BANYAK anggota DPR masih merasa "tak puas" dengan jawaban
pemerintah tentang Pertamina. Setidaknya dari F-PP dan F-PDI
ingin mempergunakan hak angket (lihat Nasional). Mungkin
beberapa di antara mereka sudah mengetahui, setidaknya
mendengar, Pertamina mengajukan gugatan (statement of claim) ke
Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dalam perkara almarhum
H. Thahir pada 12 Mei 1980. Hanya sepekan sebelum pemerintah
menyampaikan jawaban ataspertanyaan 7 anggota DPR dari F-KP itu.
Pertamina, yang oleh Pengadilan Tinggi Singapura sudah
diputuskan sebagai penggugat, mengatakan ada dua kontraktor
dalam PT Krakatau Steel: perusahaan Siemens AG dan Klockner
Industri-Anlagen GmbH, telah memberikan "komisi" kepada almarhum
H. Thahir. "Komisi" itu antara lain disimpan sebagai rekening
bersama berupa deposito berjangka di cabang bank Sumitomo di
Singapura.
Rekening bersama atas nama almarhum H. Thahir dan Ny. Kartika
Ratna Thahir, istri kedua almarhum, berjumlah DM 54 juta dan US$
1,2 juta, yang dalam kurs rupiah sekarang hampir mencapai Rp 20
milyar. Menurut gugatan itu, uang tersebut berasal dari "hasil
uang sogokan, imbalan atau komisi para kontraktor asing kepada
H. Thahir," selama 1973-1974.
Adalah almarhum H. Thahir yang waktu itu merupakan orang paling
penting setelah Ibnu Sutowo di Pertamina. Menurut gugatan itu,
paling tidak sejak 1967 sampai meninggal pada 23 Juli 1976, Haji
Achmad Thahir memegang 4 jabatan penting di Pertamina: asisten
umum Dir-Ut Ibnu Sutowo, pj. direktur keuangan, pj. bendahara
(acting treasurer) dan sebagai dir-ut Patra Jasa, menggantikan
Mayjen Hamzah yang meninggal pada 1975. Lewat sepucuk SK Dir-Ut
Pertamina, maka Patra Jasa telah dilimpahi untuk mengurus
seluruh proyek bangunan Pertamina yang terhenti pembanunannya.
Hubungan bekas dir-ut Pertamina dengan almarhum sungguh erat.
Sekalipun Marjoeni Warganegara ketika itu bertahta sebagai
dir-ut PT Krakatau teel, adalah almarhun1 Thahir yane oleh
dir-ut Pertamina dipercaya melakukan berbagai negosiasi dengan
para kontraktor asing. Tapi Thahir tidak sendiri. Dalam gugatan
resmi itu, disebutkan "adalah H. Thahir yang dalam setiap
kesempatan apapun berperan sebagai perumus kebijaksanaan utama
(main policy maker) bersama dir-ut Pertamina dalam urusan
Krakatau Steel. " Patut diketahui, dalam proyek besi-baja di
Cilegon, Jawa Barat itu, Ibnu Sutowo waktu itu menjabat sebaa
komisaris utama.
Uang yang berputar dalam Krakatau Steel -- yang membuat
Pertamina berutang US$ 2 milyar lebih -- menurut gugatan itu
antara lain akibat kontrak-kontrak yang sengaja digembungkan
(overpriced) antara 15% sampai lebih 100%. Siemens misalnya,
yang dipasrahi memasang instalasi listrik dan tenaga uap (PLTU)
sebesar 3 x 80 megawatt menawarkan kontrak DM 986,5 juta. Sedang
Klockner yang menyelesaikan sebuah pelabuhan, sebuah instalasi
penyaluran air, rel kereta api dan saluran pipa dari proyek ke
pelabuhan menjamah kontrak sebanyak DM 462,2 juta.
Seorang anggota tim penyehatan Krakatau Steel waktu itu bahkan
memperkirakan kontrak-kontrak Siemens dan Klockner, dengan
sepengetahuan pimpinan Krakatau Steel sengaja telah
digelembungkan 2 sampai 3 kali.
Tak begitu jelas mengapa gugatan Pertamina itu tak menyinggung
tentang PT Krakatau Ferrosteel -- patungan antara PT Krakatau
Steel dengan perusahaan Ferrostahl AG di Jerman Barat. Kabarnya
Marjoeni, yang juga duduk sebagai dir-ut Krakatau Ferrosteel
banyak juga main teken kontrak dengan partner-nya itu, mencapai
jumlah sekitar US$ 1 milyar.
Dalam gugatan itu, pihak pengacara Pertamina menyatakan "komisi
yang diterima H. Thahir dari kedua kontraktor asing itu adalah
5% dari setiap kontrak, atau 300.000: 1 . . . " Gugatan
Pertamina itu memerinci:
Pada 9 Mei 1974, Pertamina membayar kepada Siemens sejumlah DM
57,37 juta. Pada 4 Juni. tahun itu, sebanyak DM 2.868.000 atau
5% dari jumlah kontrak itu, telah didepositokan dalam rekening
Thahir.
Pada 16 Juli 1974 Pertamina telah membayar kepada Siemens
sejumlah DM 31,899 juta. Pada 6 September 1974 itu, sejumlah DM
1.595.000, sama dengan 5% dari kontrak itu, telah disalurkan ke
dalam rekening Thahir.
Kemudian antara Desember 1974 dan Februari 1975 Pertamina telah
membayar kepada Siemens DM 44,9 juta. Dan 25 Februari 1975
sebanyak DM 2.245.000 telah dimasukkan atas nama rekening
Thahir. Tak heran kalau seorang pengacara di Singapura menyebut
almarhum sebagai Mister 5%.
Para pengacara Pertamina itu juga menuduh telah terjadi
persekongkolan antara Thahir dengan kedua kontraktor Jerman itu
untuk mengubah kontrak. Akhir 1973Thahir,demikian gugatan
tersebut, sebenarnya sudah mengetahui kesulitan keuangan yang
menimpa Pertamina. Maka kontrak dengan kedua kontraktor asing
itu diubah sedemikian rupa sehingga mereka bisa menerima semua
pembayaran dan H. Thahir bisa menerima semua "komisi" -- sebelum
krisis menimpa tubuh Pertamina.
Tapi semua perubahan yang dalam gugatan itu disebut "penipuan"
kontrak-kontrak itu, bisa terlaksana setelah Siemens dan
Klockner menghubungi kepala keuangan (treasurer) Pertamina untuk
urusan pembayaran luar negeri, Nur Usman. Kepadanya kedua
perusahaan asing itu minta agar dilakukan perubahan kondisi
pembayaran atas kontrak-kontrak Krakatau Steel. "Untuk
mempermudah pembayaran komisi buat H. Thahir," demikian antara
lain gugatan tersebut. Caranya adalah dengan membuka L/C-L/C
atas nama kedua kontraktor Jerman itu, yang dapat dialihkan ke
rekening Thahir.
Bagaimana persisnya lika-liku permainan buku itu, entahlah. Tapi
pada 22 Februari 1974, satu bulan setelah penandatangan kontrak,
Klockner juga meminta agar L/C-L/C yang dibukanya itu disertai
syarat begini: "tak dapat ditarik kembali, bisa ditransfer dan
dapat dibagi-bagi."
Perjanjian di Basel
Boleh jadi bekas dir-ut Pertamina itu tak mengetahui duduk
soalnya sampai sedalam itu. Pemerintah ketika menjawab di DPR
beranggapan kesalahan Ibnu Sutowo lebih banyak disebabkan
kesalahan manajemen. Jadi bukan korupsi dan penyalahgunaan
jabatan. Tapi lain lagi bunyi pernyataan tertulis di bawah
sumpah (affidauit) kedua Nyonya Kartika Ratna Thahir 6 Maret
1980. "Saya berani bersumpah bahwa .... bekas Dir-Ut Pertamina
Ibnu Sutowo mengetahui sekali masalah keuangan almarhum suami
saya." Menurut Kartika Ratna, bekas boss suaminya juga tahu
tentang "jumlah simpanan yang di bank Sumitomo." Affidavit itu
juga mengatakan bahwa almarhum suaminya tak pernah bertindak
sesuatu "tanpa pengetahuan, izin dan perset-ujuan dari Jenderal
Sutowo."
Tentu saja semua nlduhan serius itu dibantah oleh bekas dir-ut
Pertamina. Dalam suatu affidavit singkat membalas tuduhan Ny.
Kartika, Ibnu Sutowo antara lain menangkis: "Seandainya sewaktu
menjabat dir-ut Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito
itu, pasti akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk
Pertamina." (lihat TEMPO 24 Mei).
Kapan kasus H. Thahir disidangkan dalam Pengadilan Tinggi
Singapura, beberapa sumber di Pertamina menyatakan belum tahu
pasti. Sedianya sidang yang pertama itu akan dilakukan 8 minggu
setelah selesainya hearing di Pengadilan Tinggi Singapura.
Dengan kata lain, pertengahan Mei.
Di mana kini Ny. Kartika Ratna juga tak banyak yang tahu. Di
awal Mei Kartika Ratna tak lagi tinggal di Jean D'Arc Laan 1,
Amstelveen, dekat Amsterdam, sebagaimana disebutkan oleh Kartika
dalam aff davit-nya yang pertama. Di Amstelveen Kartika
menumpang di sebuah rumah yang tak tergolong mewah punya
iparnya, T.K. Na, seorang dokter gigi. Mungkin juga dia di
Singapura, di flat mewah Woodstock Avenue, tak begitu jauh dari
hotel mewah Shangrila.
Janda cantik separuh baya itu juga punya tempat tinggal di
Swiss. Suatu hari, 29 Agustus 1977, demikian disebutkan dalam
gugatan Pertamina, telah terjalin kerjasama antara Kartika
dengan Ibrahim Thahir, salah seorang putra almarhum dari istri
pertama. Mereka berdua bersetuju untuk membagi dua tagihan
almarhum Thahir yang masih belum dibayarkan oleh Siemens AG,
sejumlah DM 15 juta.
Dengan sendirinya pihak Siemens AG dan Klockner -- yang sampai
sekarang masih sebagai kontraktor Krakatau Steel -- menyatakan
tak tahu menahu tentang gugatan Pertamina dan affidavit Kartika
Ratna itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini