Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA hal penting yang lolos dari pengamatan banyak orang ketika para menteri menyampaikan paket deregulasi pekan lalu. Entah bagaimana kisahnya, ternyata tepung terigu tidak juga dikeluarkan dari daftar negatif investasi (DNI). Padahal, sehari sesudah paket itu diumumkan, Jumat lalu, tepung yang di kalangan bisnis identik dengan Bogasari itu tiba-tiba raib begitu saja dari DNI.
Nunik Iswardhani, wartawan TEMPO yang kebetulan mengetahui hal itu, sampai mengeceknya sekali lagi. Benarkah tepung terigu keluar dari DNI, yang berarti tidak diproteksi lagi? Ternyata benar. Ini berarti proteksi yang diberikan Pemerintah kepada Bogasari selama lebih dari dua dasawarsa dicabut sudah. Siapa pun, kalau mau dan punya modal, kini boleh membuka pabrik tepung terigu.
''Kemarin itu saya lupa ngomong bahwa terigu itu sebenarnya sudah dikeluarkan dari DNI,'' kata Sanyoto Sastrawardoyo, Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM. Hanya, Sanyoto tak mau menjelaskan kenapa investasi di bidang terigu baru dibuka sekarang. ''Pokoknya perlu, dan sudah waktunya,''jawabnya singkat. Yang pasti, tanpa menunjuk hidung siapa-siapa, di meja kerjanya kini sudah ada tiga investor yang siap membangun pabrik terigu di Medan, Cilacap, dan Surabaya. Dan proposal itu sudah disetujui.
Siapakah gerangan yang telah berani terjun menyaingi duet Sudono Salim-Sudwikatmono ini? Silakan menebak-nebak. Yang pasti, bukan hanya Bogasari yang ''kehilangan payung'' akibat berkelebatnya pedang deregulasi. Total ada tujuh bidang usaha yang tak lagi dilindungi. Bidang peternakan ayam bibit, contohnya. Sekarang, siapa pun boleh memasuki bidang peternakan ayam bibit: bibit nenek (grandparent stock), ayam bibit induk (parent stock), dan peternakan bibit galur murni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah industri terigu dan peternakan ayam bibit, yang juga tertebas pedang deregulasi adalah industri alat-alat berat. Sektor yang selama ini didominasi oleh PT United Tractors salah satu perusahaan grup Astra yang telah masuk bursa itu kini terbuka sudah. Jadi, investor asing yang berminat terjun ke bidang industri buldoser, loader, grader, excavator, road roller, maupun forklift dengan penggerak diesel, tinggal mengajukan permohonan ke BKPM. Pasti dikabulkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika ditanyakan komentarnya tentang pencabutan proteksi alat-alat berat, Palgunadi Vice President PT Astra International, yang membawahkan United Tractors menjawab singkat, ''Yang jelas, kita harus kerja lebih keras.'' Seperti halnya untuk terigu, alasan pembukaan investasi untuk alat-alat berat ini pun tak berbeda. ''Bidang usaha tersebut sudah lama diproteksi. Sejak awal Orde Baru, lho. Jadi, sudah saatnya dibuka,'' Sanyoto menegaskan.
Pertimbangan lainnya adalah, selain industri yang telah ada mampu berdiri sendiri dan bahkan menembus pasar ekspor, permintaan akan alat-alat berat di tahun-tahun mendatang diperkirakan terus meningkat. Ini sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan, terutama di bidang konstruksi sipil.
Yang boleh dibilang agak terlambat, mungkin, pembukaan bidang industri motor piston pembakaran non-otomotif. Dikatakan demikian lantaran motor piston merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan untuk mesin pembangkit tenaga listrik berskala kecil. Maka, banyak orang bertanya-tanya, kenapa bidang ini baru dibuka sekarang, sementara dunia usaha sudah sejak dua tahun lalu berteriak tentang minusnya setrum produksi PLN.
Tapi yang tak kalah enteng adalah dibukanya gerbang investasi untuk industri kendaraan bermotor roda tiga. Siapa yang membutuhkan kendaraan model ini, dan pengusaha mana yang mau menanamkan modalnya untuk membangun pabrik bemo atawa bajaj? Alasannya tetap tak jelas kendati Sanyoto mengatakan bahwa kebijaksanaan ini diambil untuk menunjang bidang-bidang usaha komersial yang sudah ada. Misalnya, sebagai pengangkut barang dan orang di kawasan permukiman dan angkutan barang di kawasan industri.
Tinggal satu hal: kenapa hanya bidang-bidang usaha itu yang dibuka. Padahal, sudah sejak lama ada beberapa bidang yang diusulkan kalangan dunia usaha agar segera dibuka. Misalnya, penangkapan ikan. Jika saja asing diperbolehkan masuk ke sektor ini, diperkirakan akan banyak pengusaha Jepang dan Taiwan yang akan datang. Langkah ini, ujung-ujungnya, tentu akan menyulitkan para nelayan tradisional dan perusahaan penangkapan ikan dalam negeri. ''Tapi daripada ikan kita dicuri terus,'' kata Sofyan Wanandi beberapa waktu lalu.
Hal lain yang juga tidak disentuh dalam paket deregulasi kali ini adalah soal jangka waktu hak guna usaha (HGU). Seperti diketahui, kebijaksanaan yang diluncurkan Juli tahun lalu hanya mengisyaratkan, setelah 30 tahun, HGU boleh diperpanjang 20 tahun lagi, kemudian setelah itu 30 tahun lagi. Banyak pengamat dan praktisi bisnis menganggap aturan main ini bertele-tele dan membuat investor ragu-ragu menanamkan modalnya.
Kenapa HGU itu tidak diberlakukan sekaligus 100 tahun saja seperti yang telah diterapkan pemerintah Thailand, Malaysia, RRC, dan Vietnam? Bukankah iming-iming itu yang diincar investor asing selama ini? Lihatlah pertumbuhan investasi di negara-negara tersebut. RRC, misalnya. Kawasan industri Guangzhou saja, dalam waktu 13 tahun, telah berhasil menarik investasi asing sampai lebih dari US$ 4 miliar.
Tak mengherankan bila banyak pengamat memproyeksikan bahwa RRC-lah yang akan menjadi macan kelima di kawasan Asia, setelah Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Sedangkan Indonesia, diperkirakan banyak kalangan, tidak akan mengalami banyak kemajuan dalam hal penanaman modal asing. Apalagi negeri ini boleh dibilang masih miskin sarana dan prasarana, baik dalam hal fasilitas listrik dan telepon maupun prasarana jalan dan pelabuhan. Tidak seperti RRC, misalnya kendati dalam hal menarik modal asing kalah cepat 12 tahun dibandingkan dengan Indonesia.
Fasilitas perhubungan di zona ekonomi seperti Guangzhou boleh dibilang sangat lengkap. Selain memiliki jalan raya, yang malang-melintang menghubungkan titik-titik sentral kegiatan ekonomi, kawasan ini juga mempunyai saluran telepon yang lebih dari cukup 10,5 jiwa setiap sambungan. Kini, semakin banyak pengamat yang berpendapat Indonesia kalah cepat dari banyak negara pesaingnya dalam memperebutkan investor asing.
Selain negara-negara Asia, muncul sekarang negara-negara bekas Eropa Timur yang juga perlu dana besar untuk pembangunan mereka. Tak dapat tidak, peluang Indonesia untuk meningkatkan penanaman modal asing (PMA) akan semakin kecil. Mungkin, itulah sebabnya Menko Industri dan Perdagangan Hartarto serta Menko Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan, Saleh Afiff, menyatakan deregulasi di bidang investasi akan berlanjut. Bahkan, secara tidak langsung, mereka berdua menjanjikan, kebijaksanaan yang menyangkut pertumbuhan PMA dan PMDN akan diluncurkan dalam waktu dekat.
''Pemerintah kini tengah menyiapkan langkah-langkah selanjutnya,'' kata Saleh Afiff. Ini penting. Kalau tidak, penanaman modal asing di negeri ini tampaknya tidak akan bergeser dari US$ 89 miliar setahun. Padahal, setiap tahun ada sekitar US$ 300 miliar modal yang berkeliaran di pasar internasional. Dan sampai sekarang, separuh dari jumlah itu tetap mengalir ke AS dan negara-negara Eropa Barat. Sedangkan Indonesia, bersama negara-negara Asia dan Asia Timur, hanya memperebutkan porsi sebesar US$ 110 miliar. Apa mau terus begitu?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Akhirnya, Terigu Dicabut dari DNI". Budi Kusumah dan Nunik Iswardhani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.