Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama-nama mereka terdengar aneh, mungkin tak pernah mampir di telinga Anda. Ada After Close, 4 Peniti, Seventeen, Omojinic, Panas Dalam Brengsek, Tcukimay, atau Reregean. Semua itu adalah nama kelompok-kelompok musik lokal Bandung yang masih belum seterkenal Peterpan atau Mocca. Walau begitu, peluang mereka untuk jadi tersohor kini terpentang lebar setelah IMTV atau Indonesia Musik Televisi hadir di ibu kota Jawa Barat itu.
Lihat saja gaya Seventeen, sebuah band independen yang menampilkan klip lagu ”Jika Kau Percaya”. Ceritanya tentang perempuan yang ditinggal pergi pacarnya, seorang pilot, yang kemudian mati. Semua dalam bentuk komik. Ada juga klip yang menggambarkan banyak gelembung, banyak warna, seperti karya Omojinic dalam lagu Taste of Harmony. Klip-klip lagu ”eksperimen” lain karya band-band lokal Bandung seperti itu dapat dinikmati dalam acara Asli Bandung di IMTV.
Stasiun televisi lokal di Bandung itu memang punya jargon ”The 1st Local Music Channel”. ”Cita-citanya, Bandung bisa kembali menjadi barometer musik Indonesia,” kata Direktur Utama IMTV, Eris Munandar. Dia bercerita, Bandung dari dulu sangat terkenal dengan kelompok musik, terutama band independen alias indie, yakni band-band yang tidak merekam dan memasarkan produk mereka dengan major label atau perusahaan rekaman besar.
Karena ”ada band di setiap gang di Bandung”—demikian istilah anak band di Bandung—maka Eris mengaku berniat membantu para musisi lokal gonational. ”Atau, setidaknya, agar bisa dikenal lebih luas,” kata laki-laki 31 tahun itu. Ini, paling tidak, untuk memperluas cakupan ketenaran mereka dari ”sekadar” ngetop di kafe-kafe yang bertebaran di Parijs van Java.Ide mendirikan IMTV, menurut Eris, bermula dari obrolan dia dengan temannya, Abdul Aziz, di sebuah kafe di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Februa-ri 2005. Salah satu topik hangatnya adalah soal stasiun TV lokal yang marak bermunculan belakangan ini. ”Tapi kami harus beda,” ujar Eris yang tidak ingin disebut menyontek MTV.
Dengan modal Rp 300 juta, semua ikhtiar itu dimulai. Mereka mengawalinya dengan menyewa rumah berlantai tiga di kompleks perumahan mewah Setra Sari Indah, Bandung, dan membeli kamera, beberapa perangkat komputer, serta peralatan pertelevisian lain. Mereka juga telah memiliki 100-150 klip musik.
IMTV baru memproklamasikan keberadaannya pada 18 November 2006. Sebuah acara besar digelar di Lapangan Gasibu, Bandung. ”Lebih dari 10 kelompok band lokal terlibat dan lapangan Gasibu penuh penonton,” kata Eris. Sejak itu, IMTV menempatkan diri dalam kancah persaingan stasiun televisi lokal Bandung. Di kota itu kini ada delapan stasiun.
Hanya dalam bilangan bulan, sumber daya manusia IMTV berkembang dari hanya lima orang menjadi 25 orang. IMTV hadir dengan formula sekitar 80 persen musik, 30 persen di antaranya menampilkan band-band lokal, terutama band indie. Klip asing hanya mendapat porsi 5-10 persen dan sekitar 40 persen merupakan musik Indonesia yang bertaraf nasional. Sedangkan 20 persen sisanya diisi program lain, tetapi masih berkaitan dengan musik, seperti Musik dan Saya, Profile, Discography, atau Band Story.
Selain itu, masih ada program nonmusik seperti Slow Down yang berisi berbagai informasi, misalnya tentang AIDS dan narkoba. Lalu ada Just a Second tentang gaya hidup, fesyen, dan makanan. IMTV kini mengudara mulai pukul 13.00 hingga 23.00. ”Pasar kami anak-anak muda, mahasiswa, dan anak-anak SMA,” kata Eris.
Ternyata, yang tidak terlalu muda juga menggandrungi IMTV. Deny Rahmat, misalnya, yang semula iseng pencet-pencet tombol kendali TV suatu hari, September silam, secara tidak sengaja menemukan siaran percobaan IMTV. ”Saya langsung suka,” ujar pria 36 tahun yang mengaku pernah menjadi anak band itu, Selasa pekan lalu. Deny pun mengaku tak pernah absen memelototi siaran IMTV hingga kini.
Anak-anak band di Bandung pun menyambut gembira. ”Bagus banget, karena band indie bisa nongol di televisi,” kata Indra Firzy Suwandi, pembetot gitar After Close. ”Sangat bermanfaat—orang jadi tahu lagu kami,” ujar Zaky, vokalis sekaligus gitaris 4 Peniti.
Namun, popularitas IMTV di kalangan anak band tidak menjamin ketenaran stasiun lokal ini di seantero Bandung. Nyatanya, sebagian besar penduduk Bandung masih lebih suka menonton stasiun televisi nasional. Sedangkan saluran lokal yang paling banyak ditonton adalah Bandung TV—ini televisi lokal pertama—dan STV yang banyak menayangkan berita. ”Apa tuh IMTV? Saya tidak tahu,” ujar Mellyza Novisari, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Sedangkan mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad, Dicky Septriadi, mengaku tahu ada IMTV. ”Tapi saya belum pernah menonton.”
Manajer Produksi IMTV, Billy Ardiansyah, mengakui bahwa promosi masih sangat kurang. ”Program kami masih terbatas, jadi agak susah untuk promosi,” ujar Billy. Karena itu, pengelola IMTV berusaha mengumpulkan stok program yang ”menggigit”, seperti memperbanyak siaran langsung musik dari berbagai aliran.
Masalah yang dihadapi bukan hanya soal masih belum ngetop-nya IMTV. ”Kualitas suara dan gambar juga kurang bagus,” kata Deny. Tidak jarang, dalam acara bincang-bincang, suara sumber yang diwawancarai tak terdengar, sedangkan suara si pewawancara malah terlalu keras.
Eris maupun Billy membenarkan kritik tersebut. Menurut Billy, sekarang ini yang menjadi prioritas adalah pembenahan internal, baik peralatanmaupun kemampuan sumber daya manusia. ”Setelah itu baru menggeber promosi,” kata Billy.
Kantong tipis juga menjadi kendala perbaikan semuanya sekaligus. Karena stasiun ini masih baru, iklan belum masuk. ”Kita juga kena aturan tidak boleh ada iklan komersial selama setahun,” ujar Eris. Menurut Undang-Undang Penyiaran, televisi baru boleh mencari iklan setelah masa percobaan siaran selama setahun dan memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
Untuk sementara, pemasukan diperoleh dari duit band-band lokal yang ingin klip mereka ditayangkan atau yang justru minta dibuatkan klip. Eris menyebut angka Rp 200-500 ribu yang harus dibayar sebuah band jika klipnya ingin ditayangkan. ”Tergantung kontraknya,” ujar Eris. Menurut Billy, IMTV hanya mendapat sekitar Rp 2-3 juta per klip per bulan. Strategi lain untuk bertahan adalah dengan memperbanyak siaran off air.
Kendati pemasukan masih seret, Eris dan kawan-kawan tetap optimistis. Dia menyatakan sudah menyiapkan dana untuk beroperasi selama empat tahun. Pada pertengahan tahun ini, dia menjanjikan kualitas suara, klip-klip, dan program sudah bagus. Bahkan IMTV akan segera membuka stasiun serupa di Bali yang akan mengudara dua-tiga bulan mendatang. Menurut Eris, kalau Bandung menjadi jembatan musisi Bandung untuk go national, di Bali untuk menjembatani musisi nasional untuk go international.
Purwani Diyah Prabandari (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo