Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Obligasi Samurai Makin Ramai

Ekspor Jepang yang kuat menyebabkan neraca pembayaran meningkat. Surplus diseimbangkan dengan memanfaatkan obligasi pemerintah negara lain dan lembaga internasional. Perdagangan obligasi berlipat. (eb)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKSPOR Jepang masih terus kuat. Rekeningnya yang berjalan (current account) pada bulan Juni saja mencapai surplus $2,33 milyar, meningkat secara tajam dari $739 juta pada bulan sebelumnya. Ketika ini disiarkan oleh Tokyo minggu lalu, segera setelah berakhir KTT 7 negara kaya di Bonn, orang ramai menyangsikan bahwa surplus Jepang akan bisa dikurangi. Padahal PM Takeo Fukuda barusan saja berjanji di Bonn itu untuk mengusahakan agar surplus itu, yang mencapai $14 milyar lebih dari tahun 1977, supaya mengecil dimasa depan. Bagaimana? Sudah pasti Jepang tidak kelihatan akan mengurangi ekspor hasil industrinya. Tapi salah satu cara mengurangi surplus itu, kata PM Fukuda pada pers kemudian di Brussel ialah dengan menggalakkan ekspor Yen, melalui investasi modal Jepang di luar negeri dan pengambangan obligasi oleh pemerintah asing di pasar modal Tokyo. Baru-baru ini terjual di Tokyo itu kertas pinjaman RI sebesar 10 milyar Yen (hampir $50 juta) yang disebut oleh pemerintah Jepang sebagai obligasi Samurai. Dengan masuknya pemerintah RI, pasar modal Tokyo secara pelan berkembang menandingi pasar modal yang sudah lama maju di Eropa dan AS. Ada beberapa faktor yang membantu Tokyo menjadi pasar modal yang penting: Kacaunya pasar uang dunia dengan merosotnya nilai dollar dan pound belakangan ini menyebabkan jumlah pihak luar pemegang yen makin bertambah. Jumlah rekening bank dalam Yen milik pihak bukan-Jepang sudah mencapai rekor senilai US$5 milyar. Dan Yen kini paling ramai diperdagangkan di pasar uang dan bank terkemuka di dunia. Ekspor Jepang yang masih terus kuat, walaupun ada apresiasi Yen, membuat surplus neraca pembayarannya akan terus membubung. Apapun yang akan dilakukan Jepang dalam impornya, surplus ini tak akan bisa ditekan. Konsekwensi logisnya adalah bahwa Jepang harus meningkatkan ekspor modalnya sebagai cara untuk menyeimbangkan neraca pembayarannya. Pihak bank dan perusahaan Jepang yang mempunyai likwiditas Yen menengok keluar negeri sebagai tempat penyaluran, karena permintaan kredit Yen di dalam negeri sudah jenuh. Laporan Bank Mitsubishi menunjukkan bahwa kwartal satu tahun ini permintaan kredit Yen turun dengan 7,4%. Permintaan kredit untuk aktiva tetap memang naik dengan 10,9%, tapi kredit untuk modal kerja menciut dengan 52%. Logislah kalau makin banyak pemerintah negara lain dan organisasi internasional datang ke Tokyo untuk menggali Yen yang memang tengah mencari mangsa. Obligasi yang sudah terjual di Tokyo tahun ini sudah mencapai rekor 1 trilion Yen, dua kali jumlah yang terjual selama tujuh tahun (1970-1977), dan tiga kali lipat jumlah yang terjual tahun lalu. Memang ini masih lebih rendah dari obligasi Eurodollar yang sudah mencapai $18 milyar, tapi perbedaannya makin mengecil, dan bahkan kini mendekati obligasi "Yankee", rekannya dari AS yang sudah laku $7,5 milyar. Pikir Dua Kali Daya tarik obligasi Yen memang ada: bunganya rata-rata lebih rendah dari bunga pinjaman Eurodollar dan dengan makin naiknya kurs Yen, si peminjam punya kesempatan untuk mendapat untung dalam kurs. Situasi politik Jepang yang stabil, lembaga keuangan yang cepat dan efisien serta komunikasi yang lancar -- itu pun merupakan daya tarik Tokyo sebagai pasar modal. Sekarang ini transaksi obligasi Samurai oleh pemerintah Jepang masih dibatasi pada pinjarnan pemerintah negara lain dan lembaga internasional. Sektor swasta asing belum diperkenankan memanfaatkan obligas, Samurai ini. Tapi dengan ramainya pasaran ini bukan tak mungkin dalam waktu dekat pemerintahan Jepang juga akan membuka pintu bagi perusahaan swasta. Pinjaman pemerintah Indonesia yang hanya 10 milyar Yen itu ternyata merupakan jumlah yang terkecil. Brazil, misalnya, sebelumnya menjual obligasinya 30 milyar Yen dan dengan bunga yang lebih rendah pula, yaitu 6,5%, dibanding dengan 7,5% yang musti dibayar Indonesia. Agustus ini Denmark akan menjual obligasinya 40 milyar Yen dan Selandia Baru akan menjual 50 milyar Yen. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia merupakan langganan tetap pada obligasi Yen ini. Bulan lalu Bank Pembangunan Asia menjual 15 milyar Yen untuk 15 tahun. Bank Dunia yang berambisi melipat gandakan pinjamannya dalam panca-warsa ini datang ke Tokyo dengan tawaran obligasi yang paling besar yang pernah terjadi 75 milyar Yen untuk 15 tahun dengan bunga 6,5%. Satu bisnis yang lumayan bagi Nomura Securities Co. yang menyalurkan penjualan obligasinya. Namun ada juga beberapa pihak yang berpikir dua kali sebelum menjual obligasi dalam Yen. Kalau nilai Yen terus naik maka pembayaran bunga dan pokoknya yang musti dilakukan dengan Yen akan terasa berat terutama bagi negara yang mata uangnya dikaitkan dengan dollar. Bagi Indonesia, apabila nilai Yen terus naik terhadap dollar maka pembayaran bunga akan lebih mahal, berarti jumlah rupiah atau dollar yang lebih banyak yang musti dibayarkan. Inilah sebabnya dua negara, Spanyol dan Meksiko, yang sudah merencanakan menjual obligasi dalam Yen di Tokyo baru-baru ini memutuskan untuk mengundurkan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus