Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nafsu Besar Dana Kurang

Cadangan modal tak cukup untuk menggenjot pembiayaan. Suntikan dana segar akan dipakai buat mengembangkan kredit berbasis digital.

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nafsu Besar Dana Kurang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBANDING sebelumnya, PT Bank Muamalat Indonesia Tbk tampaknya tak seagresif dulu lagi. Satu tahun terakhir ini, bank syariah pertama di Indonesia itu mulai mengerem kucuran pembiayaan. Tepatnya sejak Muamalat kesulitan menagih kredit fiktif PT Rockit Aldeway sebesar Rp 100 miliar pada tahun lalu.

"Banyak hal terjadi dalam pembiayaan," kata Komisaris Independen Bank Muamalat Iggi Haruman Achsien, Selasa pekan lalu. "Ada penagihan yang terlambat, ada juga tambahan pembiayaan baru yang tidak bagus." Sejak itu, Muamalat lebih selektif memilih sektor yang akan dibiayai.

Muamalat memang berhasil mengambil alih agunan dari Rockit sebesar Rp 93 miliar. Tapi upaya itu belum mampu menekan rasio kredit macet bruto yang pada semester pertama tahun ini mencapai 4,56 persen. Laporan eksposur risiko Muamalat Juni tahun ini mencatat tagihan pembiayaan kepada korporasi paling besar dibanding pembiayaan sektor lain, semisal perumahan, properti komersial, pembiayaan pegawai, serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Tagihan kepada korporasi membengkak hingga Rp 24,9 miliar. Total tagihan bersih mencapai Rp 58,5 miliar.

Anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, menyebutkan kondisi yang membelit Muamalat diperparah oleh kebijakan Otoritas Jasa Keuangan yang mencabut aturan relaksasi kredit pada akhir Agustus. Sejak dua tahun lalu, OJK memberlakukan pelonggaran restrukturisasi kredit lantaran membengkaknya rasio kredit macet semua perbankan. Salah satu penyebabnya: harga komoditas yang anjlok di pasar global sepanjang 2014. Setelah relaksasi dicabut, kriteria penetapan kredit macet semakin ketat dengan memperhitungkan kondisi industri, kemampuan perbankan, dan debitor.

Faktor ini, kata Iggi, bukan masalah utama yang membuat Bank Muamalat tertekan. Sejak tahun lalu, rasio cadangan modal Muamalat tak cukup untuk menggenjot bank lebih ekspansif menyalurkan kredit, apalagi mengembangkan bisnisnya. Otoritas Jasa Keuangan telah meminta tiga pemegang saham pengendali Muamalat, yaitu Islamic Development Bank (IDB), National Bank of Kuwait, dan Grup Sedco, menyuntikkan dana segar.

Inisiatif ini terpentok batas maksimal komposisi saham ketiganya yang jumlahnya mencapai 87,42 persen. Menurut Iggi, kepemilikan saham IDB sebesar 32,74 persen melebihi batas wajar 20 persen. Sedangkan bank asal Kuwait, termasuk Bank Boubyan, lebih berfokus berinvestasi di negaranya. Keduanya tak bisa menambah saham yang saat ini mencapai 30,45 persen. Adapun Grup Sedco harus membenahi portofolio keuangannya sehingga hanya mempertahankan 24,23 persen saham miliknya.

Direksi Bank Muamalat sebenarnya menunggu modal baru masuk sejak perusahaan ini limbung tiga tahun terakhir. Rasio kecukupan modal bank syariah ini hanya 12,7 persen pada akhir tahun lalu. Lembaga pemeringkat Pefindo melaporkan rasio kecukupan modal Muamalat sebelum diaudit per Maret 2017 sebesar 12,8 persen. Nilai ini di bawah standar rasio kecukupan modal yang sehat bagi perbankan sebesar 14 persen. "Mana mungkin dengan rasio itu kami tumbuh?" ujar Direktur Keuangan Bank Muamalat Hery Syafril. Itu sebabnya, kata Hery, Muamalat harus memenuhi rasio psikologis kecukupan modal. Apalagi bank harus memiliki penyangga ketika hal buruk terjadi.

Berdasarkan kalkulasi Hery, setiap Rp 1 triliun suntikan modal baru akan memberikan kemampuan bank untuk tumbuh hingga Rp 6 triliun. Modal tersebut akan digunakan sebagai tambahan aset dalam penyaluran pembiayaan baru. Dengan modal cukup, maka ongkos dana perbankan akan semakin rendah. Salah satu pejabat di Muamalat mengatakan tingkat kecukupan modal per awal Juli menyusut ke angka 11 persen. "Barangkali pada akhir tahun bisa 12,1 persen. Tapi sangat mepet," ujarnya.

Tanpa modal segar, Bank Muamalat harus melakukan restrukturisasi berkali-kali untuk memperbaiki biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang mencapai 97,7 persen pada Maret tahun ini. Kemampuan bank mengendalikan efisiensi tersebut memburuk dibanding pada Desember tahun lalu, yang berada di level 97,4 persen.

Upaya efisiensi dilakukan dengan menutup 120 kantor jaringan Muamalat setingkat kantor kas dan kantor cabang pembantu. Walhasil, akhir tahun lalu, Muamalat mampu menyisihkan sisa biaya operasional hingga Rp 300 miliar. Hery menargetkan tahun ini akan ada efisiensi Rp 150 miliar.

Hery membantah ada penarikan uang dalam jumlah besar (rush money) dalam situasi ini. Ia memastikan likuiditas perusahaan membaik ke level 85 persen.

Cekaknya keuangan Muamalat tecermin dari pergantian kantor akuntan publik yang berubah empat kali dalam waktu singkat. Muamalat juga tidak membagikan dividen kepada pemegang saham meski mencatat laba bersih Agustus 2017 sebesar Rp 43,44 miliar, dengan total aset Rp 58,2 triliun, kewajiban Rp 54,38 triliun, dan ekuitas Rp 3,8 triliun.

Rapat umum pemegang saham luar biasa Bank Muamalat pada 20 September tahun ini memutuskan peningkatan modal dasar perseroan hingga Rp 11 triliun melalui penerbitan saham baru sebanyak 80 miliar lembar saham. Sebagai pembeli siaga, PT Minna Padi Investama Sekuritas menargetkan pembelian 51 persen saham Muamalat dengan valuasi Rp 4,5 triliun.

Hery mengatakan dana segar ini akan ditempatkan sebagian ke dalam investasi jangka panjang, seperti surat berharga syariah negara atau sukuk. Bank juga akan memangkas semua transaksi konvensional dengan mengembangkan teknologi digital. Bekerja sama dengan perusahaan teknologi pembayaran (financial technology), pembukaan rekening baru hingga penyaluran kredit nantinya dapat dilakukan melalui satu aplikasi khusus tanpa bertatap muka. Jangkauan sektor pembiayaan akan diperluas dan tidak berfokus pada sektor korporasi.

Pengamat ekonomi syariah Adiwarman Karim mengatakan masuknya modal baru sebesar itu cukup untuk menyehatkan keuangan Muamalat. Ia optimistis, dengan memperbaiki manajemen, Muamalat mampu tumbuh hingga Rp 20 triliun. "Investor strategis harus memiliki rekam jejak mampu melakukan penyegaran meskipun dengan skala dan kompleksitas berbeda," kata Adiwarman Karim, yang menjabat Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia.

Head of Corporate and Strategic Planner PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk Harry N.P. Danardojo mengatakan, setelah perbaikan kinerja keuangan, Minna Padi yakin mampu meraup keuntungan dalam waktu dua tahun. "Kami ingin dalam waktu secepat mungkin bank ini bisa tumbuh," ujarnya. "Tapi yang lebih penting adalah menjaga likuiditas dan menggenjot portofolio pinjaman."

Bank Muamalat tidak sendiri. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Syakir Sula mengatakan empat bank umum syariah lain berupaya tumbuh dengan kucuran modal baru, di antaranya PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia Syariah, dan PT Bank Negara Indonesia Syariah. Selain tambahan modal, strategi lain yang diperlukan oleh bank syariah adalah perbaikan kualitas manajemen. "Direksi harus banker dan paham syariah."

Putri Adityowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus