Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memacu Ambisi Bebas Hambatan

Pemerintah akan membangun 1.600 kilometer jalan tol dalam lima tahun. Mengincar dana Jamsostek.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan legenda Bandung Bondowoso, yang berusaha membangun seribu candi dalam semalam. Ini kisah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yang berencana membangun 1.600 kilometer jalan tol yang terbagi dalam 49 ruas di Pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera dan Sulawesi, dalam waktu lima tahun.

Rencana besar itu diungkapkan Presiden Yudhoyono jauh di Santiago, Cile, sewaktu mengikuti pertemuan kepala negara anggota APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik). Pembangunan jalan tol baru dipandang akan membuka transportasi lebih efisien dan memacu investasi. Ujung-ujungnya, roda perekonomian akan tumbuh lebih cepat, dan kesejahteraan rakyat bakal meningkat. Amin.

Proyek raksasa itu diperkirakan akan menyedot dana hingga Rp 90 triliun, dan jelas bukan pekerjaan ringan. Di masa Orde Baru saja, sejak 1978, pemerintah hanya berhasil membangun 600 kilometer jalan bebas hambatan. Artinya, rata-rata cuma 24 kilometer per tahun. Sejak krisis ekonomi 1998, pembangunan puluhan proyek jalan tol betul-betul mandek abis.

Dibandingkan dengan Malaysia saja, kita jauh tertinggal. Padahal, negeri penghalau TKI ilegal itu baru mulai membangun jalan bebas hambatan pada 1989, dan sebetulnya belajar dari pembangunan jalan tol Jagorawi di Indonesia. Namun, saat ini Malaysia telah membangun 3.000 kilometer jalan tol.

Cina? Jangan tanya! Baru membangun jalan tol pada 1991, sampai saat ini Negeri Panda itu telah merampungkan jalan bebas hambatan 19 ribu kilometer. Artinya, setiap tahun mereka membangun 1.500 kilo-meter jalan tol baru.

Lambannya pembangunan jalan bebas hambatan di Tanah Air tentu layak membuat heran. Soalnya, lalu lintas kendaraan di Pulau Jawa lima kali lebih padat ketimbang di Malaysia. Bila di negeri jiran itu saja jalan bebas hambatan bisa menjadi bisnis menguntungkan yang mengundang banyak investor, di Indonesia keuntungan mestinya lebih berlipat ganda.

Secara resmi Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie menyatakan tingkat pengembalian, alias interest rate of return (IRR), proyek jalan tol rata-rata 18 persen. Bila dibandingkan dengan bunga kredit perbankan yang 12 persen, kata Bakrie, "Investor masih bisa memperoleh keuntungan 6 persen."

Dokumen rencana pembangunan jalan tol yang diperoleh Tempo bahkan memperlihatkan, ada beberapa ruas yang memiliki IRR lebih tinggi. Contohnya ruas Gempol-Pandaan dan Waru-Wonokromo-Tanjung Perak di Jawa Timur, yang IRR-nya 21 persen. Jembatan tol Sura-baya-Madura bahkan diperkirakan bakal menghasilkan keuntungan 24 persen bagi investornya.

Hitungan keuntungan bisnis jalan tol yang kelewat hati-hati bukan cerita baru. Di masa lalu, perkiraan pengembalian modal, alias payback periode, proyek jalan tol dibuat sangat konservatif. Biasanya hingga 12-15 tahun. Kenyataannya, setelah jalan tol beroperasi, investor sudah kembali modal dalam waktu 7-8 tahun.

Ini bisa terjadi karena pesatnya pertambahan kendaraan pengguna jalan tol. Lihatlah jalan tol dalam kota Jakarta, yang kini sering macet. Ketika dibangun, pemakai jalan itu diperkirakan hanya 30 ribu-40 ribu kendaraan per hari. Nyatanya, jumlah pengguna jalan itu sekarang ditaksir 350 ribu kendaraan per hari.

Pengamat infrastruktur Reviansyah menyamakan gurihnya bisnis jalan tol seperti bisnis telekomunikasi. "Setiap kali ada orang menelepon atau melewati jalan tol, uang masuk kendati kita sedang tidur," katanya. Namun, seperti kata peribahasa: di mana ada gula, di situ ada semut.

Lezatnya bisnis jalan tol di masa lalu telah mengundang datangnya para pemburu rente. Berbekal koneksi dengan penguasa, mereka "memenangkan" tender, tapi izin itu mereka jual kembali pada investor sesungguhnya dengan komisi besar. Akibatnya terjadilah praktek penggelembungan nilai proyek.

Maraknya praktek mark-up proyek itulah yang membuat pembangunan jalan tol di Indonesia tersaruk-saruk. Belum lagi hambatan lain seperti keterbatasan dana, sulitnya pembebasan tanah, tak pastinya mekanisme penentuan tarif, dan krisis ekonomi.

Untuk memacu kembali pembangunan jalan tol, pemerintah telah berusaha memperbaiki iklim investasi. Contohnya dengan merevisi UU No. 13/1980 menjadi UU No. 38/2004 tentang Jalan. Dengan peraturan baru, pemerintah memberikan kepastian kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali. Kenaikan tarif itu ditentukan berdasarkan selisih nilai tarif sebelumnya dikaitkan dengan angka inflasi.

Penetapan tarif juga tak lagi dilakukan presiden, melainkan cukup oleh menteri. "Birokrasinya menjadi lebih sederhana," kata Direktur Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Pekerjaan Umum, Hendrianto Noto Soegondo. Untuk merayu investor, tarif tol kini juga bisa diketahui sejak rencana bisnis diajukan, berbeda dengan di masa lalu, ketika tarif baru diketahui setelah proyek selesai dibangun.

Menyangkut pembebasan tanah, pemerintah memberikan kesempatan investor melakukan perundingan langsung dengan rakyat. Nilai tanah yang disepakati kemudian akan diperhitungkan untuk menentukan masa konsesi. "Saya kira kepastian ini cukup menarik investor," ujar Hendrianto.

Alternatif lain berupa dukungan pemerintah dengan menyediakan dana awal untuk pengadaan lahan. Dana itu kelak akan diganti investor dan digunakan kembali untuk pengadaan lahan di ruas lain secara bergulir (revolving fund). Batasan harga tanah ditetapkan sesuai dengan nilai jual obyek pajak (NJOP). Bila harga tanah melebihi NJOP, pemerintah akan membayar kelebihannya dengan dana dari APBN. Usul lain berupa pembekuan jual-beli tanah di sepanjang koridor jalan tol (land freezing) berdasarkan peraturan daerah. Cara ini dipandang efektif mencegah praktek spekulasi tanah.

Bila masih ada pemilik lahan membandel, ada senjata pamungkas yang disiapkan, yakni penerapan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kalaupun kemudian muncul sengketa, penyelesaiannya akan diurus tanpa harus menunda pelaksanaan konstruksi.

Pemerintah juga sudah memisahkan peran regulator dan operator yang dulu disandang di satu tangan oleh PT Jasa Marga. Kini pemerintah telah membentuk Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang berfungsi sebagai regulator. Jasa Marga tinggal menjadi operator belaka—sama seperti investor lainnya.

Satu-satunya masalah yang masih mengganjal adalah pembiayaan. Beberapa alternatif akan dicoba, mulai dari investasi swasta, penggunaan kredit lunak dari luar negeri, hingga penggalangan dana berupa dana investasi infrastruktur jalan tol (DIIJT). Dana ini merupakan dana kelola kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) untuk menjaring investor di pasar modal sesuai dengan UU Pasar Modal dan peraturan Bapepam.

Namun, menurut Bakrie, dalam jangka pendek pemerintah akan lebih mendorong perbankan dan lembaga dana pensiun dalam negeri ikut membiayai pembangunan jalan tol. "Dana pensiun itu kan bersifat jangka panjang, jadi cocok membiayai pembangunan jalan tol," katanya.

Secara terus terang Bakrie mengaku mengincar dana yang dikelola Jamsostek, sejumlah Rp 40 triliun. "Menurut Pak Sugiharto (Menteri BUMN—Red.), Rp 28 triliun—Rp 30 triliun dari dana itu bisa digunakan membiayai proyek jangka panjang," katanya.

Untuk lebih menciptakan rasa aman bagi para investor, menurut Bakrie, pemerintah juga bersedia menerbitkan comfort letter (baca wawancara dengan Aburizal Bakrie: "Pemerintah Akan Memberikan Comfort Letter"). Ini merupakan surat sakti yang menjamin pemerintah tak akan menghentikan proyek. Ia berkilah, comfort letter merupakan prasyarat yang diminta oleh banyak lembaga pembiayaan.

Bakrie optimistis, pembangunan jalan tol sepanjang 1.600 kilometer akan bisa diselesaikan sesuai dengan target. Namun tak demikian halnya dengan Reviansyah. Mengingat banyaknya persoalan dan belum adanya uji coba yang mulus, ahli jalan tol lulusan Bradford University, Inggris, ini menilai proyek itu sangat ambisius.

Reviansyah mengingatkan, untuk membangun satu ruas jalan tol diperkirakan perlu waktu dua tahun. Mengingat ada 49 ruas tol dalam bentangan jarak 1.600 kilometer, tiap dua tahun minimal harus dikerjakan 24 ruas tol secara serempak. "Mungkinkah biaya dan tenaga ahlinya tersedia?" katanya.

Ia memperkirakan jumlah jalan tol yang masuk akal untuk dibangun dalam waktu lima tahun hanya 700 kilometer. "Itu sudah bertambah dua kali lipat dibanding jumlah yang ada sekarang," katanya.

Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus