ENAM minggu lagi ke-13 negara penghasil minyak OPEC akan kembali bersidang di Jenewa. Apakah pada saat itu kuota produksi total mereka akan mendekati 19 juta barel sehari, dan harga patokan Arabian Light Crude (ALC) di pasaran spot (tunai) akan menyamai harga resminya yang 29 dolar masih harus dilihat. Tapi sehari setelah sidang istimewa OPEC di Jenewa, lebih dari sepekan lalu, yang berakhir 31 Oktober, harga minyak di pasaran spot tampak mulai merangkak pelan, naik beberapa sen dolar. Sampai 2 November lalu, di pasaran spot Eropa, harga jenis Arabian Light tercatat US$ 28,05-28,35 per barel, Arabian Heavy US$ 26,55-26,60, sedang jenis Bonny punya Nigeria mencapai US$ 27,75-28,15 per harel. Lalu jenis Brent dari Inggris bertengger antara US$ 27,85 dan US$ 28,10 per barel. Dua pekan sebelumnya harga spot itu anjlok hingga paling rendah US$ 26 per barel untuk Brent, dan paling tinggi US$ 27,75 untuk jenis (ALC). Potongan kuota produksi total sebanyak 1,5 juta barel, menjadi 16 juta barel sehari sesuai dengan keputusan OPEC untuk bertahan pada harga patokan 29 dolar -terbesar ditanggung Arab Saudi, sebanyak 647.000 barel. Itu dipandang sebagai upaya yang paling baik saat ini untuk menopang jatuhnya harga minyak lebih jauh. Sheik Zaki Yamani, dalam konperensi pers di Jenewa pekan lalu, sudah menyatakan tekad Arab Saudi untuk mati-matian mempertahankan harga patokan ALC yang 29 dolar. "Kami akan berbuat apa saja untuk itu," katanya. Gertak sambal? Banyak pengamat di dunia industri tidak yakin benar apakah Arab Saudi sebagai swing producer, yang pernah menggenjot produksi minyaknya sampai di atas 10 juta barel, akan bersedia berkorban sebanyak itu. Sebab, saat ini, mereka harus membatasi produksinya hingga sekitar 4,3 juta barel sehari, dari kuota sebelumnya yang sekitar 5 juta barel. Namun, sebuah teleks yang dikirim Aramco, perusahaan minyak negara Arab Saudi, 2 November lalu, seperti direkam Petroflash, media elektronik yang dikeluarkan penerbit Petroleum Intelligenee Weekly, menunjukkan bahwa Arab Saudi siap membanting produksinya dengan 800.000 barel sehari selama bulan ini. Kepada para langganannya, Aramco memperingatkan agar mengurangi pembellan mmyak sejalan dengan penurunan kuota Arab Saudi. Sedang kontrak yang sudah mereka lakukan untuk bulan November diminta agar ditinjau kembali. Menteri perminyakan Kuwait Ali Khalifa Al-Sabah, sehari setelah sidang istimewa di Jenewa, mengatakan telah menginstruksikan para pejabat pemasaran di negerinya agar, di samping mengurangi produksi minyaknya dengan 150.000 barel (14,5%) sehari, menyetop semua penjualan di pasaran spot. Instruksi itu, menurut Al-Sabah, juga berlaku untuk mengurangi jumlah minyak mentah yang dikilang di berbagai perusahaan pengilangan milik Emirat Kuwait. Semua itu, katanya, "Mulai berlaku 1 November ini juga." Bagaimana dengan Nigeria, yang sampai sekarang tetap bersikeras memasang harga resmi jenis Bonny 28 dolar, mengikuti jejak Inggris dan Norwegia? "Kami memang membiarkan adanya dua harga resmi, seperti dilakukan oleh Nigeria," kata Menteri Subroto. Berbicara selaku ketua OPEC, Subroto merasa yakin bahwa harga spot akan naik, yang akan menggerakkan Nigeria untuk kembali menaikkan harga resminya. Sikap Nigeria yang agak panik itu rupanya dibiarkan oleh rekan-rekan OPEC lainnya, mengingat 96% dari devisa negeri yang dihuni sekitar 100 juta manusia itu datang dan ekspor minyak. Tapl OPEC dengan sangat meminta Nigeria, yang diwakili Menteri Tam David West, agar tunduk pada kuota 1,3 juta barel, dan tidak lagi berproduksi sebanyak 1,45 juta barel, sebagaimana diizinkan OPEC pertengahan tahun silam. Tapi yang paling simpatik adalah sikap Mesir dan Meksiko. Kedua negeri nonOPEC itu, yang mengirim utusannya di Jenewa, ikut bersepakat untuk tidak menaikkan harga, dan masing-masing siap mengurangi produksinya dengan 30.000 dan 100.000 barel sehari. Bahkan, Mesir, yang diwakili Menteri Perminyakan dan Mineral Abdel Hadi Kandil, mengatakan sudah melakukannya sejak awal November lalu. OPEC sendiri, seperti dikatakan Subroto, tidak tertarik untuk membuat harga minyak naik sampai 30 dolar di pasaran spot. Tapi ingin mengembalikan harga pada 29 dolar. Kalaupun harga akan naik di atas itu, OPEC akan menambah suplainya di pasaran, yang kini dikekang, sehingga harga spot dan resmi ALC akan tetap pada tingkat 29 dolar di akhir kuartal keempat. Produksi total OPEC sendiri di bulan Oktober berkisar pada angka 17 juta barel. Perkiraan yang dilakukan OPEC untuk kuartal keempat tahun ini sesuai dengan perkiraan dari Badan Energi Internasional (IEA) yang bermarkas di Paris, dan beberapa konsultan tersohor, seperti Arthur D. Little. Optimisme itu, antara lain, didasarkan pada perkiraan persediaan yang kini dimiliki 24 negara industri anggota OECD (di luar blok Rusia), yang rata-rata cukup untuk 75 hari. Kalaupun mereka melemparkan sebagian persedlaan minyaknya ke pasaran, untuk menekan harga, jumlahnya menurut Subroto adalah "minimum". Terutama menjelang musim dingin, mereka butuh persediaan yang lebih lama dari 75 hari. Sementara itu, produksi Inggris yang sekitar 2,7 juta barel dan Norwegia dengan 600 ribu barel sehari dipandang sudah mencapai tingkat maksimum. Kalau semua perkiraaan menunjukkan bahwa angin baik berada di sisi OPEC, paling tidak sampai sidang reguler 19 Desember nanti, menjadi pertanyaan: Apa efeknya bagi Indonesia yang terkena pemotongan 111 ribu barel selama dua bulan ini? Menteri Keuangan Radius Prawiro, dalam jumpa pers di Jakarta sehari setelah usainya sidang istimewa OPEC, menghitung penerimaan devisa akan berkurang dengan US$ 196 juta. "Berarti pengurangan 1,4% dari penerimaan devisa ekspor minyak bumi dan gas alam, atau pengurangan 1% dari penerimaan devisa seluruh ekspor tahun 1984-1985," katanya. Kekurangan yang US$ 196 juta itu akan teratasi kalau keadaan pasaran minyak membaik seperti diinginkan OPEC, sehingga Indonesia bisa melakukan semacam rapel atas produksinya yang dipotong. Tapi kalau ternyata nanti musim dingin itu lunak di Eropa dan Jepang, dan sempat mengacaukan skenario OPEC, dari mana kekurangan, yang sungguhpun kecil dalam persentase, akan ditutup? Yang pasti, menurut Radius, bukan dari tambahan utang luar negeri. Juga, tentunya, bukan dengan cara menaikkan harga BBM, yang pasti akan menendang harga kebutuhan pokok ke atas, dan menyulut suhu Inflasi. Lalu dari mana? Seorang pejabat minyak menunjuk kondensat, yang menurut ketentuan OPEC tidak dimasukkan sebagai minyak mentah. Adapun produksi kondensat Indonesia, yang cukup laku di luar negeri, terakhir kabarnya sudah di atas 100.000 barel. Dan itu, menurut sebuah sumber minyak, bisa saja dinaikkan 130-150 ribu barel sehari. Agaknya, yang perlu diperhatikan dari sekarang adalah saat Indonesia mulai memasuki tahun anggaran baru 1985-1986, yang jatuh bersamaan dengan awal musim panas di negara konsumen minyak. Bukan mustahil di saat seperti itu negara industri mulai gemar melepaskan cadangan minyaknya, untuk mendorong harga minyak kembali ke bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini