Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemerintah Disebut Gagal Wujudkan Kedaulatan Pangan, SPI: Impor 3,3 Juta Ton Beras Terbesar sepanjang Sejarah

Serikat Petani Indonesia (SPI) menuding pemerintah gagal dalam mewujudkan kedaulatan pangan karena impor beras malah terus bertambah di tiap tahun.

18 Januari 2024 | 20.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) menuding pemerintah gagal dalam mewujudkan kedaulatan pangan karena impor beras malah terus bertambah di tiap tahunnya. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menyebutkan saat ini ketergantungan pangan atas impor sudah sangat besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Untuk beras, impor sebesar 3,3 juta ton pada tahun 2023 merupakan impor beras terbesar yang dilakukan pemerintah, dalam 25 tahun terakhir sejak tahun 1998,” ujar Henry, dalam Diskusi Kelompok Terarah, dikutip melalui keterangan tertulis SPI pada Kamis, 18 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebutkan, impor pangan telah berlangsung sejak tahun 1998, khususnya setelah penandatanganan LoI (Letter of Intent) dengan IMF (International Monetary Fund). Ini mendorong Indonesia membuka pasar pangan dari luar negeri, seperti beras, tepung gandum, gula, bawang putih, hingga daging sapi, dan tanaman pangan lainnya.

Belakangan, Undang-Undang Cipta Kerja juga disebut sebagai faktor yang memperkuat impor pangan yang dianggap merugikan petani. “Undang-undang ini menganulir berbagai UU yang sebelumnya berpihak pada petani. Jika kondisi ini (impor pangan) terus terjadi, hal ini semakin membuat bangkrut kaum tani di Indonesia,” Henry melanjutkan.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi dari IPB dan Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas menyatakan bahwa rencana impor beras 2024 tidak memiliki dasar yang kuat. 

“Pemerintah berdalih bahwa situasi tidak normal akibat adanya fenomena El Nino. Ini terus digaung-gaungkan oleh pemerintah, padahal menurut data iklim pada tahun 2024 akan normal kembali,” tutur Andreas.

Muhammad Rifai dari Aliansi Petani Indonesia (API) turut menyuarakan kecurigaan publik terhadap isu impor pangan yang muncul menjelang Pemilu 2024. Rifai menuturkan, “Nyatanya juga yang terjadi adalah petani merasa kesulitan karena kenaikan harga pada proses produksi, padahal barang banyak beredar di pasar,” ucapnya.

Sementara itu, Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), menyoroti kegagalan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Menurut Said, Sensus Pertanian menyebut bahwa jumlah petani tanaman pangan berkurang dari 17,7 juta rumah tangga di tahun 2013 menjadi 15,5 juta rumah tangga pada 2023.

Namun, ia menyoroti adanya peningkatan jumlah petani gurem, dari 14,25 juta rumah tangga di tahun 2013, menjadi 16,89 juta di tahun 2023. “Semakin tinggi angka petani gurem, artinya semakin tinggi juga pelepasan tanah untuk petani,” kata Said.

Lebih lanjut, Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia menekankan bahwa perspektif ketahanan pangan yang diadopsi pemerintah seharusnya melibatkan pertimbangan dampak impor terhadap produsen dalam negeri.

“Sikap pemerintah yang perlu dipertanyakan lagi karena tidak melaksanakan UU Perlindungan Pemberdayaan Petani,” Marthin mengungkapkan. Menurutnya, dengan tidak adanya peraturan pelaksana, kewajiban pemerintah untuk menyerap produksi pertanian nasional dari petani tidak berjalan.

Adapun Ketua DPP-SPI dan International Coordinating Committee La Via Campesina Zainal Arifin Fuad, juga menyinggung ketergantungan pangan yang semakin tinggi akibat perspektif ketahanan pangan pemerintah. Ia menyoroti bahwa kebijakan impor pangan semakin mudah melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Lebih lanjut, SPI berencana menggelar aksi unjuk rasa menolak keputusan impor beras pada Jumat, 19 Januari 2024, di Kementerian Pertanian RI dan Badan Pangan Nasional. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan petani dan merusak kedaulatan pangan Indonesia.

Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus