Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Menjual Berita Dunia Ketiga Lewat...

Menjelang konperensi menpen nonblok (cominac) di jkt. akan membahas masalah tuntutan negara-negara nonblok akan perimbangan arus informasi dengan barat. cara untuk itu, telah dibentuk dengan kantor berita bersama. (md)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA bagaikan lagi "kenduri besar". Sejak dua pekan lalu, umbul-umbul, spanduk, dan poster berukuran besar terlihat memadati tempat-tempat strateis diseantero kota dan di jalan-jalan utama menyambut tamu. TVRI mulai Minggu pagi silam menyelenggarakan siaran dalam bahasa Inggris selama 90 menit. Sementara itu, media cetak pun tidak ketinggalan menyediakan kolom khusus mengenai tamu yang akan membicarakan nasib media massa di 101 negara itu. Itulah berbagai kegiatan menyambut Konperensi Menteri Penerangan Nonblok (Cominac) yang berlangsung di Balai Sidang Senayan, Jakarta, pekan ini. Menteri Penerangan Harmoko beserta seluruh aparatnya adalah orang-orang yang tersibuk sejak beberapa pekan silam untuk mempersiapkan "perhelatan besar" itu. Hari Sabtu dan Minggu lalu, sepanjang siange dan malam, mereka tampak sibuk menyambut duapuluhan deleeasi yang tiba di lapangan udara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bahkan ketika rombongan yang satu belum selesai dilayani, delegasi lain sudah mendarat pula. Di tengah-tengah kesibukan menyambut belasan delegasi negara nonblok, pada hari Minggu itu Harmoko masih sempat melayat Almarhum W.J. Rumambi, menteri penerangan pada tahun 1966. Selain itu, Harmoko, bersama anggota kabinet lainnya, terlihat pula menyambut Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah yang baru kembali dari KTT Islam di Marokko. Senin pagi, Harmoko membuka pertemuan ke-7 Inter Governmental Council (IGC) - dewan antarpemerintah negara nonblok untuk koordinasi informasi dan komunikasi - di Balai Sidang, Jakarta. Sidang Dewan yang diikuti 21 anggota dan diketuai oleh menteri penerangan Irak, Latief Hassim merupakan pertemuan penting sebelum konperensi. "Untuk melempangkan jalan bagi suksesnya Konperensi Menteri Penerangan Nonblok," ujar Harmoko dalam sambutannya Senin itu. Konperensi Menteri Nonblok sendiri baru dimulai Kamis ini. Soal utama yang akan dibahas konperensi masih soal lama: bagaimana negara-negara berkembang mengimbangi arus informasi dunia yang dikuasai pers Barat. Lebih dari dua puluh tahun lalu, negara-negara berkembang telah menyampaikan keluhannya tentang dominasi pers Barat yang dianggap berorientasi kepada kepentingan negara maju. Berbagai unek-unek telah mereka lontarkan di berbagai pertemuan internasional. Tahun lalu, misalnya, redaktur pelaksana kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency, Hamid Hossagi, mengangegap kebebasan pers Barat adalah ketidakbebasan di negeri berkembang. Iran, menurut Hamid telah menjadi korban berita-berita Barat yang menguasai dunia melalui kantor-kantor berita raksasa, seperti AP, UPI, Reuter, dan AFP. "Mereka tidak pernah memberitakan bahwa di Iran juga ada pembangunan," ujar Hamid di depan Konperensi Organisasi Kantor Berita Asia (OANA) di Jakarta. PEKAN lalu, delegasi Iran tidak sempat . mengeluarkan makiannya kepada pers Barat. Sebab, panitia Konperensi Menteri Penerangan Nonblok di Jakarta tidak menyediakan waktu bagi mereka untuk diwawancarai wartawan begitu sampai di lapangan udara Halim Perdanakusumah. Tapi menteri penerangan Vietnam, Tran Lam, yang datang lebih dulu masih sempat melepaskan kata-kata tajam. "Kata kebebasan yang digunakan pers Barat hanyalah untuk memburukkan Dunia Ketiga," ujar Tran Nam. Memang, hampir semua negara Dunia Ketiga mengeluh terhadap pers Barat. Ketua delegasi Malta, Paul Missud, tetap beranggapan bahwa kantor berita Barat hanya mencari hal-hal yang buruk dari negara berkembang. "Mereka cuma memberitakan soal kelaparan, bencana alam, dan kekacauan politik," ujar Missud. "Tidak secuil pun tentang pembangunan." Kritik terhadap pers Barat bukan hanya itu. Banyak berita yang mereka bumbui sesuai dengan selera sendiri, sehingga membuat alergi pemerintah negara berkembang. Pemerintah Indonesia sendiri tidak luput dari serangan negatif berbagai berita asing. Padahal, kalau bukan karena salah pemahaman terhadap apa yang terjadi, kekeliruan itu bisa pula lantaran salah kutip ucapan sumber berita Indonesia. Sebab itu, Kejaksaan Agung terpaksa menyediakan petugas khusus untuk mencat hitam tulisan negatif pada media cetak luar negeri. Kesalahan dalam pemahaman itu terlihat jelas, antara lain, dalam berita tentang kampanye pemilu di Indonesia. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berkali-kall diumumkan bukan sebagai partai oposisi, toh masih saja disebut dengan istilah itu. Bahkan ucapan ketua DPR, MPR Adam Malik, pada tahun 1978, yang mengecam jenderal purnawirawan yang beralih ke swasta tapi berbicara politik, dikutip Reuter menjadi: Malik blasts at generals. Koresponden majalah Far Eastern Economic Review Guy Sacerdoty, yang kini bertugas di Manila, pernah mengakui kesulitannya dalam memberitakan pencabutan SIT sementara terhadap tujuh penerbitan di Indonesia pada 1974. "Jika disebutkan bahwa pencabutan SIT itu hanya sementara, bagi pembaca Amerika tidak ada artinya. Jadi, saya tulis saja koran itu diberangus," ujarnya. Sikap miring pers Barat terhadap negara berkembang adalah lantaran wartawannya tidak punya latar belakang yang baik mengenai negeri yang ditulisnya. Wartawan surat kabar International Herald Tribune, Jonathan Power, mengaku matanya baru terbuha tentang hal-hal yang baik di Kuwait setelah ia ditugasi meliput peristiwa ledakan bom di beberapa kedubes asing di negara kecil itu, Desember lalu. Ternyata, Kuwait, tulis Power, selain demokratis dan melindungi hak-hak asasi manusia, juga merupakan negara yang banyak membantu negeri-negeri miskin di dunia. Citra buruk Dunia Ketiga di mata Barat itulah yang kini hendak diperbaiki oleh negara-negara nonblok. Caranya, perlu kesatuan bahasa dalam menghadapi dominasi pers Barat yang menguasai sekitar 80 persen pemberitaan dunia. Tuntutan untuk mengakhiri ketimpangan pemberitaan itu, seperti dikatakan ketua IGC, Jassim, ketika membuka pertemuan Senin lalu, tercetus sejak konperensi puncak nonblok di Aljazair, 1973. Sejak itu, kerja sama aktif antarnegara nonblok mulai disadari untuk mengubah tata informasi dunia. Pada Konperensi Menteri Penerangan Nonblok pertama di New Delhi, 1976, menteri penerangan & siaran India, V.C. Shukla, mencetuskan ide untuk membentuk pooling kantor berita sesama anggota. Selain itu, juga digarap penurunan tarif teleks untuk pengiriman berita antarnegara. Untuk mewujudkan pool kantor berita nonblok itu, berbagai pertemuan dilakukan komite yang dibentuk untuk itu - termasuk sidang yang diresmikan Menteri Penerangan Ali Moertopo di Bali, 1978. Hasilnya: komite melahirkan Non-Aligned News Agencies Pool (NANAP), mendampingi Broadcasting Organization of Non-Aligned Countries (BONAC). "Perang" melawan arus informasi Barat ternyata tidak hanya berkumandang pada forum nonblok. Pada 1964, misalnya, sudah terbentuk wadah kerja sama kantor berita negara-negara Islam dengan nama International Islamic News Agencies (IINA). Organisasi ini berkedudukan di Mekah. Alasan pendirian, negara-negara Islam merasa dinerlakukan tidak adil oleh pers Barat dibanding negara-negara Dunia Ketiga yang non-lslam. Alasan itu cukup masuk akal. Negara-negara Islam memang sering dicemoohkan pers Barat. Sebuah karikatur di surat kabar The Christian Science Monitor, AS, beberapa tahun lalu, misalnya, menggambarkan pemimpin Iran Khomeini mengendarai keledai ke masa silam, tahun 650. Dalam Muktamar Media Massa Islam Sedunia I di Jakarta, 1980, yang dihadiri 40 negara Islam, para anggota diminta berperan aktif mengisi kantor berita IINA. Indonesia, yang berperan besar di kedua forum itu, juga ikut serta pada OPEC News Agencies (OPECNA). Sekretaris jenderal OPEC, Rene G. Ortiz, mengumumkan berdirinya kantor berita itu untuk melawan dominasi media Barat. Tapi ironisnya OPECNA, yang sudah berumur lebih dari tiga tahun, lantaran tak punya jaringan kuat, terpaksa mengadakan kontrak kerja dengan kantor berita Barat, Reuter, dan UPI untuk mendistribusikan berita yang mereka buat. Di tingkat regional, Indonesia juga terlibat aktif pada organisasi serupa. Antara lain, Organisasi Kantor Berita Asia (OANA), dan Asean News Exchange (Anex). Selain itu, Indonesia juga mengadakan kerja sama secara bilateral dengan berbagai negara, baik nonblok maupun yang tidak, seperti Jepang. Kantor berita Antara yang melaksanakan semua kerja sama itu. Wakil pemimpin umum Antara, Djafar Assegaff, dalam wawancaranya dengan Kompas, menyebutkan ada sekitar 300 berita yang mereka kirimkan ke luar negeri setiap harinya, dan sekitar itu pula berita asing yang masuk. "Dari ratusan juta biaya operasional Antara setiap bulan, sekitar 30 juta di antaranya untuk biaya teleks," kata Assegaff. Tantangan terhadap dominasi pers Barat, selain datang dari negara-negara Dunia Ketiga, juga mundul dari "kubu" Uni Soviet bahkan dari oranisasi pendidikan dan kebudayaan internasional (Unesco). Bermula di Nairobi, Kenya, Soviet mengajukan deklarasi yang bertujuan membabat habis jaringan pers Barat. Naskah yang dilontarkan Soviet dalam rapat dwitahunan Unesco itu berisi, antara lain, tiap-tiap negara bertanggung jawab untuk kegiatan tingkat internasional dari semua nedia massa yang di bawah yurisdiksinya. Arah deklarasi itu jelas agar semua kegiatan media massa dikontrol tiap-tiap negara di dunia, seperti halnya di Soviet dan negara-negara sekutunya. Deklarasi itu dikecam keras oleh Amerika dan sekutunya. Bagi Amerika, kebebasan pers tak lain dari apa yang tertuang pada pasal 19 Deklarasi Hak Asasi PBB: Setiap orang berhak mencari, menerima, dan melepas informasi serta gagasan melalui media apapun dan di mana pun. Direktur masalah internasional AFP. Michel Saint Paul, juga berprinsip sama. "Bagi kami, prinsip nomor satu adalah kebebasan mutlak menyebarluaskan informasi," katanya kepada wartawan TEMPO di Paris, pekan lalu. Perbedaan prinsip mengenai arus informasi antara AS dan Soviet masih berkepanjangan. Negara nonblok yang mendominasi Unesco, yang beranggotakan 153 negara, terpecah dibuatnya. Sebagian berpihak ke konsep Soviet. Sebagian lagi, termasuk Indonesia, memilih aliran moderat. Kelompok moderat menganggap konsep Soviet terlalu membatasi kebebasan pers, sementara konsep Barat penuh dengan kelemahan yang merugikan negara ketiga. "Perdebatan antara kedua kubu itu untuk Tata Informasi Dunia Baru memang sengaja didorong Unesco seperti juga dengan Tata Ekonomi Dunia Baru," kata kepala divisi arus informasi Unesco, Goodwin Anim. Sudah lama Unesco berprinsip bahwa tata baru yang menuju keseimbangan antara Barat dan Dunia Ketiga itu pasti akan datang. Sebab itu, Unesco membentuk Komisi yang diketuai Sean Mac Bride, bekas menteri luar negeri Irlandia, untuk meneliti masalah global dari arus informasi dunia. Tapi resolusi yang dihasilkannya, 1978, tentang perlunya perlindungan kerja bagi wartawan dengan keharusan memiliki izin kerja dari pemerintah, mendapat tantangan pihak Barat. Izin itu seperti dikritik koran International Heraid Tribune, jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap asas-asas kebebasan pers. Bagi media massa AS, menurut surat kabar itu, kebebasan pers berarti suatu kebebasan yang jauh dari kontrol pemerintah setempat. "Tanggung jawab koran adalah bagaimana menghasilkan berita terus-menerus. Itu tanggung jawab yang dibutuhkan masyarakat," kata presiden American Society of Newspaper Editors, John Hughes. Resolusi itu akhirnya memang tidak diterima Unesco. Tapi jalan kompromi untuk Tata Informasi Dunia Baru itu tercapai dengan kesepakatan berupa pengesahan anggaran sebesar US$ 625 juta untuk tahun 1980--1983 guna mengembangkan komunikasi media massa Dunia Ketiga. Sebuah kemenangan besar bagi negara-negara berkembang, walau untuk itu Unesco kehilangan donatur utamanya, AS, yang mengundurkan diri akhir tahun ini. Salah satu sebab pengunduran diri, seperti diungkapkan resmi pemerintah AS, adalah sikap Unesco yang berpihak dan berpolitik. Persoalannya kini salah satu topik utama yang akan dibicarakan dalam konperensi ini kenapa tata arus informasi masih didominasi Barat? Padahal, berbagai kekuatan untuk meratakan ketimpangan itu sudah dilakukan banyak negara di dunia dan orgamsasi-organisasi internasional. Bahkan, seperti dikatakan Michel Saint Paul, pers Barat tidak pernah keberatan dengan berdirinya kantor berita negara-negara berkembang seperti NANAP. "Bahkan kami selama 20 tahun ini membantu agar kantor berita dan organisasi itu terbentuk," kata Paul. Selama itu, menurut Paul, ratusan wartawan dan teknisi dari berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah dilatih dengan cuma-cuma oleh AFP. "Kami tidak menganggap pool kantor berita negara Dunia Ketiga sebagai saingan atau lawan. Malah kita bisa saling melengkapi," ujar Paul. Kelemahan utama dari kantor-kantor berita Dunia Ketiga, menurut redaktur Reuter untuk Asia, Australia, dan Selandia Baru, Ian Mac Dowell, terletak pada kurangnya pengalaman dari mereka. "Selain itu, kantor berita negara berkembang belum bisa melepaskan pengaruh dari keuangan pemerintah. Itu menyebabkan tidak mantapnya kredibilitas mereka," ujar Dowell. Kantor berita Reuter dan AFP menyangkal tuduhan bahwa berita dari Dunia Ketiga yan mereka siarkan hanyalah berita-berita buruk saja. "Reuter banyak memberitakan aspek-aspek positif dari berita-berita Dunia Ketiga, dan kami juga memberitakan hal-hal yang buruk dari negara-negara Barat," ujar Dowell. Ia menambahkan, persoalannya adalah tidak banyak koran, termasuk dari Dunia Ketiga sendiri, yang mengutip berita kemajuan negara berkembang. Tuduhan Dowell itu dibuktikan oleh riset wartawan Kanada, Andrew Szende, yang disponsori Pusat Riset Pembangunan Internasional. Hasil riset Szende, yang diumumkan awal tahun ini, menyebutkan bahwa hampir semua redaktur senior di kawasan ASEAN lebih menyukai sumber-sumber Barat daripada sumber tetangga sendiri. Sekitar 60% redaktur senior yang diwawancarai Szende menempatkan Reuter sebagai sumber utama mereka. Setelah Reuter, mereka memakai sumber The Asian Wall Street Journal, AP, dan Far Eastern Economic Review. Kurangnya perhatian terhadap sesama negara ASEAN juga dibuktikan dalam riset itu. Hanya koran The Straits Times (Singapura) dan The New Straits Times (Kuala Lumpur), menurut Szende, yang memberikan porsi sekitar 20% dari pemberitaan luar negerinya untuk berita-berita ASEAN. The Indonesian Observer dan The Bankok Post hanya di bawah 10%. Dua harian dari Filipina kurang dari 5%. Itu baru sesama ASEAN. Apalagi, sesama anggota nonblok yang jumlahnya 101 anggota, dan tidak luput dari konflik di antara berbagai anggota. Adalah mustahit mengharapkan media Iran mengutip berita dari kantor berita Irak atau sebaliknya. Dalam pertemuan IGC Senin pagi, misalnya, delegasi Iran meninggalkan ruangan karena pertemuan dipimpin delegasi Irak. Begitu pula, misalnya, sulit untuk dibayangkan koran-koran negara ASEAN akan percaya begitu saja terhadap berita dari Vietnam. Pemimpin redaksi Kompas, Jakob Oetama, membenarkan ketergantungan medianya terhadap kantor berita seperti AP dan AFP. Hanya saja, menurut Jakob, redaktur luar negeri Kompas diwajibkan mengecek berita-berita Barat itu ke berbagai sumber lain, misalnya radio. Untuk menyeimbangkan sumber itu, katanya, mungkim saja. "Hanya perlu waktu dan biaya yang lebih besar," kata Jakob. Redaktur pelaksana Sinar Harapan, Samuel Pardede, juga mengakui ketergantungan korannya terhadap kantor berita asing untuk berita-berita luar negeri lebih besar. Faktor utama yang membuat kantor berita Barat itu unggul, menurut Pardedc, adalah kemajuan teknologi dan kuatnya modal mereka, sehingga bisa meliput ke mana saja. Kemajuan teknologi Barat untuk jurnalistik dalam dua dekade ini, menurut Pardede, sangat cepat. "Tapi teknologi itu bisa dibeli kalau ada uang," ujar Pardede lagi. Dana yang besar belum menjamin suatu kantor berita akan berkembang dengan baik. Kantor berita negara petrodolar, OPECNA misalnya, ternyata juga sulit berkembang walau dana yang disediakan anggota cukup banyak. "Ternyata, tugas itu tidak gampang," ujar pemimpin OPECNA, Conzalo Plaza, yang memulai operasinya sejak November 1980. Kantor berita OPECNA yang dipimpinnya itu, menurut Plaza, masih jauh terkebelakang - bahkan primitif - bila dibandingkan dengan UPI, AP, Reuter, atau AFP. Peliputan beritanya masih tergantung pada kantor-kantor berita negara anggota, seperti Antara dari Indonesia. Akibatnya, OPECNA tidak lebih dari sekadar humas bagi organisasi negara-negara penghasil minyak itu. Satu lagi penyebab sulitnya pers di Dunia Ketiga berkembang seperti ditudingkan pers Barat adalah "mereka umumnya dikontrol pemerintah dan hanya menawarkan propaganda resmi yang kurang dapat dipercaya." Alasan-alasan pembatasan kebebasan pers demi pembangunan dibantah Review. Mingguan yang terbit di Hong Kong itu memberi contoh Jepang yang menganut pers bebas, toh pemberitaannya tidak mengurangi pertumbuhan ekonominya, bahkan mengalami kemajuan pesat, sejak Perang Dunia II. Kurangnya kebebasan pers di negara berkembang juga dibuktikan kubu Barat dengan pengusiran wartawan dari berbagai negara Dunia Ketiga. Pada 1979, di Iran misalnya, sekitar 23 wartawan Barat diusir pemerintahan Khomeini. Tahun berikutnya, 100 wartawan lagi mengalami nasib yang sama. Di negara-negara ASEAN, pengusiran semacam itu pun tidak kurang. Wartawan Far Eastern Economic Review pernah diusir di Muangthai, dan dua orang lainnya ditangkap di Singapura. Di Indonesia, pengusiran semacam itu belum pernah terjadi. Yang pernah terjadi adalah wartawan ABC, Warwick Beutler, ditolak perpanjangan visanya oleh pemerintah pada 1980. Nasib yang sama dialami pula oleh wartawan Svdney Morning Herald, Peter Rodgers, pada tahun berkutnya. Dalam hal peliputan berita, Indonesia menganut prinsip keselarasan yang didefinisikan sebagai pers bertanggung jawab Konperensi Menteri Penerangan Nonblok sekarang ini, misalnya, disiarkan secara besar-besaran. Berbagai anggota delegasi - termasuk yang kurang serasi dengan Indonesia - bisa dicegat di bandar udara Halim Perdanakusumah. Namun, untuk berwawancara khusus, pihak panitia hanya mengizinkan delegasi-delegasi yang disiapkan. Konperensi juga tidak bisa dihadiri secara langsung oleh wartawan, tapi hasilnya dibagikan melalui balai wartawan yang disiapkan untuk melayani para kuli tinta itu. Selain itu, pers nasional diminta tidak menyiarkan peristiwa-peristiwa kriminal. "Agar menjaga citra Indonesia sebagai negara tenteram dan kerta raharja," ujar Direktur Bina Wartawan Dann Sahusilawane dalam pengarahannya kepada pers, pekan lalu. Walau begitu, pers Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, dinilai berbagai organisasi internasional jauh lebih bebas. Sidang Press Foundation of Asia pernah memuji itu. Belakangan, Konfederasi Wartawan Asia (CAJ) mengeluarkan pujian yang sama ketika melangsungkan sidang di Jakarta, Agustus 1983. Wartawan asing pun pernah merasa lebih bebas di Indonesia dibanding negara lain. "Indonesia barangkali merupakan negeri terbebas bagi pers asing di Asia Tenggara," puji David Jenkins, koresponden Review di Jakarta, 1978. Mungkin itu karena adanya asas keselarasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus