Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Laode Ida mengungkapkan dalam sebulan terakhir pihaknya menerima banyak sekali laporan dari masyarakat soal lonjakan tagihan listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laode mencontohkan, salah satu keluhan datang dari pelanggan PLN yang tinggal di kawasan Depok, Jawa Barat. Pelanggan itu keberatan ketika tahu tagihan listriknya melonjak secara bombastis. "Memang ada beberapa kasus lonjakan tagihannya bisa mencapai 2.000 persen," kata dia kepada Tempo, Kamis 18 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia lalu menjelaskan, bahwa mula-mula pelanggan itu menceritakan bahwa tagihan normalnya hanya berkisar Rp 120 ribu sampai Rp 130 ribu sebulan. Namun, orang itu terkejut karena tagihan listriknya bulan Juni ini mencapai hingga Rp 2,7 juta.
"Kasus di Depok yang pernah datang ke kantor PLN Depok memprotes salah satunya menunjukkan data tagihan Rp 2,7 juta-an untuk bulan Juni ini," ucapnya.
Laode pun meminta penjelasan dari salah satu direksi PLN kenapa tagihan itu bisa melonjak bisa sangat signifikan. PLN lantas menjelaskan bahwa lonjakan tagihan listrik pelanggan asal Depok itu terjadi karena petugas pencatatan lapangan tak menghitung berdasarkan penggunaan kWh meternya.
Petugas tak menghitung langsung karena tak bisa masuk ke dalam lingkungan rumah tempat melihat meteran itu karena ada anjing. "Jadi enggak bisa masuk petugas listrik itu," kata Laode sambil menirukan penjelasan direksi PLN.
Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, Laode menuturkan, bahwa pelanggan PLN di Depok tersebut sebelumnya membayar tagihan listrik tak sesuai dengan penggunaan daya yang sebenarnya. Karena tidak dilakukan pencatatan dengan benar, tagihan listrik pelanggan tersebut terakumulasi di Juni ini menjadi Rp 2,7 juta.
"Informasi ini tentu kami percaya sementara, karena informasi langsung diberikan oleh salah satu direktur PLN kepada kami tiga hari lalu," ucap Laode.
Ada juga kasus tagihan listrik yang melonjak dari normalnya cuma Rp 2 juta sebulan menjadi Rp 20 juta atau naik 1.000 persen. Kasus ini terjadi oleh tukang las di Malang, Jawa Timur.
Setelah dikonfirmasi, kata Laode, PLN lalu menjelaskan sebab tagihan listrik konsumen asal Malang itu naik karena adanya kerusakan alat milik pengusaha las tersebut. Alat yang dimaksud adalah kapasitor untuk mengompensasi penggunaan listrik dari alat las. "PLN tidak mengada-ada."
Sebelumnya Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini menyatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan tera ulang meteran pelanggan untuk memastikan keakuratan pencatatan tagihan. Sesuai Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2014, tera ulang dilakukan untuk kWh meter yang berusia diatas 15 tahun.
"Dari data kami menunjukkan per 15 Juni 2020, sebanyak 7,7 juta meter tua telah diganti, sisanya yakni sebanyak 8,3 juta meter tua sedang dalam proses," kata Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini melalui keterangan tertulis, Rabu 17 Juni 2020.
Berdasarkan analisa perseroan, Zulkifli menyebut, penggantian unit berusia di atas 15 tahun lebih efisien dibandingkan dengan tera ulang terhadap kWh meter. Di mana semua meter sebelum dipasang 100 persen peneraan dilakukan oleh badan metrologi dan diberikan segel, kemudian diberikan tes akurasi sebelum serah terima ke unit-unit sesuai SPLN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2018, dalam hal tera ulang terhadap KWh meter, pengujian dapat dilakukan dengan uji sampel guna meningkatkan akurasi pembacaan penggunaan listrik pelanggan. "PLN pun sudah mengikuti peraturan yang berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Permendag tersebut untuk melakukan pembaruan meteran," ucapnya.