Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Optimisme dalam Rapat Pertama Bank Sentral

Bank Indonesia berfokus mengembalikan defisit transaksi berjalan ke level aman.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Gubenur Bank Indonesia Perry Warijyo (tengah) dan para Deputi Gubernur Bank Indonesia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, kemarin.
Perbesar
Gubenur Bank Indonesia Perry Warijyo (tengah) dan para Deputi Gubernur Bank Indonesia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA – Sinyal positif mewarnai hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam dua hari terakhir yang mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate di level 6 persen. Dalam pemaparan keputusan rapat pertama pada 2019 itu, Gubernur BI Perry Warjiyo optimistis kondisi perekonomian dalam negeri-setidaknya pada triwulan pertama ini-akan dipenuhi perbaikan sejumlah indikator.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lonjakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), misalnya, diperkirakan menurun dan kembali ke level aman di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto. Menurut Perry, optimisme ini tidak hanya mengacu pada pola musiman pada awal tahun. "Tapi ada kecenderungan penurunan impor dan berlanjutnya aliran modal asing masuk ke dalam negeri dalam berbagai bentuk, seperti penanaman modal asing atau investasi lain," kata Perry di Gedung BI, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

BI dijadwalkan merilis laporan neraca pembayaran-akumulasi neraca transaksi berjalan, transaksi modal, dan transaksi finansial-triwulan IV 2018 pada 8 Februari mendatang. Namun kemarin, Perry Warjiyo memperkirakan CAD periode tersebut juga di atas 3 persen terhadap PDB. "Itu angka sementara dan masih bergerak. Ada kemungkinan di US$ 8,8 miliar pada triwulan IV," ujarnya.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman, memastikan lembaganya akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan serta memperkuat koordinasi dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. "Termasuk untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, sehingga turun menuju kisaran 2,5 persen terhadap PDB pada 2019," kata dia.

Defisit transaksi berjalan memang terus menjadi kabar buruk sepanjang sembilan bulan terakhir. Pada triwulan II dan III 2018, defisit berturut-turut melampaui batas aman 3 persen terhadap PDB, masing-masing senilai US$ 7,97 miliar dan US$ 8,84 miliar. Melebarnya defisit-di antaranya didorong oleh tekornya kinerja ekspor-mempersulit upaya pengendalian nilai tukar rupiah yang terjerembap seiring dolar Amerika Serikat yang banyak pulang kampung.

Sejak Mei lalu, BI pun menaikkan suku bunga acuan sebanyak lima kali untuk merespons kondisi tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah melakukan upaya pengendalian impor dan penguatan ekspor yang hingga November 2018 seolah tak berdampak lantaran defisit perdagangan justru semakin menganga.

Bank sentral menganggap defisit Desember 2018 yang mencapai US$ 1,1 miliar menunjukkan adanya perbaikan karena turun dari bulan sebelumnya yang minus US$ 2 miliar. Ketidakpastian perekonomian dunia diyakini mereda akhir tahun lalu kendati bukan berarti telah sepenuhnya berakhir. Tensi perang dagang global pun untuk sementara turun seiring dengan kesepakatan "gencatan senjata" antara Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump dan Presiden Cina Xi Jinping dalam pertemuan kedua kepala negara di sela-sela forum Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Buenos Aires, Argentina, awal Desember tahun lalu.

Dalam rapat dewan gubernur kemarin, BI tetap menaruh perhatian pada proyeksi pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 seiring kondisi serupa yang diperkirakan dialami oleh perekonomian AS, Cina, dan sejumlah negara di Eropa. Dewan Gubernur BI pun optimistis aliran modal kembali masuk ke negara berkembang seiring meredanya ketidakpastian pasar keuangan dan turunnya agresivitas bank sentral AS, The Federal Reserve, dalam rencana menaikkan suku bunga acuan The Fed Fund Rate pada tahun ini.

Ekonom dari Center of Reform on Economics, Piter Abdullah, menilai keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan merupakan bentuk kehati-hatian dalam merespons kebijakan bank sentral AS. Hingga kini The Fed belum melontarkan sinyal baru soal kebijakan suku bunga setelah sebelumnya pernah merencanakan kenaikan pada 2019. "The Fed masih akan melihat kondisi perekonomian AS," kata Piter. Menurut dia, mempertahankan suku bunga merupakan langkah yang tepat dalam menjaga momentum penguatan rupiah saat ini.

HENDARTYO HANGGI | AGOENG WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus