Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengungkap Koneksi Jerman

Pertamina menuduh 2 kontraktor jerman (siemens ag & klockner industri-anlagen) ada main dengan alm. h. thahir, a.l dengan mengubah kontrak. ny. kartika menyatakan ibnu sutowo mengetahui masalah keuangan.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK anggota DPR masih merasa "tak puas" dengan jawaban pemerintah tentang Pertamina. Setidaknya dari F-PP dan F-PDI ingin mempergunakan hak angket (lihat Nasional). Mungkin beberapa di antara mereka sudah mengetahui, setidaknya mendengar, Pertamina mengajukan gugatan (statement of claim) ke Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dalam perkara almarhum H. Thahir pada 12 Mei 1980. Hanya sepekan sebelum pemerintah menyampaikan jawaban ataspertanyaan 7 anggota DPR dari F-KP itu. Pertamina, yang oleh Pengadilan Tinggi Singapura sudah diputuskan sebagai penggugat, mengatakan ada dua kontraktor dalam PT Krakatau Steel: perusahaan Siemens AG dan Klockner Industri-Anlagen GmbH, telah memberikan "komisi" kepada almarhum H. Thahir. "Komisi" itu antara lain disimpan sebagai rekening bersama berupa deposito berjangka di cabang bank Sumitomo di Singapura. Rekening bersama atas nama almarhum H. Thahir dan Ny. Kartika Ratna Thahir, istri kedua almarhum, berjumlah DM 54 juta dan US$ 1,2 juta, yang dalam kurs rupiah sekarang hampir mencapai Rp 20 milyar. Menurut gugatan itu, uang tersebut berasal dari "hasil uang sogokan, imbalan atau komisi para kontraktor asing kepada H. Thahir," selama 1973-1974. Adalah almarhum H. Thahir yang waktu itu merupakan orang paling penting setelah Ibnu Sutowo di Pertamina. Menurut gugatan itu, paling tidak sejak 1967 sampai meninggal pada 23 Juli 1976, Haji Achmad Thahir memegang 4 jabatan penting di Pertamina: asisten umum Dir-Ut Ibnu Sutowo, pj. direktur keuangan, pj. bendahara (acting treasurer) dan sebagai dir-ut Patra Jasa, menggantikan Mayjen Hamzah yang meninggal pada 1975. Lewat sepucuk SK Dir-Ut Pertamina, maka Patra Jasa telah dilimpahi untuk mengurus seluruh proyek bangunan Pertamina yang terhenti pembanunannya. Hubungan bekas dir-ut Pertamina dengan almarhum sungguh erat. Sekalipun Marjoeni Warganegara ketika itu bertahta sebagai dir-ut PT Krakatau teel, adalah almarhun1 Thahir yane oleh dir-ut Pertamina dipercaya melakukan berbagai negosiasi dengan para kontraktor asing. Tapi Thahir tidak sendiri. Dalam gugatan resmi itu, disebutkan "adalah H. Thahir yang dalam setiap kesempatan apapun berperan sebagai perumus kebijaksanaan utama (main policy maker) bersama dir-ut Pertamina dalam urusan Krakatau Steel. " Patut diketahui, dalam proyek besi-baja di Cilegon, Jawa Barat itu, Ibnu Sutowo waktu itu menjabat sebaa komisaris utama. Uang yang berputar dalam Krakatau Steel -- yang membuat Pertamina berutang US$ 2 milyar lebih -- menurut gugatan itu antara lain akibat kontrak-kontrak yang sengaja digembungkan (overpriced) antara 15% sampai lebih 100%. Siemens misalnya, yang dipasrahi memasang instalasi listrik dan tenaga uap (PLTU) sebesar 3 x 80 megawatt menawarkan kontrak DM 986,5 juta. Sedang Klockner yang menyelesaikan sebuah pelabuhan, sebuah instalasi penyaluran air, rel kereta api dan saluran pipa dari proyek ke pelabuhan menjamah kontrak sebanyak DM 462,2 juta. Seorang anggota tim penyehatan Krakatau Steel waktu itu bahkan memperkirakan kontrak-kontrak Siemens dan Klockner, dengan sepengetahuan pimpinan Krakatau Steel sengaja telah digelembungkan 2 sampai 3 kali. Tak begitu jelas mengapa gugatan Pertamina itu tak menyinggung tentang PT Krakatau Ferrosteel -- patungan antara PT Krakatau Steel dengan perusahaan Ferrostahl AG di Jerman Barat. Kabarnya Marjoeni, yang juga duduk sebagai dir-ut Krakatau Ferrosteel banyak juga main teken kontrak dengan partner-nya itu, mencapai jumlah sekitar US$ 1 milyar. Dalam gugatan itu, pihak pengacara Pertamina menyatakan "komisi yang diterima H. Thahir dari kedua kontraktor asing itu adalah 5% dari setiap kontrak, atau 300.000: 1 . . . " Gugatan Pertamina itu memerinci:  Pada 9 Mei 1974, Pertamina membayar kepada Siemens sejumlah DM 57,37 juta. Pada 4 Juni. tahun itu, sebanyak DM 2.868.000 atau 5% dari jumlah kontrak itu, telah didepositokan dalam rekening Thahir.  Pada 16 Juli 1974 Pertamina telah membayar kepada Siemens sejumlah DM 31,899 juta. Pada 6 September 1974 itu, sejumlah DM 1.595.000, sama dengan 5% dari kontrak itu, telah disalurkan ke dalam rekening Thahir.  Kemudian antara Desember 1974 dan Februari 1975 Pertamina telah membayar kepada Siemens DM 44,9 juta. Dan 25 Februari 1975 sebanyak DM 2.245.000 telah dimasukkan atas nama rekening Thahir. Tak heran kalau seorang pengacara di Singapura menyebut almarhum sebagai Mister 5%. Para pengacara Pertamina itu juga menuduh telah terjadi persekongkolan antara Thahir dengan kedua kontraktor Jerman itu untuk mengubah kontrak. Akhir 1973Thahir,demikian gugatan tersebut, sebenarnya sudah mengetahui kesulitan keuangan yang menimpa Pertamina. Maka kontrak dengan kedua kontraktor asing itu diubah sedemikian rupa sehingga mereka bisa menerima semua pembayaran dan H. Thahir bisa menerima semua "komisi" -- sebelum krisis menimpa tubuh Pertamina. Tapi semua perubahan yang dalam gugatan itu disebut "penipuan" kontrak-kontrak itu, bisa terlaksana setelah Siemens dan Klockner menghubungi kepala keuangan (treasurer) Pertamina untuk urusan pembayaran luar negeri, Nur Usman. Kepadanya kedua perusahaan asing itu minta agar dilakukan perubahan kondisi pembayaran atas kontrak-kontrak Krakatau Steel. "Untuk mempermudah pembayaran komisi buat H. Thahir," demikian antara lain gugatan tersebut. Caranya adalah dengan membuka L/C-L/C atas nama kedua kontraktor Jerman itu, yang dapat dialihkan ke rekening Thahir. Bagaimana persisnya lika-liku permainan buku itu, entahlah. Tapi pada 22 Februari 1974, satu bulan setelah penandatangan kontrak, Klockner juga meminta agar L/C-L/C yang dibukanya itu disertai syarat begini: "tak dapat ditarik kembali, bisa ditransfer dan dapat dibagi-bagi." Perjanjian di Basel Boleh jadi bekas dir-ut Pertamina itu tak mengetahui duduk soalnya sampai sedalam itu. Pemerintah ketika menjawab di DPR beranggapan kesalahan Ibnu Sutowo lebih banyak disebabkan kesalahan manajemen. Jadi bukan korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Tapi lain lagi bunyi pernyataan tertulis di bawah sumpah (affidauit) kedua Nyonya Kartika Ratna Thahir 6 Maret 1980. "Saya berani bersumpah bahwa .... bekas Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo mengetahui sekali masalah keuangan almarhum suami saya." Menurut Kartika Ratna, bekas boss suaminya juga tahu tentang "jumlah simpanan yang di bank Sumitomo." Affidavit itu juga mengatakan bahwa almarhum suaminya tak pernah bertindak sesuatu "tanpa pengetahuan, izin dan perset-ujuan dari Jenderal Sutowo." Tentu saja semua nlduhan serius itu dibantah oleh bekas dir-ut Pertamina. Dalam suatu affidavit singkat membalas tuduhan Ny. Kartika, Ibnu Sutowo antara lain menangkis: "Seandainya sewaktu menjabat dir-ut Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito itu, pasti akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk Pertamina." (lihat TEMPO 24 Mei). Kapan kasus H. Thahir disidangkan dalam Pengadilan Tinggi Singapura, beberapa sumber di Pertamina menyatakan belum tahu pasti. Sedianya sidang yang pertama itu akan dilakukan 8 minggu setelah selesainya hearing di Pengadilan Tinggi Singapura. Dengan kata lain, pertengahan Mei. Di mana kini Ny. Kartika Ratna juga tak banyak yang tahu. Di awal Mei Kartika Ratna tak lagi tinggal di Jean D'Arc Laan 1, Amstelveen, dekat Amsterdam, sebagaimana disebutkan oleh Kartika dalam aff davit-nya yang pertama. Di Amstelveen Kartika menumpang di sebuah rumah yang tak tergolong mewah punya iparnya, T.K. Na, seorang dokter gigi. Mungkin juga dia di Singapura, di flat mewah Woodstock Avenue, tak begitu jauh dari hotel mewah Shangrila. Janda cantik separuh baya itu juga punya tempat tinggal di Swiss. Suatu hari, 29 Agustus 1977, demikian disebutkan dalam gugatan Pertamina, telah terjalin kerjasama antara Kartika dengan Ibrahim Thahir, salah seorang putra almarhum dari istri pertama. Mereka berdua bersetuju untuk membagi dua tagihan almarhum Thahir yang masih belum dibayarkan oleh Siemens AG, sejumlah DM 15 juta. Dengan sendirinya pihak Siemens AG dan Klockner -- yang sampai sekarang masih sebagai kontraktor Krakatau Steel -- menyatakan tak tahu menahu tentang gugatan Pertamina dan affidavit Kartika Ratna itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus