Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Apa yang muncul dari lumpur

Pementasan sardono di tim, mengubah teater halaman menjadi sebuah sawah berlumpur. karya yang berjudul "meta ekologi" itu menurut sardono hanyalah sebuah upacara. (ter)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH ide yang unggul dari Sardono. Ia mendatangkan 16 buah truk berisi tanah ke dalam kompleks Taman Ismail Marzuki. Dengan itu diubahnya lapangan dalam, yang selama ini dikenal sebagai Teater Halaman, menjadi sawah berlumpur. Tiga minggu lamanya ia bersama grupnya berlatih di lumpur dan sekitarnya itu -- untuk kemudian mentas 12-15 Oktober. Pengunjung, baik duduk di panggung di lapangan itu maupun di sekeliling "sawah", cukup padat. Sardono berkisah. Selama tiga bulan, waktu pengambilan film November 1828 di dusun di Yogya, ia sebagai salah seorang pemain memilih tinggal di gubuk jauh memencil di tengah sawah. Ia mendapat kesadaran bahwa selama ini, tuturnya kepada TEMPO, sawah dan lumpur ternyata lewat begitu saja dari perhatiannya -- sebagai seorang anak desa. Padahal, "lihatlah: seorang yang sedang berjalan di lumpur sawah misalnya, baik sedang menabur atau menanam atau apa, ia menunjukkan gerak keseimbangan tubuh yang lain dari kalau ia berjalan misalnya di pematang." Sebuah Upacara Tertarik pada penemuan semacam itu, dan membaca berbagai berita tentang soal-soal sawah, pedesaan, kelestarian alam, ya, ekologi, ia dan kawan-kawan lantas menyewa sebidang sawah di Pondok Gede, Bekasi. Di situ mereka bermain dengan lumpur, menyelam-nyelam, merasakan kecintaan kepada tanah dusun sampai benar-benar ke tingkat fisik, dan bersiap untuk pementasan. Tampaknya sebuah potret tentang dusun di sekitar sawah. Di TIM itu, bidang berlumpur dibatasi pematang dari bidang bertanah lunak. Di luar, saluran air dari bambu melintang setinggi kepala dan menjatuhkan tetesan dan bunyi gemericik di ujungnya. Di sini pula dipasang "kincir" kecil yang selalu berbunyi "tik . . . tak . . . " akibat kucuran air. Pohon asam besar di sudut lapangan dibalut kain putih, dan dilatarbelakangi layar biru--agaknya sekedar membikin sosok pohon menonjol -- dan digantungi beberapa tali dari cabangnya buat dipakai bergelantungan satu-dua pemain (bagai kera, atau memang dimaksud begitu). Sebatang pohon nyiur gundul (seperti bekas disambar petir) ditegakkan pula di seberang sana. Sementara itu di bidang tanah lunak di luar daerah lumpur, orang menyalakan api dan membelah-belah kayu. Orang berjalan berkeliling di pematang, atau duduk-duduk di pinggir sawah, sementara di udara terdengar suara burung dan kadang kucing. Dan semuanya, bersama tembok belakang panggung TIM itu plus lampu-lampu listrik, anehnya menghadirkan sebuah sawah yang tidak lagi "asli", yang telah didesak oleh benda-benda asing "pembangunan". Hanya, barangkali saja, kesan itu tak disengaja. Tapi adakah latar belakang keprihatinan dari tindak berlumpur-lumpur ini? "Ya, ada juga," kata Sardono. Dalam selebaran 3 «2 kwarto yang ditulis Franki laden, anggota grup, didesakkan kesadaran pada sesuatu yang hilang. Dan judul 'meta-ekologi' memang datang dari lranki, kalau tidak Danarto. Meski tulisan Franki (dengan gaya gagah benar) tidak dimaksud sebagai juru bicara melainkan sebagai bagian dari kegiatan, tapi memang terasa satu sikap yang berbeda dalam pementasan--seperti dikatakan Franki: "manifestasi artistik sudah tidak menjadi obsesi" dalam kebutuhan ekspresi. Orang boleh diberi tahu dengan itu, bahwa apa yang mereka lakukan (menyurukkan kepala dalam lumpur, telentang di situ bermenit-menit), tak lain sebuah upacara. Sardono sendiri bilang: apa-apa yang dihargai sebagai pencapaian artistik, dari orang Bali, Nias, Kalimantan, misalnya, sebenarnya toh tidak dimaksud ber"seni". Itu sebuah upacara. Meskipun sudah tentu "enak dilihat". Dan kegiatan kawanan Sardono itu pun enak dilihat--untuk sebagiannya. Tubuh-tubuh yang bangkit utuh dari lumpur misalnya, menyentakkan kenyataan adanya potensi teater yang betapapun mencekam. Hanya potensi itu tak dikembangkan. Konsep untuk tidak (melulu) ber"seni", menyebabkan tak terasa ikatan apapun antara berbagai kegiatan di situ -- kecuali sawah itu sendiri. Padahal ketika seorang gadis menancapkan kembang kamboja pada bilah-bilah di sawah atau ketika Tetet menari di lumpur pada "upacara" sore hari, sedikit 'atraksi" memikat orang. Tapi jangan diharap tempo akan berjalan dengan pertimbangan ritme. Sedihnya, tujuan berupacara itu sendiri jarang bisa ditangkap. Atau, setelah orang diberi tahu, kesimpulan yang muncul paling-paling sebuah upacara ternyata sama sekali tidak penting bagi orang luar. Kalau saja orang tak diberi tahu apa yang ada di benak para seniman, orang paling hanya akan melihat sebuah kegiatan agak ganjil di lumpur dan sekitarnya. Di mana "meta-ekologi"? "Meta-estetik"? Tak ada strum. Barangkali saja, sekiranya Sardono (seniman teater yang berangkat dari tari) lebih siap dalam pengendapan subyeknya, dari lumpur akan muncul sebuah kesenian yang betul-betul menarik--yang toh sekaligus bisa menggaet kesadaran orang akan ekologi dan semisalnya kalau toh memang dimaksud. Sayang. Sebuah ide yang unggul sebetulnya. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus