Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resurrecting Empire: Western Footprints and America's Perilous Path in the Middle East Penulis: Rashid Khalidi Penerbit: Boston, Beacon Press, 2004 Tebal: xix + 223 halaman
Amerika Serikat ternyata sebuah imperium. Dalam Resurrecting Empire, Rashid Khalidi memperlihatkan Napoleon Bonaparte mengirim bala tentara ke Mesir dengan pesan khusus. Pesan buat rakyat Mesir berbunyi: "Saya datang untuk mengembalikan hak-hak kalian." Dua abad berselang, geopolitik dunia memang berubah. Tapi Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, menerjunkan pasukan ke Irak dengan pesan yang sama: membebaskan rakyat Irak dari kekejaman tiran Saddam Hussein.
AS bukan kekuatan imperial dalam bentuknya yang klasik. Tidak seperti negara-negara Eropa eks kolonialis, Amerika Serikat (AS) memang tidak memiliki tradisi mencaplok negara lain dengan kekuatan militer. Ya, AS sebuah kekuatan imperial yang telah dimodifikasi, lebih canggih, seraya meluncurkan kekuatan militernya untuk memperluas akses geopolitiknya. Dan Irak adalah pintu tersebut untuk wilayah Timur Tengah.
AS berbeda, tapi juga serupa dengan negara-negara kolonialis. Khalidi menilai proyek demokratisasi Irakdipercaya banyak warga ASitu retorika klasik, sebagaimana retorika negara-negara Eropa dulu yang mencoba mengaburkan motif-motif ekspansionistis dengan misi to civilize, membawa peradaban bagi masyarakat primitif. Dan kini, AS mau memperkenalkan ide demokrasi bagi masyarakat Irak. Padahal, menurut Khalidi, Timur Tengah bukan wilayah yang sama sekali asing terhadap ide-ide konstitusionalisme atau demokrasi.
Konstitusionalisme pernah eksis di Timur Tengah. Di Turki pada 1876 dan Iran pada 1905. Namun, Prancis dan Inggris mendukung rezim-rezim antidemokrasi. AS juga melakukan hal sama dengan mencampakkan pemerintah Mossadegh, pemerintah kaum sosialis yang menang pemilu demokratis di Iran pada 1953.
Resurrecting Empire, karya Khalidi, mantan Direktur International Studies, Universitas Chicago, menolak segenap argumen yang melegitimasi serangan AS. Irak, katanya, bukan ancaman bagi AS. Awal 2003, ketika AS mengumumkan perang, Irak adalah seekor "macan ompong". Akibat kebijakan "gila" Saddam menginvasi Kuwait, Irak betul-betul tak berdaya. Bukan hanya secara militer, tapi juga secara ekonomi dan politik. Jangankan AS, negara-negara tetangganya pun tak ada yang gentar menghadapi Irak yang sudah lumpuh itu. Maka, tak mengherankan jika AS tak berhasil menemukan senjata pemusnah massal yang dituduhkan.
Bagdad ditaklukkan, Saddam ditangkap, pemerintahan sementara (baca: pemerintahan boneka) dibentuk, tapi AS menghadapi negeri yang kompleks, anarkis. Lebih dari 1.000 personel tentara AS mati, penculikan dan pembunuhan warga asing semakin tragis, ledakan terjadi di mana-mana. Pesannya jelas: AS tidak menguasai Irak sepenuhnya.
Banyak kalangan pesimistis. Bukan saja mereka yang dulu menolak perang, tapi juga dari dalam lingkaran pemerintahan George W. Bush. Baru-baru ini badan intelijen AS mengeluarkan analisis tentang masa depan Irak. Intinya suram: Irak sudah mengarah ke perang saudara. Khalidi menyebut, AS tak punya banyak pilihan kecuali menganulir kebijakannya.
Apakah Presiden Bush tidak mengkalkulasi semua itu? Belum lama ini Bush mengakui "miskalkulasi". Jauh sebelum perang, banyak ahli menyerukan agar pemerintah Bush menghitung ulang keputusannya menginvasi Irak. Tapi suara-suara kaum neokonservatif cepat menenggelamkan suara-suara kritis itu. Khalidi menyebut mereka "skandal intelektual". Tapi AS semakin mendekati "karma" perbuatannya selama ini: kegagalan. Direktur Middle East Institute, Universitas Columbia, itu menilai kebijakan Bush di Irak tidak berkaca pada sejarah.
Ibrahim Ali-Fauzi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo