Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI pertama kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia, Kamis dua pekan lalu, berjalan sesuai dengan agenda yang dijadwalkan Kantor Kepresidenan. Lawatan dimulai dengan menemui Yang Dipertuan Agung Raja Malaysia Abdul Halim Mu'adzam Shah di Istana Negara di Jalan Duta, Kuala Lumpur. Pada hari kedua setelah pertemuan kenegaraan dengan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak di Gedung Perdana Putra, Putrajaya, Joko Widodo dijadwalkan berkunjung ke pabrik otomotif Proton Holding Berhad di Shah Alam, Selangor.
Setelah berkeliling di kantor Proton, Jokowi diarahkan menuju pabrik. Dalam perjalanan ke pabrik itulah agenda "susupan" diselipkan. Jokowi diminta menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Presiden Direktur Proton Datuk Abdul Harith Abdullah dan perusahaan asal Indonesia, PT Adiperkasa Citra Lestari. PT Adiperkasa diwakili mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono, yang duduk di sana sebagai direktur utama.
Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan memastikan acara MOU itu tak ada dalam jadwal resmi yang disusun Sekretariat Negara dan kantornya. "Tidak ada rencana untuk itu," katanya kepada Tomi Aryanto dari Tempo, Senin pekan lalu.
Berlangsung hanya kurang dari sepuluh menit, acara teken-meneken MOU itu kemudian berbuntut panjang dan bergaung lebih lama di Tanah Air. Beragam reaksi muncul, antara lain soal kegiatan yang tak masuk agenda resmi dan kemunculan sosok Hendropriyono. Tapi yang paling ramai mengundang kontroversi adalah munculnya istilah mobil nasional. Dua kata tersebut tercantum pada banner yang menjadi latar acara.
Perdebatan pun muncul di berbagai forum dan media. Publik kembali diingatkan pada mimpi lama Indonesia memiliki mobil nasional. Sejak merdeka hingga kini, Indonesia belum juga punya mobil nasional dengan merek Indonesia dan dibuat di negeri sendiri. Indonesia jauh tertinggal dari negara sejawat, seperti Jepang, Korea Selatan, India, bahkan Iran atau Malaysia. Negara-negara itu sudah mampu memproduksi mobil "nasional" sendiri.
Komisaris Utama PT Adiperkasa Edi Yosfi mengakui acara yang mereka rancang tersebut memang tidak dikoordinasikan dengan penyusun agenda kenegaraan Presiden Jokowi. Menurut dia, Proton dan perusahaannya sengaja memanfaatkan kunjungan Jokowi yang diajak pemilik Proton sekaligus mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, berkeliling pabrik. "Sekalian saja kami minta beliau untuk mampir," ujar Edi, Kamis pekan lalu. Pernyataan berbeda keluar dari Hendro. "Sebelum berangkat ke Malaysia, kami bertiga sudah menghadap Pak Jokowi," katanya.
Setelah penandatanganan itu, Mahathir mempersilakan Jokowi mencoba produk terbaru Proton: mobil bermerek Iriz, yang berkapasitas mesin 1.200 cc. Mahathir sendiri yang mengemudikannya. "Beliau tampak gembira dengan apa yang beliau lihat dan alami," ucap Mahathir, seperti yang ditulis kantor berita Bernama. Dia mengklaim kerja sama itu merupakan hasil perbincangan antara Najib dan Jokowi.
Edi Yosfi mengatakan ia dan timnya tahu benar risiko yang akan muncul dan sorotan terhadap acara yang berlangsung kilat di pabrik Proton itu. Menurut dia, kehebohan muncul antara lain karena kedekatan Hendropriyono dengan Presiden Jokowi. Hendro dulu menjadi anggota Dewan Penasihat Pemenangan Joko Widodo saat pemilihan presiden. Juga tentang tulisan di spanduk soal rencana membangun proyek mobil nasional.
Dia maklum, publik Indonesia akan mengingat proyek serupa yang berulang kali didorong pemerintah pada masa Orde Baru. Yang paling kontroversial tentu saja mobil Timor, yang diimpor PT Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra, anak bungsu Soeharto, ketika itu masih Presiden Indonesia. Kendati dirakit 100 persen di Korea Selatan, mobil buatan KIA Motor Corps itu distempel sebagai mobil nasional. Timor menikmati fasilitas bebas bea masuk. Proyek ini kandas ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi pada 1997-1998.
Kehadiran Presiden Jokowi dalam acara itu pun mencuatkan dugaan pemerintah sedang menyiapkan rencana sejenis. Spekulasi yang mulai meluas itu buru-buru ditepis Menteri Perindustrian Saleh Husin. Dia memastikan pemerintah belum memiliki rencana menghidupkan proyek semacam itu. Kerja sama Proton dan Adiperkasa, kata dia, tidak sedikit pun melibatkan pemerintah. "Murni swasta dengan swasta," ujarnya.
Kembali dari lawatan kenegaraannya pada Selasa pekan lalu di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Presiden Jokowi menegaskan lagi hal ini. Kalaupun ada proyek seperti itu, Jokowi berjanji yang dikembangkan adalah mobil Esemka, yang dulu ia populerkan saat menjabat Wali Kota Solo, Jawa Tengah. "Tidak perlu diramaikan," katanya. Jokowi menilai kehadirannya dalam acara Proton dan Adiperkasa bukan peristiwa istimewa. "Itu wajar."
Hendropriyono satu suara dengan Jokowi. Kehadiran Jokowi ia samakan dengan kehadiran Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam kerja sama pembelian 230 unit pesawat antara Boeing dan Lion Air di Bali, empat tahun lalu. "Padahal itu membeli, sampai disaksikan Obama. Apalagi kami, yang akan membangun industri," tutur Hendro kepada Budi Setyarso dari Tempo.
Hendro menjamin kerja sama dengan Proton dibangun tanpa melibatkan uang negara. Ia mengklaim mendapatkan sindikasi pembiayaan dari lembaga keuangan luar negeri. Kerja sama itu nantinya dilaksanakan dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi, yang diawali dengan studi kelayakan selama enam bulan. Tujuan akhirnya adalah membuat Indonesia mampu memproduksi mobil sendiri. "Bangsa kita merdeka, tapi yang berseliweran masih mobil Barat dan Jepang," ujarnya memberi alasan. "Kerja sama ini bisa menyerap 6.000-an tenaga kerja."
MESKI kurang dikenal di antara para pebisnis otomotif, Edi Yosfi sama sekali tak asing di antara sejumlah petinggi partai dan politikus Tanah Air. Namanya pernah jadi pembicaraan luas ketika menjadi sahibulbait acara buka puasa bersama antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais sehabis pemilihan presiden 2009. Rumah mewahnya di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, dipinjam Dewan Pimpinan Pusat PAN untuk menjamu Yudhoyono, yang baru terpilih untuk kedua kalinya.
Hadir dalam acara tersebut sejumlah politikus dan mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, yang kala itu menjabat Presiden Komisaris PT Pertamina (Persero). Kedekatan Edi dengan elite politik memuluskan roda bisnisnya di industri tambang mineral, minyak, dan gas bumi. "Saya besar di Ambon. Sejak remaja, saya sudah berdagang," kata lelaki berdarah Minang ini.
Hubungan Edi dengan Proton terjalin dua tahun lalu saat ia sedang membantu mengurus PT Koba Tin, yang mayoritas sahamnya dikuasai Malaysia Smelting Corporation. Ketika itu Koba Tin jadi rebutan setelah kontrak karyanya tidak lagi diperpanjang oleh pemerintah Indonesia. Dari situlah Edi mengenal banyak pengusaha dan tokoh negeri jiran itu, termasuk Mahathir Mohamad, yang punya cita-cita menjadikan Proton sebagai "mobil ASEAN".
Pertemuan demi pertemuan digelar. "Sejak Januari-Februari dua tahun lalu mulai intensif bertemunya," ujar Edi bercerita. Dia tertarik pada proyek itu karena Proton berkomitmen untuk transfer teknologi. "Proton sudah melakukan riset bertahun-tahun."
Pada tahap awal, studi kelayakan dengan ongkos Rp 5 miliar akan dilakukan untuk mendaftar komponen apa saja yang sudah bisa diproduksi di Indonesia. "Kami ingin 100 persen komponen mobil berasal dari sini," ucapnya. Dia juga berjanji tak akan meminta insentif fiskal ke pemerintah, seperti halnya proyek Timor dulu.
Namun pernyataan Edi berbeda dengan Mahathir. Seperti dikutip Bernama, Mahathir menyiratkan perlunya "bantuan" pemerintah dalam proyek ini. "Apabila Anda masih bayi, Anda memerlukan seseorang untuk menjaga Anda," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo