Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengangkat gengsi si hijau

Untuk mempertahankan harga tinggi, penghasil kayu menekan produksi. indonesia menurunkan produksi kayu bulatnya 20%. industri kayu lapis indonesia masih ketinggalan dari filipina.(eb)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPIL dengan stelan safari berwarna coklat, di hadapan sekitar 10pengusaha dari berbagai negara, Mohamad Hasan, 48 tahun, lancar juga bicara Inggerisnya. Beberapa peserta pertemuan Asosiasi Produsen Kayu se-Asi Tenggara (Sealpa) di Hotel Mandarin, Jakarta, tampak termangu-mangu ketika dia melancarkan serangannya ke pihak konsumen kayu bulat. Menurut Bob Hasan, begitu Ketua Sealpa itu biasa dipanggil, negara-negara pembeli itu mulai menuding kelompok produsen kayu bulat--seperti Malaysia, Filipina, Papua Nugini dan Indonesia-sebagai "OPEC hijau". Rupanya bukan cuma para produsen minyak yang di zaman inflasi dollar sekarang ini saling menekan produksinya guna mempertahankan harga tinggi, tapi juga para produsen kayu. Pembabatan hutan seperti dulu tak lagi mau mereka lakukan. Firmansyah, Ketua Pemasaran Sealpa memperkirakan harga yang wajar sekarang adalah US$ 180 per m3. Banyak alasan mengapa harga perlu disetel sampai setinggi itu. Dua tahun lalu, ketika harga traktor merek D-7 yang banyak dipakai itu $60.000, harga FOB kayu bulat masih $60 per m3. Kini traktor itu sudah $150.000 sebuahnya. Sedang harga patokan Deperdagkop $160 per m3. Tak heran kalau Chyan Shang Feng pimpinan produsen dan eksportir kayu lapis (plywood) dari Taiwan menjerit dibuatnya. "Tak masuk akal," katanya kepada TEMPO. "Dalam harga patokan itu belum lagi dimasukkan ongkos produksi dan transpor." Korea Selatan, dengan alasan ongkos angkut dan jarak yang jauh, beranggapan $115 sebagai harga yang wajar. Ini disambut S. Ohtsubo, utusan dari Jepang. Tapi menurut Firmansyah, hara rata-rata kayu bulat sekarang ini sudah $151 FOB Samarinda. Malah di akhir September lalu, untuk ke Jepang sudah mencapai $182,50 per m3. Kalaupun harga jatuh belakangan ini, menurut dia itu disebabkan stok kayu bulat Jepang sudah keliwat banyak. Maka dalam Semester II ini, produksi kayu bulat di Indonesia yang sedianya 32 juta m3, sudah diputuskan untuk dikurangi 20%. Dan Bob Hasan, Ketua Sealpa yang memiliki banyak perusahaan itu, tampak sibuk untuk meyakinkan para pembeli tadi. Bukan hanya dalam bidang konsultasi Sealpa (4 - 6 Oktober) yang juga dihadiri wakil dari Amerika. Tapi juga dalam konperensi ke VI para produsen kayu lapis Asia (AMPC) di Hotel Indonesia Sheraton masih pekan lalu. Tampil sebagai Ketua Komite Nasional sidang AMPC (9 - 11 Oktober), di depan 400 hadirin dari 11 negara, Bob mengakui ada dua masalah besar: suplai bahan baku yang teratur dan pemasaran produksi kayu olahan yang masih penuh hambatan. Saat ini terdapat sekitar 440 pabrik kayu lapis di Asia dengan kapasitas 22 juta m3 setahun. Di Indonesia yang kaya kayu, baru ada 18 pabrik dengan kapasitas 849 ribu m3 (3,8%) dan 11 dalam konstruksi pembangunan. Menurut Karsudjono, Direktur Eksekutip Asosiasi Produsen Kayu lapis Indonesia (Apkindo), "dengan Filipina saja kita ketinggalan 25 tahun." Biro Konsultan Kalau dilihat dari segi ekspor, andil Indonesia lebih kecil lagi. Menurut Karsudjono, selama tahun lalu baru 3 perusahaan yang ekspor. Tapi selama Semester I tahun ini sudah 7 eksportir. Antara April sampai September lalu sebanyak 80 ribu m3 kayu lapis sudah diekspor. Maka sasaran ekspor 200 ribu m3 sampai di akhir tahun anggaran 1979-1980 nanti dipandang akan bisa tercapai. Tapi adakah investor asing yang masih tertarik untuk menanam modal di sini? Sadikin Djajapertjunda, salah satu pimpinan sidang AMPC itu, menyatakan 4 PMA masuk lewat biro konsultasinya. "Dua Korea Selatan dan dua Taiwan," katanya. Menurut Sadikin, kalau ada yang bersedia menyediakan tanahnya dan jaminan bahan baku kayu bulat, ada yang berani menyisihkan saham sampai 30% buat partner Indonesia. Prospek industri kayu lapis memang cukup cerah, dengan harga $3 50 per m3. Tapi sayangnya, seperti kata Sadikin, pengusaha Indonesia belum mampu untuk menggantikan keunggulan pengusaha Taiwan atau Korea Selatan. Nah, rangkullah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus