PERKARA penangkapan dan penahanan Brongkos Syaban, S.H., bekas kepala Dinas Pendapatan Daerah (kadispenda) Bogor yang dituduh korupsi, ternyata batal disidangkan prapengadilan di Pengadilan Negeri Bogor, pekan lalu. Ini karena istri tertuduh, Nyonya Neneng Hermawaty, mencabut surat kuasa untuk mengajukan prapengadilan yang pernah diberikan kepada O.C. Kaligis, pengacara. Perkara itu sendiri bermula dari manipulasi uang retribusi hasil alam, berupa pasir dan batu, sekaligus izin dispensasi. Menurut pengakuan kepala Tata Usaha Dispenda yang kini ditahan, Gojali, kepada pemeriksa kabarnya ia hanya memperkirakan bahwa uang yang diselewengkan itu senilai Rp 9,8 juta seminggu (TEMPO, 24 Desember 1983, Kriminalitas). Permainan itu sudah berjalan paling tidak sejak 1978. Karena itu, 8 Desember 1983, Brongkos Syaban, 45, diringkus di rumahnya oleh empat petugas yang mengaku dari Laksusda. Nyonya Neneng Hermawaty yakin bahwa suaminya ditahan di Kodim selama empat hari sebelum diserahkan kepada kejaksaan. Inilah salah satu alasan Kaligis membuat permohonan sidang prapengadilan. "Penangkapan itu dilakukan tanpa menunjukkan surat tugas maupun surat perintah penangkapan. Sedang tembusannya juga tidak diberikan kepada keluarganya," kata Kaligis. Menurut pengacara itu, hal itu melanggar ketentuan hukum acara (pasal 18 ayat 1 dan 3 KUHAP). Ia juga mempersoalkan penahanan oleh Laksusda dan kejaksaan. Juga tentang penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Laksusda tanpa izin pengadilan. Tapi, menurut sumber TEMPO, pihak kejaksaan sudah membuat surat penahanan, yang diserahkan langsung kepada Nyonya Neneng ketika ia menjenguk suaminya. Begitu pula Laksusda, mengaku sudah mempersiapkan surat perintah penangkapan, tapi "tak sempat memperlihatkan." Laksusda sendiri tidak merasa, "hanya meminta informasi," dan menilai bahwa selama pemeriksaan Bronkos "berbelit-belit dan tidak to the point." Bagi Nyonya Neneng, 32, dalam pencabutan surat kuasa itu sama sekali tidak ada paksaan. "Niat pertama saya adalah ingin menolong Bapak. Tapi, saya tidak tahu bahwa Bapak sudah menunjuk pengacara sendiri. Biar tidak terjadi bentrokan di antara dua pengacara itu, lebih baik saya mengalah," kata istri kedua Brongkos ini. Pengacara yang dimaksudkannya adalah Soeprapto. Hal ini merupakan hasil "musyawarah" dengan suaminya, seperti yang dikatakan Brongkos pada suratnya kepada Kaligis. Akan halnya Soeprapto itu Brongkos menunjuk kepada hasil permufakatan dengan "beberapa rekan yang samasama sebagai tersangka." Tapi tidak demikian halnya dengan Kaligis. Ia menuduh ada pihak tertentu yang menekan Nyonya Neneng, sehingga mencabut surat kuasa kepadanya. Pencabutan surat kuasa itu ditandatangani di atas meterai, 14 Januari 1984. Menurut Kaligis, ia menerimanya dua hari kemudian. Karena itu, sidang prapengadilan pertama, 18 Januari 1984, yang rencananya akan mendengar kesaksian Nyonya Neneng tentang pencabutan surat kuasa itu, batal - karena ia tidak hadir. Begitu pula sidang keesokan harinya. Malahan muncul surat pencabutan permintaan prapengadilan. Padahal, sebeumnya, "dia tidak pernah menyebutkan soal pencabutan ini - apa tidak aneh?" kata Kaligis, yang masih kerabat Nyonya Neneng. Perkara manipulasi di Dispenda Bogor ini menurut sumber TEMPO, baru akan diajukan ke pengadilan bulan depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini