KINI industri mobil dihadapkan ke dua pilihan. Mau memakai banyak komponen lokal atau royal dengan komponen impor. Menentukan salah satu dari dua pilihan ini tampaknya kini sedang menjadi kesibukan bos-bos industri mobil di Indonesia, terutama setelah Pemerintah mengumumkan paket deregulasi otomotif Kamis pekan lalu. Kenapa? Karena hitungan kandungan komponen lokal akan menentukan bonus yang akan diberikan Pemerintah, terutama korting dalam tarif bea masuk dan pajak penjualan barang mewah. Sebagai contoh, dalam aturan baru itu bagi mobil jenis sedan, misalnya, jika kandungan komponen lokal lebih dari 60%, akan gratis (0%) tarif bea masuk. Sebaliknya, kalau boros menggunakan komponen impor, misalnya sampai 80% (hanya 20% lokal), industri mobil tersebut membayar tarif bea masuk 100%, seperti yang selama ini mereka lakukan. Demikian pula dengan pajak penjualan barang mewah. Sedan 1.600 cc ke bawah, jika menggunakan komponen lokal lebih dari 60%, kini cukup membayar pajak penjualan barang mewah 20%. Padahal, sebelumnya mereka harus membayar 35%. (lihat tabel). Ketentuan baru tentang insentif pemakaian komponen lokal ini tampaknya menjadi salah satu bagian yang menarik perhatian, karena besar kecilnya fulus yang diberikan Pemerintah ini tentunya ikut mempengaruhi biaya produksi. Dan pada gilirannya akan mempengaruhi harga jual mobil. Toh beberapa pengusaha menyanggah bahwa ketentuan baru itu bisa menurunkan harga jual dalam waktu dekat. Karena target untuk menurunkan kandungan komponen impor bukan pekerjaan mudah dan bukan jaminan mampu menekan harga. Hal ini seperti yang dikatakan Adirizal Nizar, Direktur Teknik Toyota Astra Motor. Untuk pembuatan sebuah transmisi mobil (gigi-gigi untuk perpindahan persneling), misalnya, Toyota selama ini masih mengimpor dari Jepang. ''Tapi kalau transmisi itu kita buat sendiri, bisa jadi lebih mahal dua kali lipat, karena biaya pembuatan di dalam negeri lebih mahal,'' katanya kepawa wartawati TEMPO Bina Bektiati. Dalam kasus kendaraan niaga bahkan ada contoh. Transmisi buatan PT Wahana Eka Paramita (patungan Astra International dengan Gemala Kempa Daya) di Pulogadung, Jakarta Timur, merupakan produk rakitan, bukan hasil manufaktur setempat. Di sini mereka hanya menggabungkan komponen yang didatangkan dari Jepang. Transmisi yang menggunakan teknologi Toyota Motor untuk segala jenis kendaraan niaga dari kategori I sampai V itu akhirnya tetap lebih mahal dibandingkan dengan impor dalam keadaan jadi. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, deregulasi otomotif ini tampaknya tidak kaku. Artinya, Pemerintah tidak menetapkan harus 100% komponen lokal. Tapi pihak industri mobil boleh pilih- pilih, komponen mana yang bisa diproduksi secara lokal. Jadi, strategi yang digunakan adalah bagaimana menambah kandungan lokal dengan biaya seefisien mungkin. Rincian komponen lokal yang dipakai sedan keluaran Toyota, menurut Adirizal, pada umumnya sama: kaca, radiator, ban, aki, knalpot, dan kursi. Bahan-bahan ini memang kurang membutuhkan teknologi tinggi, hingga sungguh tidak efisien bila masih diimpor. Jika dihitung-hitung, kandungan lokal seperti itu baru dinilai sekitar 15%. Kalau mereka tetap bertahan seperti itu, tentu saja bonus tidak bakalan mereka terima. Hampir sebagian besar merek sedan yang berseliweran di jalanan rata-rata komponen lokalnya kurang dari 20%. Kecuali sedan Mazda MR, yang sudah memakai komponen lokal sekitar 40%. Ada yang menyebut, sedan merek Honda sudah mengandung komponen lokal sekitar 35%. ''Sekarang ini tidak mungkin menggunakan komponen lokal lebih dari 60%. Untuk mencapai komponen lokal 40% saja setengah mati,'' kata sumber TEMPO. Kecuali sedan, menurut Bambang Trisulo, Direktur Teknik Astra Mobil Company, beberapa merek mobil memang sudah mempunyai kandungan komponen lokal lumayan, seperti Toyota Kijang sekitar 47% dan Daihatsu Zebra 42%. Kalau ada pejabat yang beranggapan Indonesia sudah waktunya bikin mobil sendiri alias 100% komponen lokal, bicara begitu boleh-boleh saja. Menurut kalangan industriwan, di antaranya Presiden Direktur Indomobil Soebronto Laras, industri mobil yang memproduksi mesin sendiri baru bisa efisien kalau tingkat produksi mencapai 50 ribu unit per tahun. Di sini banyak merek yang skala produksinya masih di bawah 10 ribu unit per tahun. Keinginan untuk meningkatkan kandungan lokal, menurut Bachrum Harahap, sebetulnya bukan kali ini saja. Tekad untuk back to local, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian ini, pernah didengungkan lewat pendekatan peraturan. Namun, pendekatan semacam itu dipandang akan menentang kekuatan pasar. Untuk itu, dalam paket deregulasi ini para industriwan mobil dipersilakan mengutak-atik kemampuan memakai komponen lokal, supaya mobil yang mereka jual bisa bersaing di pasaran. Dalam hal menghitung bobot kandungan lokal, menurut salah seorang yang ikut aktif terlibat menggodok deregulasi ini, dihitung dari dua hal: sumbangan komponen lokal terhadap mobil dan nilai rupiahnya. ''Jadi, sama-sama besi, kalau yang satu mesin dan lain bodi, ya jelas bobotnya gede mesin,'' katanya. Perhitungan komponen lokal ini nantinya, menurut seorang pengusaha mobil, cukup njelimet. Penilaian untuk kaca mobil, misalnya, perlu dilihat dulu: bahannya dari mana, dikerjakan di mana, pemrosesannya bagaimana. Itu semua harus diteliti satu per satu hingga tim penilai mengeluarkan ''sertifikat''. Untuk melakukan penilaian itu, nantinya Departemen Perindustrian akan menunjuk PT Surveyor Indonesia. ''Cara pemberian nilai ini bukan mustahil akan merupakan peluang untuk main mata dengan petugas,'' kata sumber TEMPO. Gatot Triyanto, G. Sugrahety, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini