TAMPIL dengan stelan safari berwarna coklat, di hadapan sekitar
10pengusaha dari berbagai negara, Mohamad Hasan, 48 tahun,
lancar juga bicara Inggerisnya. Beberapa peserta pertemuan
Asosiasi Produsen Kayu se-Asi Tenggara (Sealpa) di Hotel
Mandarin, Jakarta, tampak termangu-mangu ketika dia melancarkan
serangannya ke pihak konsumen kayu bulat.
Menurut Bob Hasan, begitu Ketua Sealpa itu biasa dipanggil,
negara-negara pembeli itu mulai menuding kelompok produsen kayu
bulat--seperti Malaysia, Filipina, Papua Nugini dan
Indonesia-sebagai "OPEC hijau". Rupanya bukan cuma para produsen
minyak yang di zaman inflasi dollar sekarang ini saling menekan
produksinya guna mempertahankan harga tinggi, tapi juga para
produsen kayu. Pembabatan hutan seperti dulu tak lagi mau mereka
lakukan.
Firmansyah, Ketua Pemasaran Sealpa memperkirakan harga yang
wajar sekarang adalah US$ 180 per m3. Banyak alasan mengapa
harga perlu disetel sampai setinggi itu. Dua tahun lalu, ketika
harga traktor merek D-7 yang banyak dipakai itu $60.000, harga
FOB kayu bulat masih $60 per m3. Kini traktor itu sudah $150.000
sebuahnya. Sedang harga patokan Deperdagkop $160 per m3.
Tak heran kalau Chyan Shang Feng pimpinan produsen dan eksportir
kayu lapis (plywood) dari Taiwan menjerit dibuatnya. "Tak masuk
akal," katanya kepada TEMPO. "Dalam harga patokan itu belum lagi
dimasukkan ongkos produksi dan transpor." Korea Selatan, dengan
alasan ongkos angkut dan jarak yang jauh, beranggapan $115
sebagai harga yang wajar. Ini disambut S. Ohtsubo, utusan dari
Jepang.
Tapi menurut Firmansyah, hara rata-rata kayu bulat sekarang ini
sudah $151 FOB Samarinda. Malah di akhir September lalu, untuk
ke Jepang sudah mencapai $182,50 per m3. Kalaupun harga jatuh
belakangan ini, menurut dia itu disebabkan stok kayu bulat
Jepang sudah keliwat banyak. Maka dalam Semester II ini,
produksi kayu bulat di Indonesia yang sedianya 32 juta m3, sudah
diputuskan untuk dikurangi 20%.
Dan Bob Hasan, Ketua Sealpa yang memiliki banyak perusahaan
itu, tampak sibuk untuk meyakinkan para pembeli tadi. Bukan
hanya dalam bidang konsultasi Sealpa (4 - 6 Oktober) yang juga
dihadiri wakil dari Amerika. Tapi juga dalam konperensi ke VI
para produsen kayu lapis Asia (AMPC) di Hotel Indonesia Sheraton
masih pekan lalu.
Tampil sebagai Ketua Komite Nasional sidang AMPC (9 - 11
Oktober), di depan 400 hadirin dari 11 negara, Bob mengakui ada
dua masalah besar: suplai bahan baku yang teratur dan pemasaran
produksi kayu olahan yang masih penuh hambatan.
Saat ini terdapat sekitar 440 pabrik kayu lapis di Asia dengan
kapasitas 22 juta m3 setahun. Di Indonesia yang kaya kayu, baru
ada 18 pabrik dengan kapasitas 849 ribu m3 (3,8%) dan 11 dalam
konstruksi pembangunan. Menurut Karsudjono, Direktur Eksekutip
Asosiasi Produsen Kayu lapis Indonesia (Apkindo), "dengan
Filipina saja kita ketinggalan 25 tahun."
Biro Konsultan
Kalau dilihat dari segi ekspor, andil Indonesia lebih kecil
lagi. Menurut Karsudjono, selama tahun lalu baru 3 perusahaan
yang ekspor. Tapi selama Semester I tahun ini sudah 7 eksportir.
Antara April sampai September lalu sebanyak 80 ribu m3 kayu
lapis sudah diekspor. Maka sasaran ekspor 200 ribu m3 sampai di
akhir tahun anggaran 1979-1980 nanti dipandang akan bisa
tercapai.
Tapi adakah investor asing yang masih tertarik untuk menanam
modal di sini? Sadikin Djajapertjunda, salah satu pimpinan
sidang AMPC itu, menyatakan 4 PMA masuk lewat biro
konsultasinya. "Dua Korea Selatan dan dua Taiwan," katanya.
Menurut Sadikin, kalau ada yang bersedia menyediakan tanahnya
dan jaminan bahan baku kayu bulat, ada yang berani menyisihkan
saham sampai 30% buat partner Indonesia.
Prospek industri kayu lapis memang cukup cerah, dengan harga $3
50 per m3. Tapi sayangnya, seperti kata Sadikin, pengusaha
Indonesia belum mampu untuk menggantikan keunggulan pengusaha
Taiwan atau Korea Selatan. Nah, rangkullah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini