Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat perputaran atau turnover karyawan di kalangan Gen Z tinggi.
Pengusaha menargetkan penambahan sekolah vokasi.
Pemerintah mendorong tambahan pelatihan keterampilan lunak.
DALAM beberapa tahun terakhir, sejumlah pengusaha pusing menghadapi pekerja muda mereka yang masuk kelompok generasi Z atau gen Z. Project Management Officer Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Joko Baroto mengaku mendengar beragam keluhan mengenai kinerja pekerja yang lahir pada 1997-2012 ini. "Yang paling menonjol salah satunya soal daya tahan mereka," katanya kepada Tempo pada Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Joko, banyak karyawan gen Z memutuskan berhenti bekerja dengan alasan tidak kuat terhadap tekanan di perusahaan setelah bekerja dalam hitungan bulan. Alasan pengunduran diri yang juga sering ia dengar adalah pekerjaan tidak sesuai dengan gairah. Akibatnya, perusahaan harus berulang kali merekrut pegawai dalam waktu singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita serupa sampai ke telinga Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Siti Kustiati. Dia mengaku mendengar banyak keluhan dari divisi sumber daya manusia perusahaan-perusahaan di kawasan industri soal tingginya turnover atau perputaran karyawan dari generasi Z. "Saya pernah bertemu dengan divisi human resources industri tekstil yang mengambil pekerja gen Z dari sekitar lokasi pabrik yang baru beroperasi pada Januari-November 2024. Itu turnover-nya 75 persen," kata Siti.
Siti menyatakan banyak anggota gen Z di dunia kerja sudah memiliki keterampilan teknis. Namun perusahaan mengeluhkan sulitnya mencari tenaga kerja dengan keterampilan lunak yang baik, seperti kemampuan berkoordinasi antar-anggota tim, ulat, berdisiplin, dan tidak mudah jemu.
Melihat tren tersebut, baik Joko maupun Siti memiliki kekhawatiran yang sama. Tingkat pengangguran berpotensi meningkat. Joko menambahkan, angka pengangguran yang tinggi antara lain meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial dan politik.
Untuk menghadapi permasalahan ini, pengusaha mencoba mencari solusi dengan mendirikan sekolah vokasi. Apindo, misalnya, kini sudah membangun lima sekolah menengah kejuruan di sekitar kawasan industri. Salah satunya SMK Mitra Industri MM2100 di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Apindo menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri di sekitar sekolah. Sekolah juga melibatkan para pekerja di industri sebagai pengajar. Sebagian waktu belajar diisi dengan praktik langsung. Yang terpenting, menurut Joko, pelajar di sekolah ini tidak cuma mempelajari keterampilan teknis.
Bursa kerja di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta, 8 November 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Keterampilan lunak turut menjadi perhatian penting. "Misalnya melatih bagaimana mereka bersikap saat ada perbedaan pendapat, merespons komplain, dan mempersiapkan perencanaan proyek," katanya.
Apindo berencana menambah jumlah sekolah vokasi sejenis di seluruh Indonesia. Namun realisasinya, menurut Wakil Ketua Umum Apindo Sanny Iskandar, tak mudah. Menurut dia, sulit memperoleh izin mengurus pembangunan sekolah baru di daerah dan prosesnya memakan waktu bertahun-tahun. "Untuk membuka sekolah vokasi atau setara SMK, termasuk menambah program studi, susahnya setengah mati," tuturnya.
Sementara itu, untuk menekan angka perputaran karyawan di kalangan usia muda, Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menyebutkan sudah banyak pelaku usaha yang menyesuaikan diri dengan preferensi gen Z. "Walaupun sudah ada turnover pekerja muda, kami belum berkesimpulan bahwa semua gen Z seperti itu," ujarnya.
Umumnya, menurut Bob, gen Z lebih menginginkan karier yang progresif sehingga dibutuhkan penyesuaian untuk memenuhi gairah tersebut, misalnya dengan memberi mereka kesempatan menempuh sekolah lanjutan. Alasan lain yang juga memicu tingginya angka perputaran pekerja ini adalah lingkungan kerja yang dinilai tak sehat dan kurang fleksibel. "Strateginya adalah suasana kerja dibuat lebih fleksibel dan kasual serta mereka diberi kesempatan mengekspresikan diri," ucapnya.
Sementara itu, pemerintah mengambil jalan antisipasi lewat penyuluhan dan bimbingan. Siti Kustiati menyebutkan pemerintah menggandeng sekolah hingga lembaga pelatihan untuk memberikan pemahaman kepada gen Z yang sedang mencari kerja. Salah satunya pesan agar mereka bertahan paling tidak tiga tahun sebelum memutuskan keluar dari perusahaan.
Siti mengungkapkan Kementerian Ketenagakerjaan juga berkoordinasi dengan kementerian di bidang pendidikan untuk mendorong porsi pelatihan keterampilan lunak yang lebih besar. "Soft skill tentang kedisiplinan, sopan santun, dan cara berkomunikasi yang tidak didapatkan gen Z," tuturnya.
Bersama perusahaan, pemerintah mendorong adanya asesmen minat para tenaga kerja muda. "Kami tidak mau mendorong orang bekerja formal, padahal minat dan bakatnya berwirausaha. Nanti dia cepat bosan," katanya. Selain itu, pemerintah berharap ada pelatihan etika dan budaya kerja secara berkala. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.