Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fifty Seven Seconds Kurator/Editor Foto: Oscar Motuloh Penerbit: R&W 2007 Tebal: 170 halaman
Dua bencana besar di Indonesia dalam tiga tahun terakhir terwakili dalam dua buah buku foto. Tsunami 2004 yang dapat kita jejaki dalam buku foto Samudera Air Mata (GFJA, 2005), dan tentang gempa di Yogya tahun lalu yang diluncurkan dengan judul mengacu pada kekuatan guncangan dalam skala Richter: Fifty Seven Seconds (R&W, 2007).
Sebanyak 147 foto yang diseleksi dari ratusan karya puluhan fotografer itu memaparkan berbagai kemungkinan produksi visual seraya menimbang dampak distribusinya. Sebagai representasi visual dari bencana dan penderitaan orang lain, yang secara etis mengandung banyak masalah, seleksi foto dalam Fifty Seven Seconds ini tampak berusaha tidak menjadikan korban sebagai obyek tontonan. Kurator dan editor foto Fifty Seven Seconds, Oscar Motuloh, cukup berhasil menghentikan agresivitas mata dan kamera yang sering kali banal.
Realitas yang dipotret tentu saja sama, tapi sebuah keluarga yang harus tidur beratap langit di puing rumahnya (Jetis, Bantul/Kemal Jufri) bisa tampak sebagai sebuah kebersamaan menghadapi bencana, di samping sebagai sesuatu yang menjeritkan lara. Perkaranya ada di sudut pandang.
Sebuah foto tidak pernah menjadi rekaman pasif realitas. Bukan pula potongan dari realitas apa adanya, apalagi realitas itu sendiri. Setiap kali kita melihat foto, kita selalu membayangkan bahwa representasi visual ini adalah satu dari sekian banyak kemungkinan dari realitas yang sama, yang dipilih oleh fotografer. Dan pilihan itu ditentukan oleh latar sosial kultural dan ideologis yang berpadu dengan kemampuan teknis dan selera estetis sang fotografer. Dengan demikian, realitas yang kita lihat pada sebuah foto adalah realitas baru hasil dari suatu proses amatan dan dialog yang difasilitasi kamera.
Dari proses cukup rumit yang diputuskan dalam sepersekian detik inilah kita akan melihat apakah realitas (bencana dan penderitaan orang lain itu) direpresentasikan secara eksploitatif untuk sensasi ataukah disusun dalam sebuah bangunan visual yang menghitung aspek etis, estetis, dan kadang mengimbuhkan jenaka. Keterkaitan langsung fotografi dengan realitas membuat dia langsung dituntut pertanggungjawabannya terhadap realitas yang direpresentasikannya itu.
Seorang nenek yang terbujur tidur di halaman beralas tikar plastik dengan kaki kanan, mungkin luka atau malah patah, dibebat pelepah pisang (Tirto Nirmolo, Bantul/Richard Sampessy) adalah obyek yang sudah pasti menarik. Dia dapat menjadi sekadar obyek kegemparan visual bila dihadirkan sendiri dengan dramatisasi sudut pengambilan gambar. Namun, dia menjadi tuturan pertolongan pertama dalam situasi genting ketika hadir bersama korban lain yang bergeletakan di halaman itu, disertai usaha beberapa orang yang sedang menolong.
Foto ini tetap menjadikan nenek berpelepah pisang itu sebagai kekuatan visual utamanya, namun foto ini bertanggung jawab secara etis dengan tidak menjadikannya sebagai satu-satunya obyek, tapi meletakkannya dalam konteks yang lebih dinamis. Dinamika yang mengedepankan semangat hidup dan solidaritas.
Sebagian besar fotografer di sini adalah jurnalis foto. Peristiwa besar, termasuk bencana, selalu mengundang kedatangan mereka. Dengan bantuan kamera, mereka menjadi perpanjangan mata kita untuk melihat apa yang terjadi. Artinya, mereka datang dengan tujuan mencari informasi visual. Di tengah suasana dan atmosfer kerja itu, Fifty Seven Seconds, dan ini adalah pencapaian terbaiknya, juga menunjukkan pada kita saat-saat jeda dari pencarian itu. Ketika berita sudah habis diburu, ketika tuntutan dan tanggung jawab kerja telah terlunasi, apa yang dipotret oleh para fotografer itu ketika masih berada di lokasi?
Setiap kali seorang fotografer melakukan reportase dia selalu berusaha mendapatkan sesuatu yang dia cari. Istilah “berburu foto” (hunting) yang populer dipakai di kalangan mereka dengan tepat menggambarkan atmosfer aktivitas ini. Intensi agresif bernuansa macho dan militeristis ini dengan cepat disadari dan sekian banyak strategi visual diterapkan untuk menghindari obyektivikasi. Menggunakan istilah subyek pemotret dan subyek terpotret daripada obyek terpotret adalah salah satu usaha membangun keseteraan itu. Walau demikian, intensi itu tetap ada. Bagaimana kalau intensi itu hilang dan mereka berhenti mencari untuk sesaat? Inilah yang saya maksud dengan saat-saat jeda di atas.
Saat menjadi para pejalan yang melewati peristiwa, para fotografer itu tidak mencari, tetapi menunggu tanpa pretensi apa pun yang melintas di depan mata, lalu menjadikannya pengalaman yang kemudian dibagi kepada kita. Foto-foto yang dihasilkan dalam suasana ini adalah kejutan tanpa sensasi dan kedalaman tanpa eksploitasi.
Seperti lima perempuan yang berjajar di pinggir jalan itu (Sewon, Bantul/Tony Hartawan). Mereka berdiri telanjang kaki; yang tertua jongkok di batas tepian aspal berlatar tenda darurat plastik, seng, dan terpal. Bata bertali plastik dijadikan pemberat dari atap yang akan melindungi mereka dan barang-barang yang tersisa dari malam dan hujan. Mereka berdiri di depan “rumah” menjelang senja, tidak tampak sedang melakukan atau menunggu sesuatu, seolah meneruskan tradisi cengkerama dengan tetangga dan keluarga setelah seharian kerja. Ekspresi dan bahasa tubuh mereka tidak tampak seperti korban gempa yang menghiba. Mereka berusaha meneruskan keseharian. Dengan berdiri berjajar di pinggir menghadap jalan, mereka seolah berujar bahwa sebagai korban, mereka juga bisa menjadi penonton di pinggir jalan.
Seorang fotografer, dengan mata fotografisnya, memang sudah seharusnya menangkap apa yang orang kebanyakan tidak lihat. Memandang kehancuran dari cermin retak sebuah lemari baju yang rebah (Imogiri, Bantul/Maha Eka Swasta) tidak hanya memberi kita warta, tapi juga cara lain menatap derita. Kalau tatapan langsung berpotensi mengobyekkan, inilah solusi jitu yang cerdas memanfaatkan prinsip dasar kerja kamera.
Hampir separuh dari foto dalam Fifty Seven Seconds ini telah terbit di media massa cetak. Dalam satu dan lain kesempatan, mungkin kita sudah pernah melihatnya. Namun, ketika foto-foto ini dikumpulkan dalam kesatuan publikasi, selain menjadi kenangan yang layak, dia juga dapat membantu melawan kebebalan visual kita yang sangat konsumtif pada sensasi dan air mata, dan haus darah.
Alex Supartono, Pengajar Jurusan Fotografi FFTV IKJ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo