Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal Dianggap Rentan Maladministrasi

Hingga diberlakukan kemarin, sertifikasi produk halal belum dilengkapi instrumen pelaksana

18 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Ombudsman Republik Indonesia mencermati adanya potensi maladministrasi dalam pemberlakuan sertifikasi halal yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Anggota Ombuds man RI, Ahmad Suaedy, menilai bahwa pemerintah belum siap menerapkan sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut karena masih banyak instrumen hukum belum tersedia untuk menjalankan kewajiban sertifikasi halal yang efektif diberlakukan kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suaedy mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 sebagai aturan pelaksana semestinya sudah diikuti penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) untuk mengatur pedoman, tarif, hingga ketentuan lembaga pemeriksa halal (LPH), yang bertugas memeriksa dan menguji kehalalan produk. “Jadi, kalau kami bilang, ada maladministrasi karena sampai berlaku hal itu belum siap. Semua serba terburu-buru,” kata Suaedy kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia juga menyoroti belum adanya sosialisasi kepada masyarakat. Ombudsman, kata Suaedy, khawatir akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat, termasuk berupa main hakim sendiri terhadap produk yang secara sepihak dianggap tak memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut. Suaedy merekomendasikan diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengatasi masih adanya kekosongan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang JPH.

Rabu pekan lalu, Kementerian Agama meneken nota kesepahaman Penyelenggaraan Layanan Sertifikasi Halal (PLSH) bersama 11 kementerian dan lembaga negara. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah masih berupaya melengkapi instrumen pelaksanaan jaminan produk halal hingga lima tahun ke depan. Lukman berkukuh, 17 Oktober merupakan waktu dimulainya sertifikasi, bukan diwajibkannya sertifikasi halal. “Kewajiban itu baru dilakukan setelah lima tahun dilalui. Jadi, ada tahapan khusus untuk produk makanan dan minuman, serta yang terkait dengan produk itu. Baru setelahnya ada pendekatan hukum,” ujar Lukman.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Mastuki, menuturkan peraturan menteri agama tentang jaminan produk halal telah tersedia, yaitu PMA Nomor 26 Tahun 2019. Namun, kata dia, PMA tersebut masih diproses di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Dari Kementerian Agama sudah ditandatangani. Kami masih menunggu pengundangan oleh Kemenkumham,” ujar Mastuki.

Mastuki menuturkan saat ini pendaftaran sertifikasi halal sudah bisa dilakukan di Kantor Wilayah Kementerian Agama. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 menyebutkan LPH yang ada sebelum undang-undang berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan paling lama dua tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk. Dengan begitu, fungsi LPH dianggap bisa dijalankan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). “Kami juga segera menyetujui LPH yang memenuhi syarat,” tutur Mastuki.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, menuturkan Undang-Undang JPH tidak bisa begitu saja diterapkan tanpa ada PMA yang sangat penting sebagai landasan hukum. Sedangkan nota kesepahaman, kata dia, juga tidak dapat disandarkan pada ketentuan yang belum ada. “Belum diundangkannya PMA menunjukkan kompleksitas persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sertifikasi halal,” tutur Ikhsan.

Senada dengan Ombudsman, dia menilai pentingnya penerbitan perpu karena belum siapnya instrumen hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang JPH. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa kewajiban sertifikat halal mulai berlaku lima tahun sejak undang-undang disahkan pada 2014. Menurut dia, perpu bisa menyempurnakan Pasal 67 untuk memperpanjang waktu dimulainya kewajiban sertifikat halal. “Sehingga ada landasannya,” tutur Iksan.

Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat, menuturkan mayoritas industri besar dan menengah sudah melakukan sertifikasi halal. Namun, masih ada sekitar 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang belum siap untuk menjalankan UU JPH. Rachmat berharap pemerintah secara intensif memantau pelaksanaan di lapangan, membantu subsidi biaya sertifikasi, dan meningkatkan kapabilitas UMKM. “Karena sertifikasi halal menuntut pemenuhan kaidah keamanan pangan,” tutur Rachmat. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus