SEBUAH vihara di ~Bogor ditutup oleh pihak Kejaksaan. Vihara
Vajra Bodhi, dibangun sejak Nopember 1977 di tanah sekitar
700 mÿFD di Jalan Raya Pajajaran (dengan biaya tak kurang dari
Rp 40 juta), 21 Juli kemarin dinyatakan disita. Sedang
ajaran Budha Mahayana seperti diberikan Bikkhu Surya Karma
Chandra, pemrakarsa biara tersebut, dinyatakan dilarang.
Tindakan Kejaksaan Negeri Bogor ini langkah lanjut dari yang
telah dilakukannya 6 Juli sebelumnya. Yakni menangguhkan
upacara pembukaan yang sedianya akan dilakukan tan~ggal 9 Juli
-- sementara sudah datang pula biksu-biksu dari Hongkong,
Taiwan dan Muangthai sebagai tamu.
Alasan penundaan vihara tersebut "ternyata tidak mendapat
dukungan dan mendapat reaksi dari masyarakat setempat" --
setelah mendengar antara lain saran-saran dari pihak Pakem Dati
II Bogor serta Muspida.
Adakah ini hanya kisah lanjutan dari pertentangan aliran di
kalangan Budhis Indonesia? Pertimbangan Kepala Kejaksaan Negeri
Bogor dalam surat keputusan yang kedua, yang memuat perintah
penutupan gedung dan penyitaan alat-alat ibadah, memperjelas
hal-hal yang menyangkut perbedaan theologis itu.
Yang terpenting: dituliskan bahwa Sangha Agung Indonesia,
majelis tertinggi para biksu berpendapat baha Bikkhu Surya
tersebut "tidak menerima doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa".
Kajari Bogor, Alfian Husin SH, menambahkan kepada Klarawijaya
dari TEMPO bahwa di vihara itu ternyata patung Budha diletakkan
di bawah patung lain -- dan yang dimaksudnya adalah patung
Awalokiteshwara alias Kwan Im, yang lebih sepuluh kali lebih
besar dari patung Budha sendiri. Menurut yang didengar Kajari,
hal seperti itu "bisa menimbulkan keresahan di kalangan umat
Budha di Bogor."
Vihara Dhanagun
Entah benar entah tidak, kecurigaan masih diperpanjang. Masih
ada alasan lain, yang tertulis: bentuk vihara maupun susunan
altarnya lebih banyak menonjolkan unsur "Cina"nya. Dikuatirkan
pula, bangunan tersebut "akan dipakai kegiatan-kegiatan lain".
Secara lisan Kajari menuturkan: di situ terdapat "pemusatan
pemuda-pemuda" untuk latihan kungfu.
Tetapi yang sebenarnya bisa dianggap paling penting tak lain
adanya pernyataan dari Yayasan Dhanagun Bogor, tentang
"pernyataan umat Budhis Bogor" -- yang keberatan terhadap
didirikannya vihara tersebut.
Syahdan, di Bogor memang sudah terdapat vihara Metta Karuna
Maitreya, Vihara Buddhasena dan Vihara Cetya Dhanagun. Yang
terakhir ini berada di bawah Yayasan Dhanagun yang menyatakan
keberatan tadi, dan dikenal banyak orang sebagai bio alias
kelenteng (Cina), meskipun bukan Konghucu.
Bagaimana sebenarnya pendapat orang-orang di sana tentang Vihara
Vajra Bodhi yang dilarang itu?
"Dalam agama Budha, segalanya tergantung pribadi masing-masing,"
ucap Upasaka Sucittavimala dari Vihara Buddhasena. Bagaimana
soal komposisi patung-patung? "Itu hanya soal etik. Kalau kita
cenderung memuja kuat Dewi Awalokiteshwara, kita bikin yang
paling besar tidak apa-apa."
Itu memang penting. Di Vihara-vihara Cetya Dhanagun maupun
Buddhasena, memang patung Budha paling kelihatan dari yang
lain-lain. Tetapi di Vihara Metta Karuna Maitreya, archa Budha
dan lain-lainnya sebenarnya tampak sama penting. Lagi pula
seperti diucapkan Tan Jit-kian dari biara yang sedang
dipersoalkan, di atas patung Awalokita sebenarnya akan ada
patung Budha lain, dalam bentuk kecil, hanya saja belum jadi.
Sangha Agung Indonesia
Maka berkatalah Oka Diputhera, Direktur Bimbingan Masyarakat
Budha pada Dirjen Bimas Hindu & Budha Departemen Agama (yang
justru menjadi ketua panitia peresmian vihara tersebut) bahwa
"Kalau dikatakan bahwa umat Budha di Bogor tidak setuju, kita
bisa memberikan rekomendasi dari segenap aliran agama Budha di
kota itu, kecuali yang melapor kepada Kejaksaan itu." Yang
dimaksudkannya dengan sang pelapor adalah Yayasan Dhanagun.
Maka terhadap keputusan Kejaksaan Bogor itu, pejabat tinggi Dep.
Agama ini menyatakan frustrasinya. "Saya sendiri geregetan,
sedih dan kecewa," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO,
"kok bisa terjadi hal itu."
Tetapi bukankah Yayasan Dhanagun itu di bawah Bikkhu Ashin
Jinarakkhita, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia (SAI) -- yang
justru dibentuk dengan kebijaksanaan Departemen Agama? Dan lebih
membingungkan, bukankah yang akan meresmikan biara tersebut
adalah Bikku Girirakkhito, yang juga salahseorang pimpinan SAI?
Masalahnya, memang terdapat bermacam aliran Budhisme di
Indonesia tidak terkecuali di dalam SAI sendiri. Terpenting:
konsep Tuhan YME yang dinamakan 'Sang Hyang Adi Budha', yang
dicanangkan Jinarakkhita (sekarang Ketua Umum SAI), sangat asing
bagi aliran lain -- yang lantas dituduh oleh kalangan
Jinarakkhita sebagai "tidak mengakui Tuhan". (TEMPO 11 Maret
1972). Adapun Bhikku Girirakkhito misalnya, dulu berasal dari
salah-satu kalangan lawan Jinarakkhita pula -- sebelum
"dipersatukan" oleh Departemen Agama. Perbedaan semacam itu
memang boleh melatarbelakangi perpecahan -- di samping, kata
orang, masalah persaingan jumlah jemaat (lihat box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini