Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah membangun jalan tol sepanjang 1.593 kilometer memang sudah ditunggu banyak kalangan?rakyat jelata hingga pengusaha. Namun kegagalan pemerintahan yang lalu menyelesaikan berbagai proyek serupa patut menjadi pelajaran berharga.
Pemerintah Soeharto pernah mencanangkan pembangunan 54 ruas jalan tol sepanjang 1.682 kilometer. Alasannya biasa: memperlancar arus barang dan manusia. Tapi krisis finansial pada pertengahan 1997 membuyarkan rencana besar itu. Perbankan, yang menjadi sumber utama pendanaan proyek tersebut, tak mampu mengucurkan pinjaman.
Mereka bahkan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Para investor pun tersandera kredit macet dalam jumlah luar biasa. Sebagian besar utang ini diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden No. 39/1997, yang menangguhkan dan mengkaji kembali pembangunan proyek-proyek itu hingga keadaan ekonomi pulih.
Barulah pada 2000, ketika perekonomian dianggap pulih, pemerintah Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 64/2000, yang memberikan lampu hijau bagi proyek-proyek itu. Tapi kebijakan tersebut hanya berlaku untuk sekitar 10 proyek. Sebab, setelah dikaji, pemerintah menilai tak semua proyek itu layak dilanjutkan.
Menurut Direktur Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Pekerjaan Umum, Hendrianto Noto Soegondo, proyek yang diteruskan antara lain ruas Cikampek-Padalarang, Surabaya-Gresik, Surabaya-Mojokerto, dan Ulujami-Pondok Aren?yang kini sedang dikerjakan PT Jasa Marga. Adapun ruas Cikampek-Padalarang baru selesai tahap I (Cikampek-Purwakarta) pada April lalu, dan kini tahap kedua (Purwakarta-Padalarang) sudah dimulai.
Sayangnya, banyak proyek yang lain macet kendati sudah mendapat lampu hijau. Para investor ternyata tak sanggup meneruskan proyeknya. "Proyek yang belum dilanjutkan ini tersendat karena investor masih kesulitan dana dan adanya penyesuaian nilai proyek akibat kenaikan harga material," ujar Hendrianto. Selain itu, mereka juga gagal menyelesaikan pembebasan tanah.
Di antara proyek yang macet itu adalah jalan tol lingkar luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W1 (Kebon Jeruk-Penjaringan). Investor proyek ini PT Jakarta Lingkar Barat Satu, anak kelompok usaha Bangun Tjipta Sarana milik Siswono Yudohusodo. Pembangunan konstruksinya baru mencapai sekitar 10 persen.
Proyek jalan tol Ciawi-Sukabumi (54 kilometer) juga macet. Semula, pemegang hak pengelolaan jalan tol ini adalah PT Bukaka Marga Utama, perusahaan patungan Bukaka Teknik Utama (80 persen) dan Jasa Marga (20 persen). Namun perusahaan milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla ini tak mampu menyelesaikannya dan kini sudah dioper PT Ceria Jasa. Di luar itu masih banyak proyek yang mangkrak, sebut saja tol Sadang-Subang dan Gempol-Pandaan.
Untuk proyek yang pembangunannya belum dilanjutkan ini, kata Hendrianto, pemerintah memberikan kesempatan untuk diteruskan. Pada tahap pertama, pemerintah akan memanggil para investor lama. Tahap berikutnya, mereka diminta mengajukan proposal baru karena nilai proyek itu saat ini sudah berubah.
"Kami menunggu pengajuan proposal baru itu hingga Desember 2004?Februari 2005," kata Hendrianto. Namun, tak berarti proyek itu bisa jatuh kembali ke tangan mereka, karena pemerintah akan meninjau ulang kemampuan finansial investor. Bila dinilai layak, barulah investor bisa mengajukan rencana bisnis baru.
Bila investor lama tidak mengajukan proposal baru, kata Hendrianto, pemerintah menganggap mereka tidak layak meneruskan proyek. Karena itu pemerintah akan mencabut perjanjian kuasa penyelenggara (PKP) jalan tol yang diberikan kepada investor lama, kemudian melaksanakan tender ulang.
Menurut staf manajemen utama PT Jasa Marga, Okke Merlina, satu-satunya investor yang saat ini masih aktif membangun kembali jalan tol yang ditangguhkan itu hanya Jasa Marga. Selain sedang menyelesaikan Ulujami-Pondok Aren, Jasa Marga juga tengah membereskan pembangunan sejumlah ruas proyek JORR yang diambil alih dari perusahaan milik anak bekas presiden Soeharto, Sri Hardijanti Rukmana.
Perusahaan Tutut yang mengelola JORR itu adalah PT Citra Mataram Satriamarga Persada, yang membangun ruas W2 (Kebon Jeruk-Pondok Pinang), PT Marga Nurindo Bhakti ruas S-E1 (Pondok Pinang-Jagorawi-Cikunir), dan PT Citra Bhakti Margatama Persada di ruas E2-E3-N (Cikunir-Cakung-Cilincing). Jasa Marga juga mengambil alih proyek Cikampek-Padalarang, yang juga dikerjakan perusahaan kelompok usaha milik Tutut, PT Citra Ganesha Marga Nusantara. "Perjanjian kuasa penyelenggaraan (PKP) jalan tol proyek-proyek itu sudah dicabut karena investor lama tidak sanggup lagi melanjutkan pembangunan," ujar Okke.
Jasa Marga juga akan mengambil alih PT Jakarta Lingkar Baratsatu. Begitu pula proyek Surabaya-Mojokerto, yang ditangani PT Marga Nujyasumo Agung. Kini PKP jalan tol di Jawa Timur ini juga sudah dicabut karena mereka tidak bisa melanjutkan pembangunan. Jasa Marga bersama pemerintah Jawa Timur telah membentuk perusahaan baru, PT Jatim Marga Utama, untuk meneruskan proyek ini.
Namun, dari sejumlah proyek yang dikerjakan Jasa Marga itu, kata Okke, ada dua proyek yang masih terhambat masalah pembebasan tanah, yaitu Ulujami-Pondok Aren dan JORR di ruas Hankam Raya-Cikunir. Luas lahan yang belum dibebaskan di kedua proyek ini masing-masing 9 hektare.
Pembebasan terhambat karena pemilik tanah meminta ganti rugi terlalu tinggi. Seperti di Ulujami-Pondok Aren. Meski surat keputusan wali kota setempat telah menetapkan harga Rp 2,2 juta per meter, ada pemilik tanah yang meminta harga Rp 3,5 juta per meter.
Lalu bagaimana dengan proyek-proyek lain yang tidak diteruskan? Okke menjelaskan, proyek-proyek yang ditangguhkan lewat Keppres 39/1997 itu memang tidak semuanya diteruskan. Sebab, ketika itu, tidak semua proyek jalan tol sudah ditender pemerintah sehingga memang belum ada investornya, seperti proyek Antasari-Depok, Serpong-Parung, Bojonegara-Cilegon-Labuan, dan Medan-Binjai.
Tak hanya itu, proyek yang ketika itu sudah ada investornya pun, tapi tidak melalui proses tender, juga dibatalkan karena proyeknya belum dikerjakan investor, seperti Cileunyi-Nagrek, Bogor Ring Road, dan Bandung lingkar dalam. "Proyek yang sebenarnya baru mendapat izin prinsip itu akhirnya dicabut pemerintah pada 1998," tutur Okke.
Tak bisa dimungkiri, proyek-proyek itu memang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian dan menarik investasi asing. Namun, jika mekanisme pemilihan investornya sama dengan di masa dulu, sudah bisa dibayangkan hasilnya bakal sama. Karena itu pemerintah sebaiknya langsung melaksanakan tender untuk proyek-proyek itu, dan mengabaikan para investor lama. Mereka sudah mendapat kesempatan, sebagian bahkan mendapatkannya dua kali, tapi proyek yang ditunggu banyak kalangan ini masih juga terbengkalai.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo