Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Vihara Itu Ditutup. Kenapa ?

Kejaksaan negeri bogor menutup dan menyita alat-alat ibadah Vihara Vajra Bodhi. Ajaran Budha Mahayana dari Bikkhu Surya Karma Chandra dilarang. Aliran ini tidak menerima doktrin sang hyang adi Budha.(ag)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH vihara di ~Bogor ditutup oleh pihak Kejaksaan. Vihara Vajra Bodhi, dibangun sejak Nopember 1977 di tanah sekitar 700 mÿFD di Jalan Raya Pajajaran (dengan biaya tak kurang dari Rp 40 juta), 21 Juli kemarin dinyatakan disita. Sedang ajaran Budha Mahayana seperti diberikan Bikkhu Surya Karma Chandra, pemrakarsa biara tersebut, dinyatakan dilarang. Tindakan Kejaksaan Negeri Bogor ini langkah lanjut dari yang telah dilakukannya 6 Juli sebelumnya. Yakni menangguhkan upacara pembukaan yang sedianya akan dilakukan tan~ggal 9 Juli -- sementara sudah datang pula biksu-biksu dari Hongkong, Taiwan dan Muangthai sebagai tamu. Alasan penundaan vihara tersebut "ternyata tidak mendapat dukungan dan mendapat reaksi dari masyarakat setempat" -- setelah mendengar antara lain saran-saran dari pihak Pakem Dati II Bogor serta Muspida. Adakah ini hanya kisah lanjutan dari pertentangan aliran di kalangan Budhis Indonesia? Pertimbangan Kepala Kejaksaan Negeri Bogor dalam surat keputusan yang kedua, yang memuat perintah penutupan gedung dan penyitaan alat-alat ibadah, memperjelas hal-hal yang menyangkut perbedaan theologis itu. Yang terpenting: dituliskan bahwa Sangha Agung Indonesia, majelis tertinggi para biksu berpendapat baha Bikkhu Surya tersebut "tidak menerima doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa". Kajari Bogor, Alfian Husin SH, menambahkan kepada Klarawijaya dari TEMPO bahwa di vihara itu ternyata patung Budha diletakkan di bawah patung lain -- dan yang dimaksudnya adalah patung Awalokiteshwara alias Kwan Im, yang lebih sepuluh kali lebih besar dari patung Budha sendiri. Menurut yang didengar Kajari, hal seperti itu "bisa menimbulkan keresahan di kalangan umat Budha di Bogor." Vihara Dhanagun Entah benar entah tidak, kecurigaan masih diperpanjang. Masih ada alasan lain, yang tertulis: bentuk vihara maupun susunan altarnya lebih banyak menonjolkan unsur "Cina"nya. Dikuatirkan pula, bangunan tersebut "akan dipakai kegiatan-kegiatan lain". Secara lisan Kajari menuturkan: di situ terdapat "pemusatan pemuda-pemuda" untuk latihan kungfu. Tetapi yang sebenarnya bisa dianggap paling penting tak lain adanya pernyataan dari Yayasan Dhanagun Bogor, tentang "pernyataan umat Budhis Bogor" -- yang keberatan terhadap didirikannya vihara tersebut. Syahdan, di Bogor memang sudah terdapat vihara Metta Karuna Maitreya, Vihara Buddhasena dan Vihara Cetya Dhanagun. Yang terakhir ini berada di bawah Yayasan Dhanagun yang menyatakan keberatan tadi, dan dikenal banyak orang sebagai bio alias kelenteng (Cina), meskipun bukan Konghucu. Bagaimana sebenarnya pendapat orang-orang di sana tentang Vihara Vajra Bodhi yang dilarang itu? "Dalam agama Budha, segalanya tergantung pribadi masing-masing," ucap Upasaka Sucittavimala dari Vihara Buddhasena. Bagaimana soal komposisi patung-patung? "Itu hanya soal etik. Kalau kita cenderung memuja kuat Dewi Awalokiteshwara, kita bikin yang paling besar tidak apa-apa." Itu memang penting. Di Vihara-vihara Cetya Dhanagun maupun Buddhasena, memang patung Budha paling kelihatan dari yang lain-lain. Tetapi di Vihara Metta Karuna Maitreya, archa Budha dan lain-lainnya sebenarnya tampak sama penting. Lagi pula seperti diucapkan Tan Jit-kian dari biara yang sedang dipersoalkan, di atas patung Awalokita sebenarnya akan ada patung Budha lain, dalam bentuk kecil, hanya saja belum jadi. Sangha Agung Indonesia Maka berkatalah Oka Diputhera, Direktur Bimbingan Masyarakat Budha pada Dirjen Bimas Hindu & Budha Departemen Agama (yang justru menjadi ketua panitia peresmian vihara tersebut) bahwa "Kalau dikatakan bahwa umat Budha di Bogor tidak setuju, kita bisa memberikan rekomendasi dari segenap aliran agama Budha di kota itu, kecuali yang melapor kepada Kejaksaan itu." Yang dimaksudkannya dengan sang pelapor adalah Yayasan Dhanagun. Maka terhadap keputusan Kejaksaan Bogor itu, pejabat tinggi Dep. Agama ini menyatakan frustrasinya. "Saya sendiri geregetan, sedih dan kecewa," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO, "kok bisa terjadi hal itu." Tetapi bukankah Yayasan Dhanagun itu di bawah Bikkhu Ashin Jinarakkhita, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia (SAI) -- yang justru dibentuk dengan kebijaksanaan Departemen Agama? Dan lebih membingungkan, bukankah yang akan meresmikan biara tersebut adalah Bikku Girirakkhito, yang juga salahseorang pimpinan SAI? Masalahnya, memang terdapat bermacam aliran Budhisme di Indonesia tidak terkecuali di dalam SAI sendiri. Terpenting: konsep Tuhan YME yang dinamakan 'Sang Hyang Adi Budha', yang dicanangkan Jinarakkhita (sekarang Ketua Umum SAI), sangat asing bagi aliran lain -- yang lantas dituduh oleh kalangan Jinarakkhita sebagai "tidak mengakui Tuhan". (TEMPO 11 Maret 1972). Adapun Bhikku Girirakkhito misalnya, dulu berasal dari salah-satu kalangan lawan Jinarakkhita pula -- sebelum "dipersatukan" oleh Departemen Agama. Perbedaan semacam itu memang boleh melatarbelakangi perpecahan -- di samping, kata orang, masalah persaingan jumlah jemaat (lihat box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus