Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seleksi Alam buat BPR

OJK bertekad membereskan BPR bermasalah pada tahun ini. Jumlah BPR akan berkurang akibat penutupan ataupun merger.

23 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Selama 2024, OJK sudah menutup lima BPR.

  • OJK memperkirakan hanya tersisa 400 BPR pada 2027.

  • Munculnya fintech dan bank digital ikut menggerus jumlah nasabah dan debitor BPR.

JAKARTA – Logo biru bertulisan "BPR UMKM" masih terpampang di depan gedung PT BPR Usaha Madani Karya Mulia di Surakarta, Jawa Tengah. Tapi di dalamnya tak lagi terlihat aktivitas layaknya sebuah bank. Saat Tempo berkunjung ke sana pada Kamis, 22 Februari 2024, hanya ada dua orang yang sedang berjaga. Salah satunya memberi tahu bahwa bank itu sudah berhenti beroperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPR Usaha Madani Karya Mulia tutup sejak 5 Februari 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izinnya setelah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan tidak bisa menyelamatkan perusahaan itu. Menurut Kepala OJK Kota Surakarta Eko Yunianto, bank tersebut masuk kategori tidak sehat sejak 4 April 2023. Hingga awal tahun ini, kondisi perusahaan tak kunjung membaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko menuturkan pencabutan izin usaha BPR Usaha Madani Karya Mulia merupakan bagian dari fungsi pengawasan OJK. "Tindakan tersebut dilakukan untuk menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen," ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Nasib serupa dialami empat bank perekonomian rakyat (BPR) lain. Sejak awal 2024, OJK sudah mencabut izin BPR Wijaya Kusuma Madiun, Jawa Timur; BPR Mojo Artho Kota Mojokerto, Jawa Timur; BPR Bank Pasar Bhakti, Sidoarjo, Jawa Timur; dan BPR Bank Purworejo, Jawa Tengah.

Jumlah BPR Terus Menyusut

Penutupan ini menambah panjang daftar BPR yang berhenti beroperasi. Pada akhir 2022, OJK mencatat jumlah BPR masih sebanyak 1.606 perusahaan. Sedangkan per Desember 2023, angkanya menyusut menjadi 1.402 BPR.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengakui ada rencana pengurangan jumlah BPR. Ia memperkirakan hanya tersisa 400 BPR pada 2027. "OJK berkomitmen membereskan BPR bermasalah pada tahun ini. Karena itu, jumlah BPR yang tutup bakal bertambah," ucapnya.

Namun, Dian menambahkan, penutupan BPR yang belakangan banyak dilakukan bukan semata-mata untuk mencapai target pengurangan jumlah BPR. Pemicu lainnya adalah penguasaan satu orang terhadap lebih dari satu BPR. OJK telah mengatur ketentuan single presence policy. Artinya, satu orang hanya bisa memiliki satu BPR.

"Kalau sekarang ada yang memiliki 10 BPR, itu harus digabung.  Sembilan BPR lain akan menjadi kantor cabang," ujarnya.

Persoalan berikutnya yang dihadapi BPR adalah ketentuan modal inti minimum. OJK mewajibkan pemegang saham menyetor modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar paling lambat pada akhir 2024. Jika tidak sanggup, perlu ada aksi korporasi, seperti akuisisi atau merger.

Petugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memasang segel penutupan salah satu Bank Perkreditan Rakyat di Kampung Baru Muara Paiti, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. ANTARA/Yudhi Mahatma

Adanya Indikasi Penipuan 

Alasan lain pencabutan izin usaha BPR adalah adanya indikasi penipuan. Hal ini sejalan dengan pandangan LPS. Kepada Tempo, Kepala Kantor Program Restrukturisasi Perbankan dan Hubungan Lembaga LPS Hermawan Setyo Wibowo menyatakan pencabutan usaha BPR dilakukan bukan karena kondisi ekonomi memburuk, melainkan lantaran adanya kejahatan yang dilakukan pengurus atau pemilik BPR.

Dian Ediana menyatakan pemerintah ingin segera menyelesaikan masalah tersebut untuk meningkatkan integritas BPR dan kepercayaan masyarakat. Pasalnya, selama ini BPR sudah memberikan banyak manfaat buat masyarakat di daerah. Pertumbuhan BPR pun positif. Berdasarkan data OJK per Desember 2023, total penyaluran kredit BPR mencapai Rp 140,79 triliun.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengaku prihatin atas penutupan BPR yang semakin masif. "Kebanyakan usaha ini ditutup karena mismanajemen dalam BPR tersebut," tuturnya. Perbarindo, kata dia, tak pernah mengharapkan penyusutan jumlah BPR karena mismanajemen.

Sebaliknya, Perbarindo mendukung jika penyusutan jumlah BPR terjadi lantaran aksi korporasi, seperti akuisisi atau merger. Saat ini Perbarindo terus mengedukasi pelaku industri untuk meningkatkan kapasitas, kemampuan, dan penguatan kelembagaan. Perbarindo juga menyambangi beberapa dewan pimpinan daerah untuk berdiskusi mengenai pemenuhan ketentuan modal inti minimum.

"Kita tidak bisa memungkiri bahwa industri ini telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayahnya," tutur Tedy. Dia berharap ada dukungan untuk BPR tumbuh dan berkembang lewat kebijakan pemerintah.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Moch Amin Nurdin, berpendapat sama. Perampingan BPR idealnya tidak terjadi karena masalah di perusahaan, melainkan lantaran aksi korporasi. Kondisi saat ini membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada BPR menurun. "Kalau kegiatan operasionalnya asal-asalan, produk asal-asalan, wajar BPR tidak dilirik dan akhirnya tutup."

Amin menilai perlu ada sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai BPR. Selain itu, pada saat yang sama, pengelola BPR harus berbenah, salah satunya dengan menambah variasi produk. "Karena tingkat suku bunga BPR jauh lebih bagus dibanding bank secara umum."

Pedagang berdiri di depan gerobak jualan bantuan dari Bank Perkreditan Rakyat di Banyuwangi, Jawa Timur, 30 Januari 2024. ANTARA/Budi Candra Setya

Berbagai Masalah BPR

Pengamat perbankan Arianto Muditomo mengatakan tantangan yang dihadapi BPR tidak sederhana. Pengelola BPR berhadapan dengan masalah permodalan, kualitas kredit, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten, hingga lemahnya tata kelola. "Di samping itu, munculnya fintech dan bank digital ikut menggerus jumlah nasabah dan debitor BPR yang melek digital," katanya.

Dia khawatir, ketika BPR terus tutup dan jumlahnya menyusut, akses keuangan masyarakat akan berkurang dan berdampak pada meningkatnya konsentrasi pasar BPR. Kondisi itu selanjutnya bakal berdampak menurunnya peran BPR dalam perekonomian rakyat serta usaha kecil dan menengah. 

Namun jumlah BPR yang berkurang juga punya dampak positif. Arianto berujar efisiensi industri BPR bisa meningkat sehingga manajemen bank dapat berfokus pada pengembangan usaha. "Skala ekonomi BPR juga menjadi lebih besar dan daya saingnya meningkat."

VINDRY FLORENTIN | SEPTHIA RYANTHIE (SURAKARTA)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus