Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Terkenang Dakwah Para Wali

Kiai R.M. Suryoharyono, 67, bersama santrinya, Suraji dari pesantren pacalan, sarangan, mengubah terjemahan Al-Quran dalam tembang jawa. Ditembangkan pada acara MTQ ke-14 se-Jawa Timur. (ag)

10 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT Bani Israil itu mengalun ditingkah perangkat gamelan. Bentuknya tembang dandanggula, dibawakan oleh seorang santri dari pesantren Pacalan, Sarangan, Suradji Saputro namanya. Acaranya: penutupan MTQ ke-14 se-Jawa Timur, Sabtu dua pekan lalu di Pendopo Suryagraha, Magetan. "Saya agak keder, Mas. Lha wong bikinnya cuma semalam," ujar Suradji kepada TEMPO. R.M. Suryoharyono, kiai di pesantren Pacalan dan guru Suradji, sebenarnya sudah punya naskah yang sudah matang - berupa tembang al-Baqarah ayat 1-16, dengan gending dandanggula, pangkur, dan asmaradhana. dan digarap selama tiga bulan. Tapi panitia mendesak minta tembang al-Isra alias Bani Israil tadi, lantaran upacara dibuka dengan bagian itu. Usai dibawakan seorang qari, ayat-ayat asli itu disambut alunan gambang yang rengeng-rengeng merangkai tembang. Hadirin, sekitar 3.000 jumlahnya, yang meluap di halaman pendopo di alun-alun Magetan, seakan-akan terkunci mulutnya. "Hati saya trenyuh," kata Kiai Suryo. Di panggung tampak sang qari, yang menembang, dan seorang lagi yang menabuh gambang. Ketiga-tiganya bersila - mengenakan blangkon, surjan, lengkap dengan keris. Begitu dandanggula usai dan sang qari mengucap salam, hadirin berderai menyambutnya dengan keplok. "Yah, tapi 'kan yang dapat keplok tembangnya, bukan lafal Qurannya," komentar Kiai Suryo. Trimaryono, sekwilda Ja-Tim, yang mengetuai LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran) Ja-Tim lantas berkata, "Semua penafsiran ayat-ayat itu tetap disajikan secara utuh." LPTQ Ja-Tim sebelumnya telah menghubungi beberapa ulama untuk mimta pertimbangan, dan tembang itu mendapat restu. Malah semula ada pihak yang minta supaya diiringi seperangkat gamelan lengkap, tapi Kiai Suryo menolak. Dengan gemuruh gamelan, menurut perasaannya, tembang itu akan tenggelam. Sebermula seorang komandan Korem di Madiun, disertai bupati Magetan, bulan Ramadan yang lalu mengunjungi Kiai Suryo di pesantrennya yang terletak 11 km di sebelah barat Magetan. Pesantren Pacalan itu berada di sebuah bukit di lereng Gunung Lawu, dan konon cikal bakalnya seorang penyebar agama Islam bernama Kiai Kembang Sore. Desa Pacalan, di Kecamatan Plaosan itu, bupati pertamanya adalah Raden Tumenggung Poerwodiningrat, warga Kesultanan Mataram yang bermukim di sana dan menurunkan anak-cucunya, antara lain Kiai Suryo itu. Tak heran bila tradisi tembang dan gending Jawa masih terhitung tumbuh subur hingga kini. Kiai Suryo sendiri, 67, bertubuh kecil kurus dan ompong, di tahun 1936 mondok di pesantren Kiai Abu Amar, Jamsaren, Solo, dan lulus tsanawiyah di Al-Islam di kota itu juga. SDnya di HIS Surabaya. Pernah bekerja di bagian pendaftaran rakyat" untuk keturunan Belanda dan Cina di kantor Kota Madya Surabaya, 1942, kemudian jadi guru agama. Dan baru pada 1947 ia membenahi pesantren Kiai Kembang Sore yang wasiat itu. Santrinya saat ini sekitar 300 orang, putraputn dan anak-anak, berdatangan dari penjuru desa-desa sekitar. Sistem pendidikannya asli pesantren: tanpa jenjang kelas dan batas waktu, sedang pelajaran diambil dari kitab dengan metode sorogan. Sedangkan memainkan alat gamelan dan pelajaran tembang, "masih dalam penjajakan," tuturnya. Jangan lupa, Kiai juga menerjemahkan Quran ke dalam bahasa Jawa - sejak 1978 dan sudah menyelesaikan 27 juz. Kebetulan, ceritanya, kunjungan komandan Korem dan bupati tadi membuahkan ide. "Mereka kaget: kok masih ada kiai yang suka tembang," tutur Kiai yang menyimpan kitab Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV itu. Mereka lantas minta Wulangreh itu ditembangkan pada MTQ di Magetan. "Tapi. saya pikir. kenapa Wulangreh? Kenapa tidak Quran?" jawab Kiai Suryo - yang kontan menggarap terjemah Al-Baqarah yang sudah dikerjakannya itu menjadi tembang, bekerja sama dengan Suradji. "Saya teliti betul makna tiap baris dan bait tembang yang digarap santri saya itu," ujar Kiai. Agar makna ayat suci tak melenceng, ia mengambil referensi antara lain: tafsir-tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain. Lalu terjemahan Jawa, misalnya, Al-Huda karya Brigjen (pur.) Drs. H. Bakri Syahid dan karya Moehammad Djauzie. Bagaimana dengan terjemahan Ahmadiyah Lahore? "Itu Jawanya sukar dipahami. Terlampau halus," komentar Kiai Suryo. Kesulitan menggubahnya sebagai tembang: "Saya harus bisa menyusun satu bait tembang dari satu ayat," cerita Suradji, 32, yang mengaku petam gurem di desanya. "Paling tidak, dalam tiga tahun tembang Quran itu baru selesai seluruhnya," katanya optimistis. Untuk ayat-ayat yang panjang, Suradji menuangkannya dalam gending dandanggula. Yang pendek digubahnya dalam pangkur. "Jadi, enggak usah khawatir ada ayat terpenggal maknanya atau dilebihkan," katanya. Syarat tembang juga terpenuhi. Dengan itu semua, "Niat saya, bagaimana menciptakan tradisi takwa di masyarakat Jawa yang kebanyakan awam itu," tutur sang kiai. "Ingat, orang Jawa itu bila mendengar tembang dan alunan gambang, hatinya trenyuh, dan terasa hidupnya adem-ayem dan tentrem. Nah, marilah kita, sambil berdakwah, sekaligus beribadat secara massal." "Itu bagus sekali." Demikian komentar dr. Saleh Aljufri, ketua Lembaga Penerangan Laboratorium Islam Sunan Ampel, Surabaya, sebuah lembaga di lingkungan dakwah yang terhitung aktif. "Justru sekarang ini dakwah gaya Walisongo sangat penting." Dan tafsirnya itulah, atau terjemah, yang dalam laras tembang diusahakan terdengar pas. Ayat 9 Bani Israil itu, misalnya, biasa diterjemahkan begini: "Sesungguhnya Al-quran ini menuntun ke arah yang lebih lurus, dan menggembirakan para mukmin yang beramal bagus, bahwa bagi mereka anugerah yang besar." Dan di Pendopo Suryagraha itu, di Magetan, di hadapan 3.000-an qari-qariah dan hadirin yang diam, tembang Jawa itu mengalun khusyuk, membawakan makna ayat Bani Israil 9: Wruhanira al-Quran puniki anuduhake marang kautaman bebungah mring mukmin kabeh kang pada laku bagus benjang nampi kabegjan jati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus