ENTAH badai macam apa yang kini mengancam pelayaran samudra. Ongkos tambang, padahal, sudah dikorting habis-habisan. Tapi, menurut Boedihardjo Sastrohadiwirjo, Ketua Indonesia-Japan Freight Conference (Indojapcon), masih saja banyak kapal hanya mengangkut angin. Memang, hampir bisa dipastikan, setiap hari ada saja kapal yang bertolak ke Jepang. Namun, ya muatannya itu, paling banter hanya 5% sampai 10% dari kapasitas. Jadi, jangan kaget kalau 30 kapal, yang terikat dalam Indojapcon itu, tiap bulannya kini hanya membawa muatan 19 ribu ton dari sini. Atau tiap kapal setiap bulan hanya mengangkut muatan kurang dari 700 ton. Ongkos tambang (freight) untuk muatan umum, seperti mebel, yang semula US$ 89 sudah dibanting jadi sekitar US$ 45 per m3, tetap saja membuat 15 kapal nasional di trayek itu kosong melompong. "Jadi, kapal Indonesia itu sebenarnya cuma mubazir saja berlayar ke Jepang," kata Boedihardjo, yang juga Presiden Direktur Trikora Lloyd. Tekanan serupa juga dirasakan Soedarpo Sastrosatomo, Presiden Direktur Samudera Indonesia, yan dua kapalnya melayari jalur itu. Ia terpaksa berani membawa muatan curah yang dimasukkan ke peti kemas 20 kaki dengan ongkos cuma US$ 700. Padahal, awal tahun lalu, ia masih bisa menarik ongkos US$ 1.100 sampai US$ 1.300 untuk jumlah barang yang sama. "Daripada mengangkut peti kemas kosong dan dikenai tarif US$ 300," katanya, "Lumayan yang US$ 400 bisa kami manfaatkan untuk menutup biaya operasi." Yang bisa menunggang badai itu, siapa lagi, kalau bukan para pengusaha kayu lapis. PT Sumatera Sinar Plywood Industri di Medan, misalnya, hanya perlu membayar ongkos tambang US$ 30 per ton untuk ekspor sekitar 1.000 m3 kayu lapisnya ke Jepang. Setahun lalu perusahaan ini masih membayar US$ 36 kepada Karana Lines. Cukup murah memang dibandingkan Harapan Kita Utama yang harus membayar US$ 33 untuk membawa kayu lapisnya dari Pontianak ke Osaka kepada Fuji Shipping Jepang. Mungkin muatan kayu lapis itu akan makin membagus mengingat harganya di Jepang kini sudah membaik. Hanya, yang memprihatinkan, volume impor barang dari Jepang cenderung menciut tiga tahun terakhir ini. Enam bulan pertama tahun ini, jumlah muatan yang diangkut dari sana pukul rata tinggal 180 ribu ton sebulan -- padahal ketika masa boom minyak dan kayu gelondongan sebelum 1983 bisa mencapai 450 ribu ton. Menguatnya yen bisa juga disebut sebagai salah satu faktor yang menyebabkan para pengusaha dari sini enggan mengimpor barang dari Jepang -- semuanya terasa makin mahal dalam satuan dolar. Perubahan nilai tukar yen yang menguat lebih dari 33% terhadap dolar itu, memang, menyebabkan daya beli importir untuk membeli barang Jepang jadi menyusut. Bank Dunia memperkirakan, tahun ini, penguatan mata uang non-dolar (termasuk yen) itu mengakibatkan kapasitas pengusaha Indonesia dalam mengimpor barang berkurang dengan US$ 700 juta. Sementara itu, pemerintah, sebagai pembeli terbesar, tak lagi royal membelanjakan devisanya gara-gara pendapatan ekspor minyak dan LNG-nya terpukul. Wajar kalau perusahaan pelayaran Indonesia, Jepang, dan Denmark, yang masingmasing menempatkan 15, 11, dan 4 kapal di jalur Indonesia-Jepang itu, risau. Lebih-lebih jika diingat kapasitas angkut ke-30 kapal itu total mencapai 400 ribu ton sebulan -- tak seimbang dengan volume barang yang bisa mereka angkut dari kedua negara. Pembagian muatan kapal di antara ketiga anggota Indo-Japcon itu memang sudah diatur. Tapi, apa boleh buat, akibat persaingan ketat di antara mereka, ongkos tambang dari Jepang yang tahun lalu setiap ton masih US$ 60 kini tinggal US$ 45 saja. Bagi perusahaan pelayaran nasional situasi itu memang membuat mereka oleng. Ribuan karyawan Samudera Indonesia dan Trikora terpaksa kena PHK. Armada Samudera sudah disusutkan dari 11 jadi tinggal tiga kapal saja. Juga Trikora, dari 15 dipotong jadi tinggal lima kapal saja. Toh, mereka masih dikejar-kejar kerugian. Perusahaan pelayaran Jepang tidak terkecuali. Menurut laporan Departemen Perhubungan Jepang, pekan lalu, pendapatan sebelum pajak 40 perusahaan pelayaran samudra negeri itu telah menurun 24% untuk tahun buku 1985 yang berakhir Maret lalu. Bahkan ada yang berani memperkirakan, tahun itu mereka akan memikul kerugian akumulatif lebih dari US$ 111 juta (17,7 milyar yen). Hanya enam di antara 40 perusahaan itu yang tahun lalu berani membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Departemen Perhubungan, sebenarnya, jauh-jauh sudah menganjurkan agar mereka mau mengurangi atau membesituakan sebagian armada, guna menangkal menciutnya perdagangan internasional dan mengatasi berlebihnya penawaran ruangan kapal. Alasannya cukup kuat. Lihat saja, tahun lalu, kapasitas ruangan untuk kapal tanker tercatat berlebih 100 juta ton, sedang untuk kapal curah berlebih 50 juta ton, dan untuk kapal dengan jalur tidak tetap (tramping) ditaksir sekitar 29%. Mereka juga dianjurkan agar mengganti kapal-kapal tua dengan yang hemat energi dan bisa diurus oleh kurang dari 18 anak buah kapal. Di Indonesia, tak semua perusahaan pelayaran bisa mengikuti langkah peremajaan seperti itu, kecuali yang para pemegang sahamnya juga punya usaha di sektor lain yang masih menguntungkan. Gesuri Lloyd, misalnya, yang menempatkan empat kapal buatan tahun 1978 di trayek itu, kelihatan tidak tunggang-langgang. "Tapi, kalau sebelum Inpres No. 4 tahun 1985 kami bisa ongkang-ongkang, sekarang harus bersaing dengan kapal asing yang boleh mencari muatan sampai ke pelabuhan kecil," kata K. Maliangkay, Manajer Gesuri. Proteksi terhadap armada nasional otomatis memang ditiadakan dengan Inpres No. 4 itu -- demi memperlancar arus impor dan ekspor barang. Hanya, di saat perlindungan itu dicabut, volume perdagangan internasional cenderung menciut. Kalau para pemilik modal tidak ingin cepat menguap, langkah terbaik tentu menyelamatkan sisa modalnya masuk ke sektor lain. Membuat lapis legit, misalnya. Eddy Herwanto, Laporan Suhardjo Hs. & Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini