Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membantu keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bantuan dana sebesar Rp 8,4 triliun tersebut rencananya dicairkan dalam dua tahap. "Awal Maret, kami kirim Rp 2,1 triliun," kata Presiden Joko Widodo di Tangerang Selatan, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk pencairan tahap kedua, Jokowi mengatakan duit talangan akan diterima BPJS Kesehatan sebulan berselang. Dana akan segera ditransfer begitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah merampungkan audit keuangan BPJS Kesehatan. Audit BPKP merupakan syarat penting agar pemerintah bisa mengganti kerugian badan yang mendapat penugasan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga kini, setidaknya pemerintah sudah mencairkan dana mencapai Rp 6,38 triliun kepada penyelenggaran program kesehatan negara tersebut. Pada September 2018, pemerintah juga mencairkan talangan senilai Rp 5,2 triliun. Duit tersebut digunakan untuk menutup derita penyelenggara yang hingga tahun lalu mengalami defisit keuangan mencapai Rp 16,5 triliun. Kombinasi banyaknya masyarakat yang ditanggung dengan murahnya premi yang dibayarkan jadi salah satu penyebab BPJS Kesehatan kepayahan.
"Tapi jangan dipikir pemerintah itu telat bayar, ya," kata Jokowi di hadapan para tamu rapat kerja kesehatan nasional. Dia mengatakan pemerintah sadar betul defisit di BPJS Kesehatan disebabkan alasan klasik tersebut. Meski mengalami defisit, kata Jokowi, keberadaan BPJS dan Kartu Indonesia Sehat sebetulnya memberikan manfaat besar bagi kesehatan masyarakat.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Dadan S. Suharmawijaya, mendukung program kesehatan yang murah dan berjangkauan luas seperti BPJS Kesehatan. Karena itu, ia berharap BPJS Kesehatan tak lalai memberikan layanan. "Kalau karena ketidakmampuan BPJS lantas mau dikurangi manfaatnya, itu tidak boleh. Kan ada jaminan pemerintah," kata dia di sela sosialisasi peran Ombudsman dalam mengawasi pelayanan publik bidang kesehatan di Gedung Sate, Bandung, kemarin.
Dadan mengatakan penyelesaian masalah defisit BPJS tak hanya bisa dengan pendekatan asuransi. Menurut dia, skema baru dengan urunan biaya dilakukan bisa jadi salah satu solusi pembenahan yang tepat. Nantinya, peserta mandiri atau peserta jaminan kesehatan nasional dikenai biaya tambahan dalam mengakses layanan kesehatan yang melebihi batas normal senilai Rp 10-350 ribu. Demikian pula untuk rawat inap, pemerintah menetapkan urunan biaya 10 persen dari biaya pelayanan yang dihitung dari tarif total yang ditetapkan atau paling tinggi Rp 30 juta.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan, Sundoyo, mengatakan aturan ihwal urun biaya masih digodok secara intensif. Kementerian Kesehatan membentuk tim yang terdiri atas Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, asosiasi rumah sakit, asosiasi profesi, serta akademikus untuk merumuskan teknis dan besaran nilai urunan. "Perlu hati-hati dan harus jelas agar tak meresahkan masyarakat," ujarnya. Yang pasti, pemerintah menjamin urunan biaya tak akan menyasar layanan berbiaya tinggi, seperti penyakit kronis.
Akhir Januari lalu, manajemen BPJS Kesehatan berdiskusi mencari solusi pembenahan defisit dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden, Bambang Widianto, mengatakan Kalla mengusulkan pembagian beban pembiayaan dengan pemerintah daerah. Selain itu, perlu ada dorongan agar pemerintah daerah lebih rajin membenahi fasilitas dan pelayanan kesehatannya sebagai langkah preventif. "Tapi kayaknya agak susah kalau yang itu," ucapnya.
Bambang mengatakan opsi urun biaya dilakukan lantaran kebijakan pembatasan sejumlah layanan, seperti katarak atau perawatan bayi baru lahir sehat, tak jadi dilaksanakan. Keputusan tersebut ditarik lantaran Mahkamah Konstitusi menilai layanan-layanan tersebut masih sesuai dengan fungsi pendirian BPJS Kesehatan. "Opsi menaikkan harga premi juga terus dibahas," tuturnya.
FRISKI RIANA | AHMAD FIKRI (BANDUNG) | ANDI IBNU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo