PENURUNAN harga garam sampai Rp 5/kg tidak terlalu mengejutkan
para petani garam. Sebab keprihatinan itu masih nyaris abadi:
jika produksi menumpuk maka harganya pun berantakan. Apalagi
dibanding tahun lalu, produksi garam rakyat kali ini agak
menonjol -- lantaran musim kering yang panjang. Haji Ali, petani
garam di desa Tambaklangon Surabaya mencatat kenaikan produksi
kali ini sampai hampir 3 kali lipat. Tak aneh juga kalau Kepala
Direktorat Perekonomian Propinsi Jawa Timur Hassan Wirjokoesoemo
memperkirakan produksi nasional garam tahun ini mencapai 900
ribu ton. Sementara itu sebanyak lebih dari 500 r ibu ton akan
dihasilkan di Jawa Timur: sekitar 350 ribu ton dari ladang
rakyat dan sisanya produksi PN Garam. Padahal kebutuhan garam
konsumsi dan industri tahun ini cuma sekitar 450 ribu ton saja.
Yang berarti tahun ini bisa dicatat surplus garam.
Tapi, mengapa tetap impor? Barangkali memang ada perbedaan data
antara yang sesungguhnya dengan yang di tangan PN Garam. Sebab
dalam acara dengar pendapat di depan Komisi Vl DPR Mei lalu,
Dirut PN Garam Suwondo menyebut kekurangan produksi dalam negeri
sekitar 260 ribu ton. Maka dengan terpaksa pemerintah tahun 1976
bakal impor garam sekitar 300 ribu ton. Ikhwal impor garam
disebut oleh Suwondo memang bukan kali ini saja. Tahun 1975
ternyata menurut catatan PN Garam ada impor garam sekitar 100
ribu ton.
Tengkulak
Lantaran SK Gubernur 5 Juli 197 mulanya produsen garam rakyat
memang masih bisa tersenyum. Sebab dengan SK itu Gubernur
Soenandar mewajibkan PN Caram lewat BUUD sebagai pembeli tunggal
dengan harga Rp 12,50 untuk kwalitas I dan Kp 11,50 untuk
kwalitas II. Semuanya termasuk harga karung, ongkos angkut plus
keuntungan BUUD Rp 0,50/kg. Namun keadaan itu tak berlangsung
lama. Dan menjelang Lebaran BWD menghentikan pembelian garam
dari petani. Alasannya "keuangan kosong, karena PN Garam belum
melunasinya", tukas haji Ali mengutip pengurus BUUD di Gresik.
Hal itu bukannya tak diakui oleh PN Garam. Menurut Direktorat
Perekonomian Propinsi Jawa Timur sejak SK Gubernur sampai bulan
September lalu PN Garam berhasil menyedot 51.474 ton. Di samping
sekitar 230 ton dari Jawa Barat plus 3.110 ton dari Jawa Tengah.
Dari jumlah tersebut lebih dari 7 ribu ton dengan nominal Rp
82.510.873,90 masih dihutang oleh PN Garam. Maka lewat konsensus
antara PN Garam dengan Pemda di Kalianget Madura awal Oktober
lalu, PN Garam segera membayar 60% dari jumlah tunggakan. Dan
sisanya dibayar setelah kredit bank yang diharapkan keluar.
Tak ayal begitu BUUD menyetop pembelian garam harganya pun
segera meluncur ke bawah. Malanan karena buru-buru butuh uang
untuk lebaran banyak petani yang menjual dengan harga Rp 3.
"Tengkulak memberikan harga semaunya", kata seorang petani garam
lainnya. Meskipun habis lebaran harganya sedikit naik kembali
dan berhenti pada angka Rp 5 - Rp 6. Padahal pada musim
penghujan harganya bisa mencapai Rp 30/kg. Dan ketika itu semua
garam sudah tak di tangan petani lagi. Meskipun berkaca pada
pengalaman tahun lalu beberapa petani gara yang pintar tak
begitu saja mengobral hasil produksinya. Terbukti kini sekita
40% dari jumlah produksi masih tersimpan di gudang petani
masing-masing sambil "menunggu harga yang agak baik", tuturnya.
Turunnya harga garam ini nampaknya juga ditunjuk pula sebagai
musabab distopnya pembelian itu. Apalagi menurut PN Garam harga
garam di Jawa Tengah telah lebih dulu jatuh sampai Rp 3. Meski
begitu bukan berarti PN Garam tak bersedia lagi mengangkat nasib
petani garam. Sebab dengan konsensus tadi kepada masing-masing
BUUD unit Garam Rakyat bakal segera diusahakan mendapat kredit
sebesar Rp 10 juta. Lalu antara PN Garam dan BUUD akan
dilangsungkan kontrak pembelian -- atas garam rakyat yang telah
ditentukan kwalitasnya oleh pensurvei yang ditunjuk oleh PN
Garam.
Begitu survei selesai, maka kontrak pun ditandatangani, PN Garam
segera menyerahkan pembayaran 50% dari jumlah kontrak. Sisanya
dibayar ketika garam itu disetor ke gudang PN Garam. "Ini untuk
menghindari kelambatan pengirirnan dari BUUD ke PN Garam serta
kemungkinan permainan kwalitas", kata sumber TEMPO di kantor
gubernuran Jawa Timur. Siapa yang menentukan harganya? "Yang
jelas kedua-duanya: BUUD dan PN Garam", tambahnya. Tapi agar tak
menutup kemungkinan lain jika tak terjadi kecocokan maka dalam
konsensus tersebut terdapat klausul: "jika tak terjadi kecocokan
harga bakal ditunjuk team penengah". Yakni: Pemda Propinsi,
Kantor Daerah Koperasi plus Perindustrian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini