DI tahun-tahun terakhir Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan penjualan BUMN untuk menutup cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah. Walaupun alasan ini sangat masuk akal, karena masyarakat tidak tahu persis utang dolar itu dipakai untuk apa saja, gagasan Soeharto disambut dingin. Bahkan, sampai detik ini pun, rencana privatisasi aset negara yang bernama BUMN tidak pernah disosialisasi dengan baik.
Sekarang, di bawah pemerintahan Megawati Sukarnoputri, penjualan badan usaha milik negara dilakukan untuk keperluan anggaran dan belanja negara. Alasan yang remeh-temeh ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah mirip seorang bapak yang terpaksa menjual perabotan rumah agar anak-anaknya bisa makan. Bagi masyarakat di daerah, alasan menjual harta agar bisa bertahan hidup bukan hanya sulit diterima, tapi juga memancing kemarahan mereka. Reaksi keras terhadap penjualan Semen Padang dan Semen Tonasa menunjukkan bahwa mereka tidak rela. Penyebabnya macam-macam: mungkin karena tidak cocok dengan cara privatisasinya, tapi bisa juga lantaran "demi anggaran negara (baca: pemerintah pusat)" yang dianggap tak bersinggungan dengan kepentingan daerah.
Kegagalan penjualan Semen Padang dan Semen Tonasa seharusnya dijadikan pelajaran untuk tidak sembarang melepas aset yang oleh masyarakat juga diklaim sebagai harta mereka. Dalam kedua kasus itu, bukan cuma orang daerah, tapi juga karyawan BUMN, dan lembaga legislatif, meneriakkan protes. Karena itu, rencana privatisasi perlu disosialisasi?agar tidak timbul kesalahpahaman?dan juga landasan hukumnya harus disiapkan dulu. Jadi, aturan mainnya diprioritaskan, baru dijual.
Nah, akibat gagal melego dua pabrik semen, pemerintahan Megawati tak mampu menyetor Rp 6,5 triliun ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2001. Jauh beda dibandingkan dengan privatisasi melalui pasar modal, seperti yang dilakukan terhadap saham PT Telkom, Indosat, ataupun Tambang Timah. Go public dan go international berhasil mungkin karena lebih transparan. Rizal Jalil, anggota Komisi IX DPR RI, mengakui bahwa sering terjadi tarik-menarik antarkomisi dalam hal penjualan BUMN. Penyebabnya adalah ketidakjelasan posisi BUMN di parlemen. Di satu pihak, mitra Menteri Negara BUMN di DPR adalah komisi V. Tapi, di sisi lain, penjualan BUMN ditangani komisi IX.
Selain itu, masih ada urusan teknis yang melibatkan komisi lain seperti komisi IV, yang berkaitan erat dengan BUMN di bawah Departemen Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi, atau komisi III, dengan BUMN yang terkait dengan Departemen Pertanian. Jangan kaget jika tiba-tiba komisi IV meminta pemerintah tidak menjual dulu Angkasa Pura II, seperti yang terjadi tahun lalu. Padahal Angkasa Pura sudah disiapkan sejak tiga tahun silam. Menurut ketua komisi IV, Soemaryoto, keberatan DPR ketika itu adalah karena Angkasa Pura II dinilai sangat menguntungkan. Penghasilannya tiap tahun di atas Rp 1 triliun sehingga tak perlu dijual. Selain itu, manajemen Angkasa Pura belum dibenahi. "La, ada beberapa posisi direksi dan komisaris yang kosong, kok, mau dijual," kata Soemaryoto.
Karena itu, banyak pihak mengusulkan agar pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Privatisasi atau RUU BUMN sebagai payung bagi penjualan BUMN. Ekonom Faisal Basri dan analis Lin Che Wei mengatakan bahwa dengan adanya UU Privatisasi ataupun RUU BUMN, pemerintah punya landasan hukum yang kuat, yang bisa menjamin terlaksananya rencana penjualan saham perusahaan negara.
Direktur Privatisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiikro, mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengajukan rancangan amandemen terhadap UU No. 9/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara sejak September tahun lalu. Beberapa yang akan ditambahkan antara lain menyangkut kebijakan pemerintah seputar BUMN, efisiensi BUMN, dan konsep pembinaan BUMN. Ini jalan pintas karena jika harus mengajukan RUU BUMN, prosesnya jauh lebih lama. Tapi, sampai kini, DPR belum menjamah naskah itu. "Kita ikuti saran Mensesneg Bambang Kesowo untuk mengikuti prosesnya dengan tenang," kata Aloysius.
Menurut Rizal, DPR kini sibuk membahas sejumlah undang-undang lain, sehingga belum sempat membahas UU Privatisasi. Salah satu proyek besar yang tengah digarap DPR adalah paket RUU Keuangan Negara. Sebetulnya, kata Rizal, UU APBN sudah bisa menjadi payung bagi pelaksanaan privatisasi BUMN. Tapi UU APBN dianggap tidak kuat karena tidak secara detail menyebut BUMN mana saja yang bakal dijual. Di situ hanya disebutkan berapa target pemerintah. "Inilah yang harus segera kita bereskan," ujarnya menekankan.
Apa boleh buat, tanpa aturan main, pemerintah akan tetap sulit menjual BUMN. Terlebih sulit menjual perusahaan negara yang berlokasi di daerah, seperti BUMN pengelola pelabuhan (Pelindo I-IV), perkebunan (PT Perkebunan Nusantara I-XIV), kehutanan (Inhutani I-V), pupuk (Pusri dengan anak perusahaan Pupuk Kaltim), dan semen (Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa). Tanpa perangkat hukum, masalah yang sama akan terus mengganjal usaha pemerintah, mungkin sampai dasawarsa berikutnya.
MT, Rommy S. Fibri, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini