Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengusut uang yang

Kredit macet bank pemerintah ditaksir rp 1,4 triliun, tapi ada pakar menilainya rp 3 triliun. kejaksaan kini resmi membantu bupn.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU kredit macet kembali menguak cakrawala perbankan di Jakarta, pekan silam. Suara dari Bank Indonesia menyatakan bahwa masalah kredit macet yang diderita bank-bank pemerintah akan diatasi dengan bantuan aparat kejaksaan. Pilihan ini diambil karena Badan Urusan Piutang Negara (BPUN), yang selama ini bertindak sebagai eksekutor tagihan, dianggap ''tidak mampu'' menyelesaikan masalah itu sendiri. Aparat kejaksaan pun sebenarnya tidaklah terlalu asing dalam urusan kredit macet. Sudah sejak dulu mereka dilibatkan, tapi secara tidak langsung. ''Bahkan sebagian anggota kami berasal dari sana (maksudnya kejaksaan),'' ujar Adolf Warouw, Kepala BUPN. Bedanya, seperti yang tersirat dalam UU No 5/1991, kini bank pemerintah boleh langsung meminta jasa mereka untuk menyelesaikan piutang-piutang mandek. Jadi, ''Pihak kejaksaan akan bertindak sebagai penasihat hukum bagi bank pemerintah,'' kata Direktur Muda BI, Dahlan Sutalaksana. Diakui oleh Warouw, ada banyak kendala yang dihadapi BUPN. Untuk mengeksekusi tanah milik debitur, misalnya, BUPN harus melakukan koordinasi dengan pengadilan negeri dan Badan Pertanahan Nasional. Tak jarang, agunan yang akan dieksekusi nilainya di bawah piutang yang menjadi kewajiban debitur. Akibatnya, sepanjang Pelita V lalu, kredit macet yang ''terselamatkan'' oleh BUPN hanya Rp 500 miliar. Jika dibandingkan dengan perolehan pada Pelita IV, jumlah tersebut memang naik sebesar 30%. Namun, masih jauh di bawah total kredit macet yang ditanggung bank-bank pemerintah, yang pada akhir tahun 1992 tercatat Rp 1,43 triliun atau 2,1% dari total kredit yang disalurkan (Rp 68,2 triliun). Dua penyebab utama macetnya kredit ialah studi kelayakan yang kurang atau tidak baik dan iklim bisnis yang tiba-tiba berubah. Kedua penyebab ini merupakan hasil pemantauan Dahlan Sutalaksana setelah sekian lama. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Sjahrizal, Direktur Utama Bapindo. Kebijaksanaan uang ketat olehnya dijadikan contoh tentang iklim berusaha yang susah ditebak itu. Namun, apakah kredit macet bank pemerintah besarnya hanya satu sampai tiga persen? Kalau benar begitu, kenapa Pemerintah bersikap seperti menghadapi monster? Dan apa mungkin mengetahui di pihak mana piutang itu mandek? Ternyata, tidak gampang menyibak rahasia bank. Tapi bekas Direktur Pengawasan BI, Marjanto Danusaputro, mengatakan, jika berdasarkan buku yang disusun Ellen and Hamilton, beban yang harus ditanggung bank-bank pemerintah jauh lebih besar. Sebab, selain kredit macet, masih ada ''piutang ragu-ragu'' dan ''piutang kurang lancar'', yang jika ditotal jumlahnya meliputi 520% dari pinjaman. Jadi, kalau diasumsikan kredit macet itu 5% saja, ''jumlahnya sudah bekisar pada angka Rp 3 triliun,'' kata Marjanto. Lalu, di mana macetnya? Adolf Warouw menegaskan, jika dilihat nilainya, jelas kredit macet lebih banyak menumpuk di kalangan pengusaha besar. Warouw memang tidak langsung menunjuk hidung. Tapi Anda tentu masih ingat Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin Tommy Soeharto. Di lembaga ini, uang Pemerintah ''tersangkut'' tak kurang dari Rp 759 miliar. Lalu, ada pula pengusaha yang berhasil meminjam US$ 55 juta dari bank pemerintah untuk membeli sebuah perkebunan. Semua pakar perkebunan bilang bahwa harga itu kemahalan US$ 10 juta. Adapun selisih dari harga beli dan besarnya kredit menjadi ''jatah'' bagi bankir yang bersangkutan. Contoh lain, seorang pengusaha kayu lapis membangun pabrik dengan pinjaman bank. Tapi, tiga bulan kemudian, pabrik itu dinyatakan bangkrut. Belakangan ketahuan bahwa bank tersebut hanya bisa menyita pabrik dengan mesin-mesin bekas pakai, yang nilainya tak sampai separuh dari jumlah dana yang disalurkan. Nah, debitur-debitur model beginilah yang kerap memusingkan BPUN. Budi Kusumah, Andi Reza Rohadian, Wahyu Muryadi, dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus