak indonesia mampu bersaing di hong kong. sebelum itu ternak indonesia kalah bersaing dengan sapi cina dan australia. (eb)

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEDAGANG sapi hampir saja kehilangan pasarannya. Beberapa waktu lalu orang dari daratan RRT menggiring ribuan sapi mereka dan memenuhi pasaran di Hongkong. Kapal ternak Australia juga membongkar muatannya di sana:ribuan sapi yang ujudnya memang kegemukan oleh gajih. Semuanya bersaing harga dan memojokkan semangat pedagang dari Indonesia -- yang lumayan selama itu di sana. Malah pada bulan Pebruari lalu tak seekor sapi pun dikapalkan dari sini. Sebab dari Australia telah datang 1.202 ekor. Dari Thai hampir duakali lipat, 2.171 ekor. Dari RRT lebih hebat lagi, sampai 6.691 ekor. Kenihilan ekspor sapi memang sudah ditandai oleh penurunan angka pada bulan-bulan sebelumnya. Malah sudah mulai dirasakan pada beberapa tahun sebelumnya. Masa gemilang dagang ternak ke Hongkong itu sekitar tahun 1973 ketika PN Pelni sampai mengerahkan 17 buah kapal ternaknya. Dan pada tahun ini, kabarnya, armada ternak itu tinggal 4 kapal lagi yang masih kebagian operasi. "Sulit bagi kami untuk bersaing jika 5udah bicara soal harga", kata Irsan Sutandinata, eksportir dan pengurus organisasi eksportir sapi. "Paling sedikit harga kita per ekor Rp 8 ribu di atas harga pasaran di Hongkong", katanya pula. Tapi dua hadiah bulan April lalu betul-betul menambah nafas para pedagang ternak. Hadiah pertama datang dari Dirjen Pera, Haryono Nimpuno, berupa keputusan penurunan tarif angkutan laut. Lalu Menteri Perdagangan, malah, menghapuskan pajak ekspor sapi sama sekali. Hasilnya nyata. Bulan April itu juga kapal dari Indonesia sudah membogkar 2.550 ekor. Dan bulan berikutnya sudah diekspor 3.125 ekor. Lumayan. Harga ternak Indonesia sudah mulai mampu bersaing? "Sedikitnya menyamai harga pasar", kata Irsan. Tapi itu baik. Sebab "restoran-restoran di Hongkong lebih gemar daging sapi kita dari pada eks Australia, yang lebih murah, tetapi terlalu banyak lapisan gajihnya", lanjut Irsan meyakinkan. Malah "lebih mahal $ 100 per pikulnya pun, orang masih memilih sapi dari Indonesia". Kontes Ingin memanfaatkan paket April lebih banyak, pedagang ternak mulai memandang jauh. Bagaimana kalau ekspor ke Jepang? "Kalau itu dapat terlaksana, wah hebat!" kata eksportir dari PT Nusa Indah ini. Di Jepang nanti ternak dari Australia sudah bukan merupakan saingan lagi. Negara penghasil ternak boleh membanting harga sapinya itu sendiri, "tapi tak akan mampu menutup ongkos kapalnya". Dan untung bagi pedagang Indonesia yang dapat mencapai pasar di Jepang dengan ongkos tambang lebih murah. Tapi jalan untuk mengkapalkan ternak ke sana tidak selicin itu. Sebab ternak dari Indonesia belum mendapat kejernihan dari organisasi yang mengurusi pangan sedunia (FAO). Jelasnya, "sapi kita masih dianggap berpenyakit mulut dan kuku", tutur Irsan. Dan faktor ini yang menghambat pengembangan ekspor ke negara lain, selain pasar konvensionil di Hongkong. Dan juga promosi dagang ternak ke sana perlu juga. Namanya juga pedagang. Di samping angin segar bulan April lalu, masih ada juga keluhan dan gerutu di sana-sini. "Itu pungutan di daerah masih membebani biaya ekspor", begitulah. Pungutan resmi berupa restribusi daerah sampai yang berupa tak resmi. Belum apa yang disebut 'sumbangan biaya kontes sapi'. "Tiap-tiap daerah seperti Kupang, Bali dan lain daerah, lain pula bentuk dan besarnya pungutan", keluh Irsan. Penertiban pungutan, begitulah maunya. Tentu bukan cuma Irsan yang merasa kesal akan pungutan-pungutan tak resmi yang dilakukan oleh pintu-pintu resmi itu. Baik di laut, darat maupun udara pungutan liar begitu tampaknya makin menjadi-jadi. Tak salah jika Menteri Perhubungan Emil Salim di penghujung bulan lalu mengedarkan surat teguran yang dialamatkan kepada segenap direktur jenderalnya dan beberapa instansi di bawahnya agar menindak tegas kaum pemungut itu. Teguran yang juga dialamatkan kepada para Inspektur Jenderal dan Sekretaris Jenderal di segenap lingkungan Departemen Perhubungan itu juga mengharuskan agar semua rencana keputusan tentang kewajiban membayar tarif itu sebelum diputuskan harus diajukan lebih dulu kepada Menteri Perhubungan. Adakah instruksi Menteri Emil Salim bakal disambut cepat sampai ke bawah, itulah yang ditunggu banyak orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus