PERDAGANGAN imbal beli alias counter purchase antara Indonesia dan Irak tampaknya mulai menggelinding. Indonesia membeli minyak Irak senilai US$ 150 juta, sedangkan Irak mesti membeli pelbagai komoditi Indonesia seperti tekstil, garmen, karet, besi beton, dan pelat timah. April silam Irak telah membeli besi beton dan tekstil senilai US$ 14,5 juta, sedangkan akhir pekan lalu PT Latinusa (Pelat Timah Nusantara) mulai mengekspor lembaran tipis pelat timah ke negeri Saddam Hussein itu. Pembeli Irak, perusahaan negara minyak nabati, membutuhkan 26 ribu ton pelat timah per tahun dari Indonesia. Bahan untuk membuat kemasan kaleng itu, untuk tahap pertama, bisa dipasok Indonesia 12 ribu ton senilai US$ 10,4 juta (c&f). Sedangkan 14 ribu ton lainnya sedang dalam negosiasi. "Irak kita harapkan bisa menjadi jembatan untuk memperluas pasar barang-barang Indonesia ke Timur Tengah dan Afrika yang masih terbuka lebar," ujar Dirjen Industri Mesin Logam Dasar dan Elektronika, Suparno Prawiroadiredjo, dalam upacara di halaman PT Latinusa, Cilegon, Jawa Barat. PT Latinusa sejak Desember tahun lalu sudah memacu mesin-mesinnya untuk berproduksi penuh (130 ribu ton). Tapi sayang prestasi jempolan itu tidak bisa diulang tahun ini. "Soalnya, jumlah pesanan dari dalam negeri menurun," kata Kasmir Batubara, Dirut Latinusa. Tapi ini bukan berarti pasar di dalam negeri sedang lembik. Diperkirakan permintaan pasar masih sama dengan tahun lalu. Pasar meminta pelat timah kualitas kedua. Sedangkan yang diproduksi Latinusa justru yang kelas satu. Apalagi para eksportir Indonesia boleh mengimpor pelat timah asal benar-benar dipakai untuk mengemas produk ekspor. Latinusa kini mengharap tetangganya, PT Cold Rolling Mills Indonesia (CRMI), untuk bisa memasok kebutuhan bahan baku pelat timah. Soalnya bahan baku impor dari Jepang dan Korea bisa melewati 80 struktur biaya produksi pelat timah. Apalagi Jepang pandai menggoyang harga. Di dalam negeri, Jepang menggenjot harga sampai US$ 1.400/ton, di pasar ekspor harga dihancurkan sampai US$ 737/ton. Padahal Indonesia sudah empot-empotan menjual US$ 927/ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini