LIMA bulan ternyata tak cukup buat Cacuk Sudarijanto untuk memberesi kinerja Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dua pekan lalu, audit BPK menemukan bahwa BPPN tak mampu memaksa 48 pemilik bank yang dilikuidasi untuk melunasi kewajiban mereka sebesar Rp 166 triliun. Pada saat yang sama, untuk kinerja yang semrawut, BPPN menerima predikat disclaimer—alias tanpa opini—atas audit yang dilakukan sebuah kantor akuntan publik. Kini BPPN disorot lantaran munculnya sejumlah tenaga ahli yang diduga ikut andil dalam sejumlah keputusan kontroversial belakangan ini. Jumat dua pekan lalu, misalnya, dalam sebuah jumpa pers, tampillah salah satu "tangan" Cacuk yang baru, yaitu Amir Sambodo. Apa saja keputusan kontroversial itu?
Misalnya penyelesaian utang tiga perusahaan kelompok Raja Garuda Mas (RGM) milik konglomerat Sukanto Tanoto sebesar US$ 1,3 miliar. Sebanyak US$ 241 juta tersangkut di BPPN, sisanya mengendap di BNI dan Bank Mandiri. Cacuk menyetujui agar pembayaran bunga utang perusahaan itu ditunda 18 bulan. Jumlahnya: US$ 165 juta. Penundaan itu sebetulnya skema lama restrukturisasi utang sesuai dengan kesepakatan yang dibuat pada Agustus 1999. Waktu itu pihak BNI dan Bank Mandiri sudah setuju, tapi para pejabat BPPN menolaknya. Sebab, Sukanto Tanoto belakangan diketahui memiliki perusahaan di Cina.
"Kemurahan hati" Cacuk tak berhenti pada RGM. Ia juga memberi diskon bunga 50 persen kepada kelompok Rajawali milik konglomerat Peter Sondakh, yang berutang Rp 2,1 triliun. Cacuk juga seolah mengabaikan saran divisi legal BPPN untuk melakukan tindakan hukum kepada kelompok Djajanti. Padahal, perusahaan kepunyaan konglomerat Burhan Uray itu termasuk debitor bandel. Utangnya yang semula cuma Rp 2,9 triliun membengkak jadi Rp 5 triliun. Dan itu pertanda, "Kredit macetnya sudah berlangsung lama," ujar seorang mantan pejabat BPPN.
Keputusan "aneh" ini membuat sejumlah pejabat BPPN gerah. Selain merugikan negara, Cacuk dituduh melanggar hasil rapat resmi BPPN. Dan keputusan itu ditengarai akibat hadirnya para tenaga ahli Ketua BPPN. Mereka itu—setelah Hasyim Wahid alias Gus Im mundur—adalah Amir Sambodo, Tatto Pradjamanggala, Dewi Pelitawati, dan Auliana. Selain wewenangnya tak jelas, orang baru Cacuk itu dituduh melakukan intervensi yang kurang patut.
Amir Sambodo dianggap ikut campur dalam penyelesaian utang Djajanti. "Ia berupaya menarik Djajanti keluar dari divisi legal," ujar sumber tadi. Tatto Pradjamanggala malah terlibat dalam perundingan antara BPPN, BNI, Bank Mandiri, dan tiga perusahaan Sukanto Tanoto, kendati waktu itu ia belum resmi menjadi tenaga ahli BPPN. "Kehadiran Tatto terlihat pada catatan pertemuan yang asli," kata sumber ini. Mungkin untuk menyembunyikan keterlibatan Tatto, catatan pertemuan itu kemudian diganti dan nama Tatto dihapus.
Tak jelasnya rekrutmen juga dipertanyakan. Ambil contoh Amir Sambodo, saudara kembar ekonom Umar Juoro, ternyata debitor BPPN. Ia diketahui menjadi pemegang saham dan Presdir PT Batara Kujang Prima Utama, yang dulunya bernama PT Bukaka Kujang Prima. Perusahaan yang mayoritas milik Fadel Muhammad itu punya kredit macet Rp 100 miliar di Bank Exim. Sementara Tatto Pradjamanggala lebih dikenal sebagai orang politik. Bekas anggota DPR itu adalah sesepuh Angkatan Muda Siliwangi di Bandung dan pendukung Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
"BPPN bisa rusak bila orang-orang di dalamnya adalah pihak yang punya urusan dengan BPPN. Apalagi mereka sama sekali bukan ahlinya," ujar pengamat hukum perbankan, Pradjoto. Jelas, langkah Cacuk ini cuma akan memboroskan uang negara. Itu sebabnya, Pradjoto menyarankan agar tenaga ahli BPPN diritul dan diganti orang baru yang kompeten melalui sistem rekrutmen yang terbuka.
Cacuk punya jawaban. Dia menyebut mandat presiden untuk menyelesaikan restrukturisasi utang di BPPN secara kilat. "Kita maunya cepat. Kalau ada yang bisa diselesaikan segera, ya, kita percepat," katanya. Adapun Amir Sambodo mengaku diangkat Cacuk lantaran punya konsep restrukturisasi utang untuk pemulihan ekonomi. Ia juga membantah ikut campur dalam penyelesaian utang. Kredit macetnya? "Saya sudah mundur dari perusahaan itu sebelum masuk ke BPPN," tangkisnya. Tatto juga dinilai Amir, "Tidak memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi."
Semoga benar begitu. Karena, untuk lembaga yang menguasai aset negara Rp 600 triliun itu, salah langkah—apalagi "disengaja salah"—berarti triliunan rupiah uang negara melayang.
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini