Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pemerintah Akan Impor Gula Ribuan Ton, Ekonom: Jalan Mencari Rente untuk Biaya Pemenangan Pemilu

Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai ada tren atau pola yang menunjukkan impor gula kerap terjadi menjelang Pemilu.

29 Oktober 2022 | 19.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat gula pasir dari India di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa 6 April 2021. Stok gula dalam negeri diperkirakan sebesar 940.480 ton. Terdiri dari 804.685 ton limpahan stok tahun lalu dan 135.795 hasil produksi dalam negeri. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi rencana pemerintah mengimpor gula sebanyak 500 ribu ton di tengah banjir stok dalam negeri. Ia menilai ada tren atau pola yang menunjukan impor gula kerap terjadi menjelang Pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini salah satu jalan untuk mencari rente dan bisa digunakan untuk pembiayaan pemenangan pemilu," ucapnya saat dihubungi Tempo, Sabtu, 29 Oktober 2022. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bhima menuturkan impor gula itu dilakukan meskipun kondisinya konsumsi dalam negeri sedang rendah atau industri pengolahan sedang mengalami perlambatan. "Itu perlu menjadi pertanyaan," kata dia. 

Sebab, gula adalah komoditas pangan yang memilki banyak rent seekor atau pemburu rente. Indonesia sendiri merupakan adalah salah satu negara pengimpor gula tertinggi dibandingkan negara lainnya. Padahal, kata Bhima, Indonesia punya potensi perkebunan tebu sebagai bahan baku gula yang cukup besar. 

Industri gula pun juga bukan barang baru di Indonesia. Ia menjelaskan sejak zaman penjajahan Belanda, sudah banyak pabrik-pabrik industri gula di Tanah Air. Permasalahannya ada pihak yang menikmati rente dari impor gula. Sehingga, pihak tersebut lebih menginginkan status quo agar Indonesia terus bergantung pada impor. 

Hal itu juga berpengaruh kepada suntikan modal bagi perkebunan tebu dan industri manufaktur pengolahan gula. Hasilnya, di dalam negeri industri dan perkebunan tersebut kurang berkembang. Sedangkan penikmat rente itu, kata dia, sudah terlalu menikmati keuntungan dari impor gula. Pengimpor tidak perlu menanam tebu dan mengolah gula, mereka menjual produk ke Indonesia kemudian mendapatkan margin keuntungan. 

Karena itu, ia menilai perlu ada perubahan tata niaga dari komoditas gula secara nasional. "Tapi revitalisasi industri juga mendesak," ucapnya. 

Di sisi lain, Bhima mengungkapkan ada lobi-lobi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang pro terhadap impor pangan, salah satunya melalui Undang-undang Cipta Kerja. Menurutnya, Undang Cipta Kerja berkaitan dengan pasar impor karena posisi impor menjadi setara dengan posisi dalam negeri. Sedangkan sebelumnya impor hanya dilakukan ketika kebutuhan domestik tidak terpenuhi dari hasil produksi dalam negeri. 

"Kalau sekarang, di dalam Undang-undang Ciptaker disetarakan. Jadi ada skenario untuk mempermudah impor, terutama impor pangan, termasuk gula," ujar Bhima. 

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun mengeluhkan langkah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dikabarkan telah memberi izin rekomendasi impor gula konsumsi sebanyak 500.000 ton.

Padahal menurut Sumitro, stok gula pada akhir 2021 atau awal tahun 2022 sebesar 1,1 juta ton. Dengan konsumsi gula nasional per tahun sebesar 3 juta ton, artinya masih ada surplus 1,6 juta ton gula. "Kenapa di surat itu disebutkan prediksi sisa gula kita ini 880.000 ribu? Ini kan udah beda. Kita gak diajak ngomong,“ ucapnya.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus