Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencari Pembeli Gas Arun

Gas alam cair dari kilang Arun sulit dipasarkan sehingga akan dijual di pasar bebas. Pembeli lama memang tertarik dengan pola penjualan seperti itu, tapi Pertamina tetap rugi.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib Pertamina akibat macetnya produksi kilang gas Exxon Mobile Indonesia di Lhokseumawe, Aceh Utara. Penghentian produksi LNG atau gas alam cair yang terjadi sejak 8 Maret hingga 18 Juli 2001 itu menyebabkan Pertamina merugi lebih dari Rp 3 triliun. Itu saja belum cukup. Kini, setelah bisa berproduksi lagi, Pertamina masih harus merelakan kepergian pembeli potensialnya, Tohuku Electric Power (Jepang) dan Korean Gas Corporation (Korea Selatan) ke pangkuan saingan Indonesia dalam bisnis gas alam cair dunia, Malaysia dan Brunei. Tohuku Electric Power, yang merupakan anggota konsorsium Japan Indonesia LNG Company (JILCO)—pemegang 15 persen saham kilang Arun—mengalihkan pembeliannya ke Petronas, Malaysia. Tohuku diketahui telah mengikat kontrak jangka panjang dengan perusahaan migas Malaysia itu. Setiap tahunnya Tohuku akan membeli 3,5 juta ton gas dari Petronas. Sementara itu, Korean Gas Corporation (Kogas), sejak April 2001, sudah menerima pasokan gas dari Brunei. Berpalingnya Kogas ke Brunei jelas membuat Pertamina gundah, meskipun pembelian ke Brunei itu atas restu Pertamina (karena tidak bisa memasok, Pertamina membebaskan Kogas mencari pembeli lain). Jika keterusan, hal tersebut menyebabkan Pertamina kehilangan pendapatan US$ 40 juta per bulan. Yang lebih membuat Pertamina deg-deg plas, Kogas juga tengah melakukan pembicaraan intensif dengan produsen gas lainnya, Oman, Qatar, dan Malaysia. Jika ketiga negara itu, atau salah satunya saja, berhasil merayu pemerintah Korea Selatan, bisa dipastikan Pertamina akan gigit jari. Harap maklum, pasar Korea Selatan terbilang penyedot gas alam cair Indonesia yang besar, selain Jepang dan Taiwan. Dari total 16,5 juta ton gas alam yang diimpor Korea Selatan, sepertiganya dipasok oleh Pertamina. Itu sebabnya, Pertamina terus melakukan pendekatan ke Kogas, agar mereka mau membeli kembali gas alam dari Indonesia. Tapi Kogas konon sudah emoh dengan gas alam dari Arun. Alasannya, mereka mengkhawatirkan pasokannya akan kembali tersendat, mengingat kondisi keamanan di Aceh yang masih bergolak. Tersendatnya pasokan sangat berpengaruh terhadap lajunya roda industri Korea Selatan. Belum lagi mereka harus repot mencari pemasok baru, seperti yang selama ini mereka alami. Selain itu, sampai Oktober 2001 stok gas alam yang dimiliki Kogas masih cukup untuk konsumsi dalam negeri. Nah, menunggu sampai November 2001—itu pun kalau Kogas bersedia membeli lagi—Pertamina harus mencari akal untuk memasarkan gas alam dari kilang Arun, yang sejak 19 Juli lalu mulai berproduksi lagi. Jalan alternatif yang bisa ditempuh, seperti dikemukakan Dirjen Minyak dan Gas, Rachmat Sudibyo, adalah menjual di pasar spot atau pasar bebas. Tetapi, itu pun bukan pekerjaan mudah. Sebab, jual-beli gas alam cair umumnya memakai pola kontrak jangka panjang. Juga, tidak ada negara yang mau membeli gas alam cair jika tidak memiliki terminal penerima atau stasiun regasifikasi, yang mengolah LNG sebelum digunakan. Dengan kondisi itu, sebenarnya praktis tidak ada pasar bebas untuk LNG. Kemungkinan, pasar spot yang dimaksud adalah menjual di pasar tradisional Indonesia— Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang—tetapi kontraknya berjangka sangat pendek (umumnya kontrak pembelian LNG 20 tahun). Direktur Hulu Pertamina, Muchsin Bahar, membenarkan kemungkinan itu. Menurut dia, mengingat kondisi keamanan yang masih belum stabil di Aceh, pihak Pertamina belum dapat memberikan jaminan keajekan pasokan dari ladang Arun kepada pembeli. Sementara itu, sanksi yang harus ditanggung Pertamina luar biasa besar jika gagal memenuhi pasokan. "Pertamina harus menanggung semua kerugian yang disebabkan oleh tersendatnya pasokan itu. Itu besarnya luar biasa," kata Muchsin. Karena itu, meskipun kini tengah intensif melakukan pendekatan dengan Kogas dan pelanggan lainnya agar membeli lagi gas alam dari Arun, Pertamina juga menawarkan pola pembelian spot. Pihak Kogas tampaknya tertarik dengan pola ini. Kata Muchsin, Rabu pekan lalu mereka mengirim utusannya untuk berunding dengan pihak Pertamina. Dan Senin pekan ini utusan itu meninjau langsung ke ladang gas Exxon Mobil di Arun. "Kita harapkan setelah melihat secara langsung mereka mau membeli," harap Muchsin. Kondisi seperti itu, menurut pengamat migas Kurtubi, tidak bisa terus dibiarkan. Akumulasi kerugian pemerintah akan semakin besar jika hal ini dibiarkan berlanjut. Maka, tidak bisa tidak, pemerintah harus menjamin keamanan produksi di ladang minyak Arun. Pemerintah juga harus lebih giat mendekati negara-negara yang selama ini menjadi pelanggan gas alam Indonesia, agar mereka mau berpaling lagi ke Indonesia. Negara-negara tetangga yang selama ini menerima bola muntah akibat macetnya produksi ladang gas Arun juga perlu didekati. "Minta mereka merelakan dua pelanggan besar itu kembali lagi ke Indonesia," kata Kurtubi. Hartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus