Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN raut muka kecut, sepasang suami-istri meninggalkan kantor PT Wahana Bersama Globalindo di lantai 18 Wisma BRI II, Jakarta, Kamis siang pekan lalu. Mereka agaknya syok mendapati kantor agen penjualan produk investasi asing itu telah tutup. Ruangan gelap. Pintu masuk digembok. Nasib duit US$ 20 ribu alias Rp 180 juta yang mereka tanam di Wahana Globalindo itu tak jelas. Wahana merupakan ”perpanjangan tangan” Dressel Investment Limited-perusahaan investasi yang bermarkas di British Virgin Islands.
Tak ada satu pun karyawan Wahana tersisa. Petugas keamanan Gedung BRI hanya menyebut bahwa perusahaan itu sudah pindah kantor ke lantai 10 Plaza Bapindo di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Di kantor baru, Wahana berganti baju menjadi Mega Rise Investment Ltd. Tanpa buang waktu, mereka pun langsung meluncur ke Plaza Bapindo. Sampai di sana, lagi-lagi hanya ruangan kosong melompong menyambut mereka.
Di sana ada sepuluh orang yang bernasib serupa. Mereka ingin tahu nasib uang mereka di Dressel. Nilainya berbeda-beda, mulai Rp 45 juta hingga miliaran rupiah. Ketika tak ada apa pun yang bisa ditemukan, kegaduhan mulai merebak. Ponsel berkali-kali mereka angkat. Rasa bingung, cemas, sedih, dan marah campur baur. ”Kita ditipu, kita ditipu.”
Seorang ibu dari Bandung bingung dan takut dimarahi keluarga karena ikut main di Dressel. Itu sebabnya ia berusaha mencari keterangan ke mana saja. Kantor Wahana di Bandung ia datangi. Kantor Dressel di Seattle (AS), Hong Kong, dan Singapura ia kontak juga. Tak ada jawaban jelas. Bahkan seorang nasabah asal Malang, Jawa Timur, sudah minta saudaranya di Singapura mengecek alamat Dressel di sana. ”Namun yang dijumpai hanya ruko tanpa nama,” ujarnya jengkel.
Kegaduhan pun pecah, mengundang pengelola gedung dan petugas keamanan datang. Agus Hartono, sang pengelola gedung dari PT Pengelola Investama Mandiri, mengaku Mega Rise memang telah mengajukan surat untuk menyewa ruangan ini. Namun manajemen belum menyetujui. ”Kami kecolongan. Orang-orang luar tak bisa masuk sini,” kata Agus.
Rupanya, bukan kali itu saja kantor Mega Rise disatroni orang. Pada Jumat dua pekan lalu sekitar 100 nasabah Dressel datang dan bertahan sampai sore. Melihat gelagat nasabah akan terus berdatangan, Agus kemudian memasang pengumuman besar-besar. ”Di sini tidak ada kantor Mega Rise Investment”. Namun nasabah yang belum tahu tetap saja datang, termasuk rombongan dua bus dari Surabaya.
Mereka yang mengalir datang hanya sebagian dari nasabah lembaga investasi itu. Total nasabah Dressel di Indonesia, menurut sumber Tempo, berkisar 10.000 orang. Sekitar 5.000 di antaranya di Jakarta. Sisanya tersebar di Medan, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, hingga Manado. Kabarnya, ribuan nasabah tadi sudah menyetor US$ 385 juta atau Rp 3,5 triliun.
Tentu mereka ini termasuk kalangan berduit. Ada ibu rumah tangga, karyawan, dosen, pengusaha, pejabat, artis, politisi, hingga yayasan tentara. Plaza Bapindo pun penuh dengan pria berpakaian rapi dengan rambut kelimis, juga para ibu dengan perhiasan penuh di leher dan tangan. Mereka adalah golongan yang sedikitnya mempunyai US$ 5.000, nilai investasi terkecil di Dressel.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono dan artis Sandy Harun adalah dua dari ribuan nasabah korban Dressel. Menurut Agung, investasi itu bermula dari kedatangan pegawai bank ke rumahnya yang menawarkan produk Dressel. ”Kebetulan keluarga kami ingin investasi. Apalagi banyak teman pengusaha juga berinvestasi di situ,” ujar Wakil Ketua Partai Golkar tersebut. Namun dia enggan menyebut sejak kapan dan berapa nilai investasinya.
Sandy Harun juga tertarik setelah mendapat informasi dari seorang teman. Menurut mantan istri pengusaha Setiawan Djody ini, investasi di Dressel pada mulanya berjalan baik-baik saja selama 10 tahun. ”Setiap bulan saya mendapat bunga 2 persen, lumayan tinggi,” ujar Sandi. ”Kalau sekarang bermasalah, ya saya hanya bisa berdoa.”
Sesungguhnya, sejak awal banyak nasabah yang ragu. Bayangkan. Untuk produk Sportsman, dengan nilai investasi US$ 5.000, nasabah dipikat dengan bunga 24 persen setahun. Untuk produk GMP, dua kali lipat nilai investasi produk pertama, bunganya 28 persen. Nasabah seharusnya juga curiga karena duit itu dikelola oleh Dressel dari kantor mereka yang katanya di British Virgin Islands, Laut Karibia, Amerika Selatan. Kantor itu, kalau benar ada, letaknya ribuan kilometer dari Indonesia.
Namun tenaga marketing Dressel memang jago meyakinkan nasabah. ”Mereka pandai bicara. Saya seperti dihipnotis,” ujar seorang pedagang di Jakarta. Brosur produk juga mewah, lengkap dengan profil lima direktur Dressel. Brosur itu menjelaskan penempatan dana di produk derivatif, properti, manufaktur, tambang emas, teknologi, kekayaan intelektual, hingga barang antik.
Ternyata pembayaran bunga mulai macet bulan lalu. Simpanan pokok juga tak bisa diambil. Bahkan di Surabaya sudah macet sejak November 2006, sehingga memicu rush atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, yang merembet ke kota-kota lain. Dalam pertemuan di Balai Sarbini, Jakarta, pertengahan Februari lalu, nasabah ditawari ”restrukturisasi investasi” mereka, sekaligus dialihkan ke Mega Rise. Sejak itu nasabah berbondong-bondong mengejar Mega Rise.
Wilita, yang disebut-sebut sebagai Kepala Perwakilan Mega Rise di Indonesia, sudah sulit dihubungi. Bahkan perkembangan pekan lalu semakin membingungkan nasabah karena peralihan dari Dressel atau Wahana ke Mega Rise menjadi tidak jelas. ”Mega Rise tidak ada hubungan dengan Wahana,” ujar Rusdi Musa, pejabat Mega Rise, pekan lalu.
Bagaikan anak itik kehilangan induk, nasabah semakin bingung. Pejabat dan staf marketing Wahana tak ada lagi yang bisa dihubungi. Semua seperti menghilang. Ketika Tempo menghubungi telepon Danny Wong, Direktur Dressel di Hong Kong, yang menjawab hanya petugas call center. Surat elektronik yang dikirim ke Wong juga tak berbalas. Juru bicara Wahana, Yolindo Sahelangi, hanya menjawab, ”Nanti saja, sekarang belum ada berita.” Sedangkan Imam Santoso, pengacara Wahana, cuma berkata, ”Saya pusing.”
Dari Markas Besar Polri pekan lalu terbetik kabar bahwa Presiden Direktur Wahana, Krisno Abiyanto, menyerahkan diri. Namun, saat dikonfirmasi, Kepala Humas Mabes Polri Irjen Sisno Adiwinoto tidak memastikan penyerahan diri itu. ”Saya harus mengeceknya dulu,” katanya.
Ketua DPR, yang ikut jadi korban, mendesak aparat kepolisian dan pemerintah segera bertindak. ”Pejabat Wahana harus dimintai tanggung jawab.”
Bukan hanya itu. Pemerintah harus segera mengajukan undang-undang yang mengatur soal investasi nonbank. Sebab, perusahaan investasi model Dressel sudah ratusan jumlahnya. Selama ini mereka bebas beroperasi dengan surat izin usaha perdagangan dari Departemen Perdagangan. Soal izin ini tidak diatur ketat. Padahal, kata Agung Laksono, setiap tahun ribuan korban berjatuhan.
Karena Ketua DPR kelihatannya ”ahli” dalam soal-soal begini, ada baiknya DPR yang mengambil inisiatif mengajukan rancangan undang-undang investasi nonbank itu….
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo