DEWASA ini, ketika sektor industri diharapkan bisa memperluas lapangan kerja dan mempersenjatai ekonomi Indonesia dalam memasuki era globalisasi, Kabinet Pembangunan VI menghadirkan satu pos baru, yakni Menteri Koordinator Perindustrian dan Perdagangan, disingkat Menko Indag. Ruang lingkupnya melebar ke 10 departemen, dan komandannya adalah bekas Menteri Perindustrian, Ir. Hartarto Sastrosoenarto. Pria tinggi besar kelahiran Delanggu, Jawa tengah, ini adalah lulusan Fakultas Teknik Kimia Universitas New South Wales, Australia. Kemampuannya pertama kali dicoba di proyek perluasan pabrik kertas Leces, Jawa Timur. Berbekal segerobak pengalaman, pada tahun 1983 Hartarto ditunjuk sebagai Menteri Perindustrian dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-88), yang berlanjut dalam Kabinet Pembangunan V (1988-93). Kini, dalam usianya yang ke-60 tahun, ia dihadapkan pada tantangan yang lebih besar, yang tentu saja tidak mudah. Namun Menko yang bersuara bariton ini tampak siap tempur. Untuk menunaikan tugasnya, Menko Indag Hartarto harus berkantor di dua tempat. ''Senin sampai Kamis saya berkantor di Departemen Perindustrian, Jumat dan Sabtu saya berkantor di Departemen Keuangan,'' katanya sewaktu ditemui Max Wangkar dan Indrawan dari TEMPO untuk sebuah wawancara. Petikannya. Apa tugas Menko Indag? Pertama adalah peningkatkan ekspor nonmigas dalam arti luas, agar ekspor nonmigas dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, mendorong pertumbuhan usaha menengah dan kecil, serta mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi terutama di daerah yang belum berkembang seperti IBT. Ketiga, mengembangkan sumber daya manusia. Tugas Menko adalah koordinasi kebijaksanaan, pelaksanaan di tangan menteri-menteri. Apakah industri kita perlu ditata kembali? Yang bagus dan kuat kita dorong terus, yang masih perlu diperbaiki akan diperbaiki. Antara lain otomotif, yang nanti akan keluar deregulasinya. Tunggulah pengumumannya. Indonesia sudah memasuki era industrialiasi, tapi ada pendapat industri kita tidak efisien, jago kandang, perlu proteksi .... Ekspor hasil industri kita sebenarnya meningkat bagus sekali. Sedangkan istilah substitusi impor sudah kita tinggalkan. Ekspor minyak dan gas (migas) tahun 1992 US$ 10,5 juta, ekspor nonmigas US$ 23,4 juta. Ekspor industri US$ 19,9 juta. Itu naik 29,7% dibandingkan tahun 1991. Sedangkan peranan terhadap total ekspor 58,8% dan terhadap ekspor nonmigas 85,28% Andalan kita sekarang adalah industri pengolahan (manufaktur) yang naik 32,7%. Kita sudah mulai mengolah dari teknologi canggih tekstil sampai farmasi. Andalan keempat, elektronik. Kini sudah mulai ekspor mesin-mesin. Dan kita sudah mengekspor pabrik utuh. Kita bangun pabrik kimia (oleh Petrokimia Gresik) di Cina, pabrik farmasi di Perancis, pabrik kertas (oleh Pura Baru Utama dari Kudus) di Malaysia, pabrik tekstil (oleh Texmaco) di Irlandia dan Tunisia. Juga, kita ekspor satu kapal buatan PT Kodja ke Norwegia, senilai US$ 55 juta. Kalau kita proteksi, tidak mungkin ekspor industri kita naik terus. Padahal, di dalam negeri ada kebijaksanaan uang ketat, sementara di luar negeri terjadi resesi. Bagaimana kebijaksanaan untuk produk BPIS? Pasaran dalam negeri sangat penting, misalnya kereta api. Sebenarnya, engineering produk yang kita garap kompetitif sekali. Secara ringkas, membangun pabrik membutuhkan kemampuan engineering yang kuat yang memerlukan jam kerja sebanyak 2,3 juta man hour. Di sini kita menang. Kita kalahkan Inggris dan Jepang. Karena rata rata man hour kita US$ 4.000, sementara mereka US$ 5.000. Sedangkan kemampuan engineering teknologinya sama. Jam kerjanya juga sama. BPIS kini mengarah ke industri canggih, sampai mau beli kapal tempur bekas Jerman dan 100 pesawat tempur Inggris, dengan proses pembuatan sebagian di Indonesia. Apakah waktunya sudah tepat untuk itu? Iya, itu salah satu cara meningkatkan ke-mampuan kita. Cara itu sudah dilakukan (Menristek B.J.) Habibie sejak dulu. Ini bisa meningkatkan ekspor dengan cepat. Industri yang dikembangkan adalah broad base, labour intensive, dan kemudian industri tinggi. Jadi, andalannya bukan hasil industri sumber daya alam saja? Tidak hanya resource base. Industri elektronik kita (yang memakai bahan baku impor) ada kekuatan, karena kita mengusai desain dan engineering. Itu sulit, lo. Penguasaan rancang bangun elektronika kita hebat. Kalau Singapura, ekspornya kan lewat PMA, sebagiannya juga cuma komponen. Sedangkan kita adalah produk-produk akhir. Hanya kalau sampai ke pengembangan ekspor mesin, mesti ada dukungan ekspor kredit bank. Masalahnya kemampuan perbankan kita masih terbatas. Bagaimana sistem tarif industri hulu sampai ke hilir? Tahun 1983, struktur tarif itu masih acak-acakan. Distorsi masih ada di sana-sini, tapi sebagian besar sekarang sudah didudukkan lebih baik. Berapa proteksi terhadap industri hulu, berapa industri antara, dan berapa pada industri hilir. Kalau itu tidak dipersoalkan sejak tahun 1983, ekspor kita sekarang tidak jalan. Bahkan untuk ASEAN, posisi struktur tarif kita nomor dua setelah Singapura. Tapi Singapura kan tidak punya industri hulu. Tarif industri hulu 15%, industri antara 15%, tapi di industri hilir yang dikenai bea 0% sudah banyak. Hanya beberapa memang yang masih dilindungi bea masuk 25%. Yang bea masuknya 0%, misalnya pupuk, kapal, dan mesin-mesin tekstil. Dulu, sebagai Menteri Perindustrian, Anda sering meresmikan pabrik yang akan menghemat devisa. Kok belum kelihatan dampaknya? Kalau dijadikan satu, tidak kelihatan. Itu kelihatan dari impor produk produk petrokimia. Dulu US$ 1,6 miliar, kini turun menjadi US$ 1,1 miliar. Neraca perdagangan industri tahun 1992, ekspornya US$ 19,9 juta, impornya US$ 10,9 juta. Dulu surplusnya US$ 5,2 juta, sekarang US$ 9 juta. Target ekspor industri Pelita VI? Pada akhir Pelita VI, ekspor hasil industri sudah akan mencapai US$ 50 miliar per tahun. Di bidang perdagangan, apa yang akan dibenahi? Itu wewenang Menteri Perdagangan. Sedangkan tugas saya mengkoordinasikan dengan erat sektor industri dan perdagangan. Tugas Perdagangan kan berat sekali, sebagai ujung tombak ekspor nonmigas. Bisa lebih tajam lagi, misalnya dalam perdagangan bebas ASEAN (AFTA)? Kita akan menurunkan secara bertahap penetrasi dari sektor industri dalam rangka ASEAN. AFTA hanya mencakup kerja sama sektor industri. Singapura, Filipina, dan Malaysia tidak perlu dikhawatirkan. Tentu saja kita akan menurunkan industri yang daya saingnya kuat. Kita harus hati-hati dengan industri hasil pertanian. Mobil belum kita turunkan. Kapal dan barang modal sudah bisa. Apakah kita perlu trading house? Tak gampang. Trading house menyangkut perdagangan, keuangan, asuransi, dan sebagainya. Itu perlu proses 5 sampai 10 tahun, tak bisa dibentuk lewat SK menteri. Jadi, Menko Indag belum seperti MITI Jepang, karena tidak ikut mengkoordinasikan perbankan? Tugas pokok Menko Indag, selain mengkoordinasikan bidang perdagangan, adalah mengupayakan adanya dukungan dari perbankan. Karena industri perdagangan tanpa perbankan kan tidak bisa. DI MITI pun tidak ada banknya, tapi perbankan ikut kerja sama. Yang penting, menganjurkan hubungan erat antara dunia usaha dan pihak Pemerintah. Apa kebijaksanaan untuk pengembangan sumber daya manusia? Sumber daya manusia ini peka sekali. Upaya suksesnya pembangunan industrialisasi erat kaitannya dengan sumber daya manusia. Program yang ingin sekali kami dorong dengan P&K adalah dalam bentuk pendidikan umum dan kejuruan. Menteri Tenaga Kerja akan mendorong dunia usaha untuk melakukan permagangan lewat perusahaan. Pola magang itu harus dikerjakan secara luas. Misalnya perusahaannya Pak Abdul Latief, PT Sarinah Jaya, mengadakan magang untuk pendidikan bagaimana menjadi bisnis pedagang. Hal seperti ini sudah dilakukan di Singapura dan Taiwan. Bayangkan kalau ada 1.000 perusahaan masing-masing tiap tahun menangani 20 orang, bisa didapatkan 20.000 tenaga terampil. Kalau 5% saja menjadi wiraswasta, sudah akan bagus sekali. Bagaimana kebijaksanaan untuk pengembangan koperasi dan pengusaha kecil? Kebijaksanaan di sini sudah ada. Ada kredit usaha kecil 20%, penyisihan 15% dari laba BUMN, program bapak dan anak angkat, penjualan saham koperasi. Yang diperlukan lagi ialah UU Pengusaha Kecil. Program untuk itu sudah banyak, tapi kok tidak jalan? Sebenarnya sudah jalan, akan tetapi performance-nya kurang diikuti. Akan kita pelajari, di mana letak kelemahannya. Usaha kecil dibilang lemah, tapi total ekspornya mencapai US$ 2,2 miliar. Ini kan membuktikan bahwa peranan mereka sudah cukup besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini