Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Penelitian Sebut Industri Nikel Merusak Hutan dan Lingkungan Indonesia

Penelitian menyebutkan aktivitas industri nikel di Indonesia menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan secara masif.

24 Januari 2024 | 08.38 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi smelter nikel. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aktivitas penambangan di kawasan industri nikel di Indonesia, yang sebagian besar berhubungan dengan perusahan Cina, disebut telah menjadi penyebab deforestasi massal. Menurut Climate Rights International, perusahaan-perusahaan nickel tersebut telah menebang lebih dari 5.300 hektar hutan tropis sejak 2018. Temuan ini berdasarkan analisis geospasial dari citra satelit yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas California, Berkeley, di Amerika Serikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Luasnya kira-kira setara dengan lebih dari 6.000 lapangan sepak bola," demikian kesimpulan laporan tersebut, dikutip Tempo dari Reuters, Rabu, 24 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para ahli pun menyuarakan kekhawatiran bahwa industri nikel dapat memperburuk deforestasi di Indonesia. Apalagi Indonesia termasuk negara yang kaya sumber daya dan juga memiliki hutan hujan yang luas.

Di sisi lain, setelah bertahun-tahun deforestasi merajalela, Indonesia telah berhasil memperlambat laju penebangan hutan untuk perkebunan dan kegiatan industri lainnya. Dari 2020 hingga 2022, Indonesia mengurangi rata-rata kehilangan hutan primer sebesar 64 persen dibandingkan tahun 2015-2017. Data ini berdasarkan penelitian World Resources Institute.

Laporan Climate Rights International juga menyebutkan bahwa kerusakan ekologis dalam industri nikel terjadi ketika Indonesia berupaya untuk mendapatkan nilai lebih dari mineral tersebut. Indonesia  yang merupakan rumah bagi cadangan bijih nikel terbesar di dunia, menarik investasi dalam pengolahannya dan pembuatan baterai kendaraan listrik. Terlebih, Indonesia telah menetapkan target produksi sekitar 600.000 kendaraan listrik pada 2030. Angka tersebut lebih dari 100 kali lipat jumlah kendaraan listrik yang dijual di Indonesia pada paruh pertama 2023.

Laporan Climate Rights International yang dirilis pada Rabu, 15 Januari 2024, itu mendokumentasikan aktivitas di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Kawasan tersebut merupakan salah satu pusat pemrosesan nikel terbesar di Indonesia, yang investornya termasuk Tsingshan Holding Group dari Tiongkok dan Eramet (ERMT) dari Prancis. Operator yang berlokasi di Pulau Halmahera, Maluku, ini merupakan perusahaan patungan antara Zhejiang Huayou Cobalt dari China, grup induk Zhenshi dan Tsingshan.

Sementara itu, PT IWIP mengklaim perusahaan mendukung program hilirisasi nikel pemerintah dengan seluruh kegiatan operasional industri dengan bertanggung jawab. Manajemen PT IWIP mengatakan perusahaan turut memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dengan melaksanakan berbagai program pengembangan masyarakat dan CSR. Saat ini, IWIP fokus dengan program CSR perusahaan yang mengacu pada empat pilar utama, yaitu pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan lingkungan, serta pengembangan ekonomi masyarakat lokal.

"IWIP sebagai perusahaan memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring rutin yang kami percaya dapat menekan dampak ke lingkungan. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional industri, PT IWIP mengacu pada persetujuan Analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh kementerian terkait," kata Manajemen PT IWIP kepada Tempo melalui keterangan tertulis, Jumat, 19 Januari 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus