Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjamsul Nursalim termasuk konglomerat yang tampaknya bertekad membuat Indonesia ternganga. Memang, bekas juragan kelompok Gadjah Tunggal itu kini mengaku tak punya apa-apa. Semua perusahaannya, dari pabrik ban sampai tambak udang, disita untuk membayar bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 26,5 triliun. Tapi, di luar negeri, Sjamsul masih berjaya. Pengusaha kelahiran Lampung itu ditengarai memiliki pabrik kertas, tisu, dan pembalut wanita bermerek Gadjah Tunggalsemuanya di daratan Cina.
Tapi, dalam gaya bicara yang khas, Sjamsul membantah pabrik di Cina itu kepunyaannya. "Itu perusahaan milik keluarga saya," ujarnya polos. Belum reda berita seputar pabrik Gadjah Tunggal di Cina, belakangan beredar informasi tambahan: Sjamsul berekspansi ke Filipina. Di sana, ia berkongsi dengan konglomerat lokal kelompok Lopez. Kali ini, Sjamsul yang dituduh baru membayar Rp 300-an miliar dari utangnya yang Rp 26,5 triliun itu berencana membangun pusat perdagangan seluas 19 ribu meter persegi di Rockwell Center, dekat Manila. Dalam rangka itu, Sjamsul dan Lopez sedang melobi Sogopengusaha ritel Jepang yang cukup kondanguntuk bekerja sama dengan sistem waralaba.
Dalam kapasitas dan latar bisnis yang berbeda, Edward Soeryadjayaputra sulung pendiri Astra, William Soeryadjayajuga semakin mantap mengepakkan sayap bisnisnya di Singapura dan Malaysia. Setelah membeli perusahaan investasi, konstruksi, dan engineering L&M Investment dari pengusaha Johanes Kotjo, ia juga mengincar perusahaan Kotjo lainnya di Singapura: Van Der Horst, yang bergerak di bidang infrastruktur dan mesin maritim.
Tak jelas apa alasan Edward melirik Van Der Horst, yang sedang limbung tercekik utang US$ 119 juta dan masuk dalam pemeriksaan Bapepamnya Singapura. Ditambah lagi, asetnya berupa gedung, peralatan, dan pabrik cuma bernilai US$ 27 juta. "Ya, itu strategi saya sendiri. Saya yakin, kok," ujar Edward ketika ditanya tentang niatnya yang aneh untuk mengambil alih Van Der Horst itu. Kemungkinan besar Edward tak mengeluarkan duit sepeser pun untuk mendapatkan Van Der Horst. Perusahaan itu akan diserahkan cuma-cuma oleh Kotjo. Tapi, sebagai gantinya, Edward tak lagi menagih duit US$ 8 juta yang dimenangi L&M di pengadilandalam sengketa saham L&M antara Edward dan Kotjo tempo hari.
Selain mengincar Van Der Horst, Edward diketahui berniat menukar 17,8 persen sahamnya di L&M dengan 24,2 persen saham Mitra Jaya Holding, perusahaan konstruksi milik pengusaha Malaysia, Samsudin Abu Hasan. Nilai transaksi ini diperkirakan mencapai 70 juta ringgit Malaysia atau 32 juta dolar Singapura. Selanjutnya, masih di Malaysia, dia membeli 100 persen saham Sagita Real Estate, sebuah perusahaan konsultan untuk industri minyak dan gas bumi Indonesia, yang nilainya mencapai US$ 15 juta. Yang menarik, kendati getol berekspansi, L&M ini sebetulnya punya banyak utang juga. Jadi, dari mana Edward mendanai semua pembelian itu? "Kami membiayai sendiri. Tak ada yang dari luar," jawabnya dalam nada pasti.
Seakan tak mau kalah, masih dari Singapura, terdengar kabar bahwa Asia Food and Properties (AFP), perusahaan milik keluarga Eka Tjipta Widjaja, berencana mendirikan sebuah perusahan portal business to business (B2B) yang diberi nama Asia Trade Alliance.Com. Untuk itu, ia merangkul Nissho Iwai, salah satu perusahaan perdagangan terbesar dunia dari Jepang, yang beromzet US$ 67 miliar per tahun. Portal komersial ini diharapkan menjadi salah satu jaringan perdagangan global terbesar. Untuk itu, mereka menggandeng Commerce One, perusahaan penyedia jasa layanan internet terkemuka dari Amerika; WI Harper, perusahaan modal ventura dari Amerika; dan sebuah perusahaan penyedia jasa telepon dari Hong Kong. Di perusahaan bermodal US$ 3,5 juta itu, AFP bakal memiliki 50 persen saham.
Tak pelak lagi, pendirian perusahaan portal tersebut merupakan pergeseran bisnis yang cukup besar bagi AFP. Sebelumnya, AFP lebih banyak melakukan investasi di bidang real estate di Singapura, Cina, dan Indonesia. Juga berbisnis jasa keuangan di Cina dan Indonesia. Namun, pendirian perusahaan portal itu tampaknya menandai hasratnya untuk lebih berkonsentrasi pada bisnis e-commerce. Sampai-sampai namanya pun hendak diubah menjadi Asia First Progressive Capital (AFPC). "Kami melihat pentingnya bisnis e-commerce," ujar Direktur AFP, Franky Widjaja. Tampaknya, ia yakin, bisnis itu akan mendatangkan kemajuan di masa depan. Kendati demikian, ia berharap bisnis lama AFP di bidang perkebunan, makanan, dan properti bisa tetap berkembang.
Grup Salim pun tak mau ketinggalan dari rekan-rekannya. QAF, salah satu anak perusahaannya di Singapura, baru-baru ini mengakuisisi dua pabrik pengolahan minyak sayur di Shanghai dan Fukien, Cina. Untuk itu, mereka menerbitkan surat utang senilai US$ 41,6 juta. Namun, lagi-lagi ini sebetulnya sekadar jurus akuisisi internal khas Salim. Soalnya, pemilik kedua pabrik itu adalah Liem Sioe Liong beserta anaknya Anthony Salim dan Andree Halim. Mereka menguasai saham kedua pabrik tersebut lewat dua perusahaan: Yinfu International dan Shanghai Yinfu Oils & Fats Industries.
Namun, aksi para konglomerat membeli perusahaan di luar negeri itu menimbulkan dugaan pelarian modal. Benarkah? Jawabannya bisa bermacam-macam. Kepala Riset SocGen Indonesia, Lin Che Wei, melihat pembelian perusahaan di luar negeri sebagai konsekuensi logis dari globalisasi. "Itu tabiat pengusaha, menanam modal di tempat yang peluangnya baik," katanya menjelaskan. Boleh jadi pembelian perusahaan itu merupakan langkah ekspansi untuk menyelaraskan usaha di dalam dan luar negeri. AFP, misalnya, memang bisa lebih maju bila usaha perkebunan, pabrik, dan distribusinya dilengkapi jaringan internet dan transportasi yang canggih.
Tapi Che Wei juga tak menutup kemungkinan aksi itu dilakukan untuk melarikan modal atau kabur dari kejaran utang. Soalnya, "Saya tahu sendiri banyak pengusaha yang memiliki utang besar," ujarnya, seraya menambahkan, "tapi mereka memiliki kondominium mewah di Singapura." Senada dengan Che Wei, tenaga ahli BPPN, Amir Sambodo, melihat akuisisi perusahaan di luar negeri sebagai pergeseran lahan investasi. "Saya belum melihat tindakan itu sekadar untuk melarikan modal," ujarnya.
Soalnya, menurut Amir, iklim investasi di Indonesia saat ini memang belum nyaman bagi pengusaha, "Terutama gangguan keamanannya itu, lo." Jadi, mengapa tidak menanamkan modal di tempat lain? Apalagi, pengusaha biasanya ingin agar dalam kondisi bagaimanapun bisnisnya bisa tetap berputar. Sebab, jika bisnis jalan di tempat, "Bisa rusak semua," katanya lagi. Dalam kaitan ini, Amir optimistis, di saat iklim investasi membaik, para taipan akan kembali menanamkan modalnya ke Indonesia. Tapi, apakah dengan demikian tumpukan utang akan dilunasi, nah, itu soal lain lagi.
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, Setiyardi, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo