Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknik dasar menabuh gender itulah yang dieksplorasi I Wayan Sadrakomponis dari Sekolah Tinggi Seni Surakartadalam pergelaran bertajuk Abad Adab, yang diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, pekan lalu. Je-ngek adalah komposisi berdasarkan teknik membuka dan menutup itu. Inspirasinya dari kepiawaian maestro gamelan, almarhum Marto Pangrawit. Enam belas tahun lalu di Yogya, Sadra berduet memainkan gender. Sadra bermain dengan seorang penabuh lain dan Pangrawit sendirian. Kelincahan pergelangan tangan "membuka dan menutup", yang dikuasai dengan baik oleh Pangrawit, menghasilkan bunyi yang tak kalah variatif. "Ali-alinya (cincin) ketika menutup sampai menyentuh bilah, dan menghasilkan bunyi crik yang enak," tuturnya.
Bunyi crik itulah barangkali yang didambakan Sadra, ketika ia mengadakan pertunjukan pekan lalu itu. Dengan sebelas orang pemain berinstrumen kendang Banyuwangi, gitar Cina, kecapi Sunda, biola, dua suling Bali, slentem, dan dua buah gender, Sadra mengembangkan potensi gender supaya enak didengar. Empat buah komposisi yang disuguhkannya malam itu berangkat dari pengembangan teknik elementer bermain gamelan. Komposisi Gender Plus, yang pernah dimainkan di Pacific Music Festival di Jepang, dipilih sebagai pembuka acara. Pada nomor ini motif utama adalah pola musik Bali yang sangat tua, yaitu gambangan. Gambang adalah jenis musik yang sangat sakral dan jarang dimainkan kecuali dalam upacara. Yang istimewa dalam pergelaran ini, pola gambangan, yang biasanya ditabuhkan pada bilah perunggu, oleh Sadra dialihkan ke gesekan biola.
Nomor lain adalah Gen-dot. Ini nomor yang sedap di kuping. Sadra menghadapkan dua karakter pola tabuhan gender yang berbeda. Di Bali ada teknik menabuh yang disebut sekar gendotan. Tapi di Jawa ada teknik debyang-debyung. Karakter debyang Jawa lebih lembut, sementara Bali lebih cepat. "Gender itu seperti kontrapung dalam piano, melodi bisa dibuat tangan kanan dan tangan kiri," tuturnya. Gamelan Bali dan Jawa, masing-masing memiliki variasi pukulan gender yang memiliki kekayaan melodi. Dengan demikian, gagasan membenturkan dua karakter itu membuka kemungkinan untuk eksplorasi.
Komposisi terakhir, I don't know, lebih berupa suatu dialog bunyi. Setiap pemain secara spontan menirukan permainan instrumen rekannya. Yang menarik adalah ketika suara kendang Banyuwangi dan jimbe saling meningkahi. Di sini tampak keseriusan Sadra untuk menghasilkan kualitas bunyi yang kontras. Untuk mendapatkan bunyi jimbe yang nyaring, ia memasang sendiri kulit kambing di instrumen musik tersebut. Alhasil, malam itu bunyi yang terdengar cukup keras, persis dengan jimbe Afrika.
Eksperimen dengan beragam bunyi menyebabkan I Wayan Sadra dikenal luas sebagai musisi radikal. Suatu kali ia pernah menggebuk batu batahanya untuk ilustrasi musik bagi sebuah karya tari. Pada 1991 ia mendapat New Horizon Award 1991 dari International Society for Art Science and Technology Amerika Serikat, atas komposisinya yang mengandalkan bunyi telur-telur yang dilemparkan ke atas pelat baja panas. Ia juga suka mengeksplorasi gong. Gong diseret-seret, ditabuh terbalik. Kini Sadra berencana membuat suatu chorus gong terdiri dari 200 pemain gong.
Hal-hal yang tidak biasa itu tak terlepas dari keyakinan Sadra bahwa instrumen apa pun bisa didekati dengan latar belakang musik yang sama sekali berbeda. Ia begitu yakin akan hal ini, sehingga sampai sekarang sudah dua tahun para musisi karawitannya belajar memainkan instrumen combo dengan teknik pendekatan tradisional. Bas gitar modern, misalnya, dimainkan dengan teknik petikan bas keroncong yang dipercepat. September depan, eksperimen dengan gitar modern itu akan diorkestrasi dengan suara saksofon yang dimainkan oleh musisi Jepang, Takahito Hayashi.
Tapi Abad Adabkonser ini ditujukan agar kekerasan berkurang di Indonesiabukanlah pertunjukan yang eksperimental. Malam itu tidak ada eksplorasi instrumen. Tidak ada bilah-bilah yang dicopot, lalu diletakkan di tanah. Juga, tidak ada siter yang digesek dawainya agar menghasilkan bunyi yang mengili-ngili telinga. Dalam Abad Adab, semua karya yang digelar ternyata enak didengardalam bahasa Jawa disebut kupingan. Setelah berbagai eksperimen, Sadra back to basic. Ia menggali teknik dasar untuk mencari ruang harmoni baru. Siapa tahu, kelak di masa depan, tahap ini akan menjadi bagian penting dalam proses kreatif Sadra.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo